Ciuman Pertama Aruna

IV-244. Objek Perdebatan



IV-244. Objek Perdebatan

0"Apa kau di arak warga kampung?? Bwa ha ha ...," Hendra tertawa lepas seiring usaha Anantha meraih baju Aditya dan lelaki berkaca mata itu menghindar dengan melingkari tubuh Mahendra.      

Tawa yang membuncah dari pria bermata biru dengan bayi yang sedang asik melumuri dasinya -menggunakan air liur- begitu mencuri perhatian semua orang sebelum akhirnya salah satu bahu Hendra tersenggol Anantha dan dia tersentak.      

Seperti orang kesakitan tapi ditahan, sesuatu yang hanya dipahami seorang perempuan dan itu istrinya. Aruna mendekat, menatap khawatir. Hendra hanya tersenyum kecut seolah mengatakan dia baik-baik saja.      

Dia salah memasang ekspresi itu, Aruna tahu keadaan Hendra dengan detail. Untuk itu perempuan ini mengulurkan tangannya berharap bayi laki-laki dipelukan Hendra diserahkan padanya.      

Belum sempat terjadi, tangan lain datang dan itu tangan ayah Lesmana. Seorang kakek mengambil cucunya kemudian mengecup ubun-ubun putri bungsunya sebelum tersenyum ramah pada Mahendra.      

"Aku rasa kau perlu mengganti dasimu," Lesmana menggoda Mahendra. Dan yang dilakukan lelaki bermata biru tersebut adalah menarik segera dasinya lalu menyelipkannya ke dalam kantong celana.      

"Ini bukan sesuatu yang besar," Hendra mengimbangi kalimat ayah mertuanya.      

Semua berjalan sempurna sampai dua keluarga ini di bawa kemeja makan dan seorang lelaki menjelaskan maksud kedatangan mereka sekeluarga.      

Lesmana mengundang seluruh anggota keluarga besannya pada pernikahan putra sulung, Anantha. Kabar yang mengejutkan sekaligus wajar untuk lelaki yang melajang terlalu lama.      

Tak ada yang salah sampai pria tua mengimbangi permintaan tersebut dengan bertanya tanggal dan waktu digelarnya pernikahan.      

Lalu dua pasang alis mengerut seiring kalimat penuh penekanan mampu memecah keheningan.      

"Maaf, aku tak setuju! mengutamakan hari baik untuk kelahiran bayi jauh lebih penting daripada pernikahan," ini suara Oma Sukma. Di meletakkan sendok dan garpunya. Aliana yang sedang menyuapi baby Alan berhenti seketika, tangannya menggantung di udara. Semua orang tahu perempuan bernama Sukma tidak pernah terlihat serius, dia ramah dan banyak tersenyum tapi tidak untuk detik ini.      

"Cicitku akan lahir di hari itu," imbuh Sukma.      

"cucu kita!" bunda Indah membenarkan kalimat Sukma.      

Beberapa pasang mata saling memandang. Menyadari ada yang perlu dihentikan.      

Kecuali ekspresi Aruna yang tampak tertegun menatap Oma Sukma. Bagaimana bisa perempuan ini tahu bahwa beberapa jam tadi sang dokter mengatakan bayi di perutnya sudah siap menerima jadwal kelahiran.      

"sebaiknya kita-," Lesmana mencoba menengahi.      

"Sebelum berdebat, isi perut kalian dulu," Gestur kaku dengan suara serak yang dalam menenggelamkan kalimat Lesmana. Opa Wiryo meraih piring dan membukanya seiring matanya menatap satu persatu dari mereka yang hadir pada meja makan. Wiryo mengintimidasi tanpa suara.      

Aruna mencoba memahami situasi, Aruna tahu tradisi hari baik yang sebenarnya perlahan-lahan mulai ditinggalkan, masih tersisa pada penentuan hari pernikahan.      

Aruna bahkan yang lain di meja ini, mungkin selain Oma Sukma atau jangan-jangan termasuk opa Wiryo, belum pernah mendengar hari baik untuk kelahiran.      

Kelahiran bayi adalah spontanitas. Yah, kecuali keadaannya yang sedikit berbeda sebab kemustahilan melahirkan normal.      

Namun, menentukan hari baik untuk kelahiran? Ini agaknya memaksakan kehendak.      

Aruna menatap kakaknya yang seolah tak mau ambil pusing. Anantha dan dia sebagai bagian yang sedang diperdebatkan sama-sama tak memiliki hasrat memperjuangkan apapun terkait tanggal baik atau apalah itu.      

"kamu tidak makan?" Aruna terbangun tatkala sebuah tangan menyentuh punggungnya dan bergerak turun, sejalan kemudian tangan itu mengusap naik turun pada punggung bagian bawah. Terasa sangat nyaman untuk seorang ibu hamil.      

"Tadi kita sudah makan," mata coklat polos itu beradu dengan biru dingin yang berusaha mencarikan mengendurkan ekspresi wajahnya.      

Hendra mengangguk ringan, "ya, yang kamu butuhkan istirahat bukan makan," telapak tangan berukuran besar masih bergerak di punggung seolah memberitahu untuk bertahan sebentar lagi.      

"Tak apa, aku senang di sini," tentu saja Aruna senang. Hendra bisa melihat itu di wajahnya. Walaupun Hendra bahkan Aruna sadar sudah saatnya dia istirahat mengingat aktivitas pemotretan maternity.      

Sepasang suami-istri ini melengkapi piring terbuka mereka dengan sedikit makanan, terlihat enggan untuk mengimbangi yang lain, terutama obrolan malam ini.      

Keduanya berusaha keras tidak terlibat, tatkala bunda Indah mulai berdebat dengan oma Sukma dan perempuan paruh baya tersebut terdengar kian lihai memainkan majas eufemisme khas dirinya. Halus, lembut dan terdengar sopan, kenyataannya dia memainkan kata-kata tajam yang diperlembut.      

"beberapa orang berpura-pura tuna rungu walaupun dia mendengarkan setiap kalimat yang disampaikan lawan bicaranya," Sukma membasuh bibirnya dengan sapu tangan kecil yang dipegang.      

Sayangnya bunda Indah tidak begitu sadar gaya bicara yang dimainkan Sukma. Perempuan tersebut seolah tak masalah bahkan ketika dirinya mendapatkan kalimat sindiran Tuna Rungu sama dengan 'tuli' dalam artian yang sesungguhnya.      

Tentu saja air muka ayah Lesmana lah yang berubah total. Sosok yang pernah hidup berdampingan dengan keluarga Djoyodiningrat sangat tahu seni berbicara nyonya besar penghuni rumah induk.      

Lesmana meremas tangan indah dan menariknya ke bawah meja, ketika perempuan tersebut hendak mengimbangi kalimat Sukma.      

"Ah' makan malam hari ini sangat lezat," basa-basi tidak berarti di tunjukan Lesmana, "Aku yakin Anda yang menyiapkannya," mata Lesmana menatap Sukma, mencoba memberi pujian untuk meredam ketegangan.      

"Maaf," tatkala sukma hendak membuka suara, seseorang bangkit dari duduknya, "saya izin undur diri," suara ini milik Anantha tangan lelaki tersebut meraih telapak tangan calon istrinya lalu menggenggamnya, "Nabila ingin ke belakang –kamar mandi- sebelum dia tersesat, saya izin mengantarnya."      

Wajah Nabila tampak linglung, tapi dia tidak menolak saat tubuhnya ditarik tangan Anantha. Gadis pendiam tersebut mengikuti langkah kaki si sulung keluarga Lesmana begitu saja.      

"Kami," Hendra ikut bangkit, memundurkan kursinya dan perlahan berdiri di belakang kursi roda istrinya, "butuh istirahat," kepalanya menunduk sejenak berpamitan pada kedua mertuanya. Detik ini, sama seperti yang terjadi pada Nabila, Aruna memasang ekspresi bingung, bukan sekedar kosong.      

Keluarganya ada di hadapannya, meluangkan waktu mengunjunginya. Tidak mudah untuk memasuki rumah di lereng bukit ini. Bukan karena jauhnya, melainkan jiwa dan hati mereka yang seolah perlu dipersiapkan ekstra demi menghadapi keluarga Djoyodiningrat yang memiliki latar belakang beberapa tingkat di atas rata-rata standar kehidupan keluarga lain.      

"Terutama ibu hamil," Hendra mendesah memberi kesan bahwa dia pun butuh istirahat, "pemotretan tadi cukup melelahkan."      

"Kalian-," ini suara Aliana,      

"Ya, aku akan mengirimkan foto maternity terbaik kami padamu Alia," Hendra merebut dan menutup ucapan Aliana, guna menuntaskan niatnya meninggalkan ruang makan.      

Dan kursi beroda itu dia bawa menjauh, secepat mungkin dengan ritme wajar dan normal.      

"Kenapa membawaku pergi??" suara tidak terima Aruna terdengar, Hendra mendiamkan nya.      

"Aku masih ingin-,"      

"Huss!" bisikan meminta berhenti mengeluh berhembus di telinga kanan Aruna, "tenanglah sayang."      

"Bagaimana aku bisa tenang?! Kamu membuat keputusan sesuai kehendakmu sendiri," Aruan mengeluh, keluhan yang terdengar seperti rengekan gadis belia.      

"Lihat kakakmu," Hendra memutar arah kursi roda, "kamu pikir kenapa dia berada di sana?" Saat itu juga Aruna melihat kakaknya dari celah pintu terbuka. Si sulung duduk di teras dengan perempuan yang berdiri di hadapannya. Anantha dan calon istrinya Nabila, tidak pergi ke kamar mandi, keduanya menuju teras dan terlihat menepi di sana.      

Jelas sekali sang kakak pergi dari meja makan dengan niat menghindar, tampak dari caranya mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menghisapnya sebelum menarik lengan Nabila, meminta gadis tersebut duduk.      

"Saat kita dijadikan objek perdebatan, akan lebih elegan memilih mundur dan pergi," ujar Mahendra berikutnya, "sebelum terseret kian jauh, dan berakhir melukai orang lain, atau bahkan membangun tembok pemisah."      

"Seperti kakakmu yang berusaha menjauh, kita harus melakukan hal yang sama," Aruna menengadahkan wajahnya menatap Hendra, "aku harap istriku paham maksudku,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.