Ciuman Pertama Aruna

VI-245. Menatap Frustrasi



VI-245. Menatap Frustrasi

0"Seperti kakakmu yang berusaha menjauh, kita harus melakukan hal yang sama," Aruna menengadahkan wajahnya menatap Hendra, "aku harap istriku paham maksudku."      

Aruna menganggukkan kepalanya, membiarkan tubuhnya di bawa pergi hendra menuju kamar mereka.      

Pintu dibuka dan perempuan yang berhasil melintasi pintu kamar lalu kini duduk di atas ranjang atas bantuan suaminya menatap pria yang memasuki ruangan lain.      

Si mata coklat ini berusaha untuk meraih alas kakinya, dan ternyata untuk sekedar merunduk demi mengais ujung kakinya saja dia tak mampu melakukannya.      

Secara mengejutkan seseorang yang keluar dari ruangan sebelah sembari membawa beberapa helai baju ganti perempuan, menekuk kakinya dan menelusuri pangkal tumitnya.      

"Biasakan meminta tolong," Hendra protes, pandangannya naik menatap perempuan yang mengandung bayinya. Lelaki bermata biru itu membebaskan kaki sang perempuan dari bungkusan flat shoes.      

Dan jari-jari mungil yang terperangkap seharian bergerak-gerak ringan menikmati kebebasan.      

Pria yang telah membantu menanggalkan flat shoes, entah bagaimana masih setia menatap kaki Aruna. Tangannya yang menggantung di udara kini meraba telapak kaki mungil. Menariknya perlahan. Dia berhasil membuat perempuan di hadapannya bingung.     

"Huuh! ... Aku merindukanmu," ucapnya lirih. membuat lirikan mata untuk sang perempuan dengan ekspresi tersiksa.      

"..." termangu saat mengamati tindakan lelaki yang masih enggan berdiri dan dengan setia menatap ujung jemari kakinya. Aruna menarik kaki mungilnya.     

Namun lelaki bermata biru itu konsisten mencengkeram telapak kakinya.      

"Apakah kamu tak tahu betapa tersiksanya lelaki yang sedang merindu?" kalimat Hendra menggetarkan sesuatu di dada. Raut wajah merah terbakar terlihat detik ini, saat tangan kiri lelaki bermata biru meraih telapak kaki mungil sisi lain.      

Dia yang menelusuri permukaan epidermis secara lembut dan ringan dari tumit kaki, menghantarkan firasat berupa udara hangat yang telah lama hilang di antara keduanya.      

Bagai sungai yang mendamba samudera. sang perempuan memahami pasti ke mana kehendak lelaki ini bermuara. Jadi yang diharapkan si mata coklat sekedar seberkas waktu untuk mengingatkan seorang pria yang mendesis ngilu terhadap jurang kenyataan yang membatasi keduanya.     

Sayangnya dunia dalam kendali adrenalin sedang mengelabui logika, perempuan ini ikut terlena, membiarkan tubuhnya dijatuhkan. Bahkan matanya ikut terpejam tatkala bibirnya di minta terbuka lalu udara lembut masuk di sela-sela nafas, sehingga rasa basah dari indra pengecap sang dia yang berhasil melumpuhkan ingatan akan kepastian terikat muara pergolakan mereka tidak akan ada berhasil memuaskan kerakusannya      

.     

Hendra membebaskan tubuhnya, dasi yang menggantung di leher ditarik secepat mungkin sebelum jari-jari lincahnya mencopot satu per-satu buah kancing Turnbull & Asser warna putih.     

Lelaki bermata biru itu kini melepas bibir perempuan, sejalan berikutnya rasa basah menggores perlahan di atas pipi sebelum jeli basah tersebut mendarat di ceruk leher dan sebuah sesapan berhasil mendorong desahan perempuan Sekali lagi.      

Kini Warna merah dari perbuatan pria tersebut menyebar layaknya stempel yang memberi tanda bahwa dia lah yang paling berkuasa terhadap perempuan di bawah tubuhnya.      

Tak ada yang lebih menyiksa daripada kerinduan yang tak terbalaskan. Matra itu membumbung tinggi dalam benak sang lelaki. Setinggi kehendak lelaki tersebut menarik tubuh perempuan di bawahnya untuk dinaikkan tepat di tengah ranjang.      

Lelaki itu sedang memuja, melucuti benang yang membungkus tubuh perempuan. tubuh yang melambangkan udara pegunungan segar, atau seteguk air yang sejuk, yang dibutuhkan untuk meredam rasa terbakar dan dahaga.      

Sampai kepala perempuan diletakkan di atas bantal, dan rambutnya terurai lembut, melebihi lembutnya untaian benang sutra.      

Sang lelaki memungutnya, menyesapnya, pada akhirnya dilanjutkan jejak-jejaknya menuju sepasang benda yang mengikat seluruh perhatiannya tiba.      

Diraup, dihisap, dan dibiarkan jiwanya ikut terisap.      

Tak ada yang bisa menghentikan netra biru yang menggelap. Terlebih, saat perempuan di bawahnya pasrah menerima sentuhan-sentuhannya.      

Bahkan dengan sengaja sang perempuan menekan rintihannya, ia memilih menggigit bibirnya supaya keluhannya tertelan. Perempuan tersebut memasrahkan diri. Se-pasrah-pasrahnya.     

  Membiarkan lelaki yang ia tapaki kulit punggungnya dengan telapak tangan memuaskan kehendaknya. Sebab perempuan ini tahu hanya sampai di situ saja mereka dapat bermuara.      

Hanya sampai bibir rakus itu menyentuh bagian terdalam di tubuhnya.      

Mengendus seputarnya, menjilat lehernya dan menyesap sesuatu yang meleleh di antaranya.      

"huu… hmm… huu…," titik didih meninggi sampai suara seorang perempuan menghela nafas terdengar, hal tersebut terjadi tepat ketika seorang lelaki yang melumpuhkan jiwa perempuan bangkit membebaskan tubuh di bawahnya. Pria tersebut menatap frustrasi sebelum menenggelamkan dirinya di kamar mandi.      

"Jangan berusaha mengenakan apa pun," pesan Mahendra sebelum menghilang tertelan pintu kamar mandi.     

***     

"Ricky," pemuda SMA tertidur di kursi mendapatkan sentuhan pada bahunya.      

Pemuda tersebut tersentak sesaat, tangannya naik mengusap-usap mata.      

"Pulanglah," dia mengeluarkan secarik kertas bertuliskan angka, "aku sudah meminta orang memindahkan baju-baju kalian, dan kebutuhan sekolahmu, termasuk sekolah lala,"      

"Kita jadi pindah?" Pemuda itu bangkit mendorong kursi untuk lelaki yang berjalan sembari menyerat tiang infus.      

"Bukan jadi pindah," matanya menatap serius, "tapi harus pindah," lalu mata lelaki yang detik ini perlahan duduk pada kursi tunggal di dekat ranjang yang menyajikan tubuh perempuan terbaring, beredar memperhatikan setiap penghuni kamar rawat inap VVIP.      

Ia menemukan si kecil di baringkan pada sofa, jaket gadis kecil menelungkupi tubuh mungil itu sebagai selimut.      

Di dekat sofa dan si gadis mungil, pria beruban terkantuk-kantuk di atas kursi.      

"Sopir sudah menunggu di bawah. Ada tiga kamar di tempat tinggalku, pilih saja, semua yang di sana milik kalian juga,"      

"Apa tak masalah kak Thom menjaga kakak, bukannya-," kalimat Ricky kalah oleh tindakan kehendak Thom, lelaki berambut platinum ini menggerakkan dagunya, mengusir Ricky untuk membangunkan bapak dan Lala.      

"Apa harus aku yang berdiri dan mengendong Lala menuju lobi?"      

Ricky lekas menggeleng, memenuhi permintaan Thomas.      

***     

Jemari mungil Aruna, menyentuh bagian-bagian merah di atas permukaan kulitnya. Sembari menarik selimut untuk menutupi dirinya, ia terhenyak sesaat menyadari bayi di dalam perutnya yang biasanya bergerak-gerak meminta perhatian terasa lebih tenang.      

Tersenyum kecil, sembari mengusap-usap perutnya, 'bayi mommy baik sekali hari ini,' dia berbisik lirih.      

Gerakan mengusap perut terhenti, pintu kamar mandi terbuka, kaki telanjang lelaki berambut basah berjalan mendekat.      

Tangannya bergerak bersama handuk kecil yang menggantung pada leher, mengeringkan rambut secara acak dan sembarangan.      

Aruna menarik selimutnya, menutup tubuhnya tatkala pria di hadapannya mengais Turnbull & Asser warna putih lalu mengenakannya.      

Mulut Aruna hendak mengeluarkan pertanyaan, tapi tertutup oleh dia yang lekas memberikan penjelasan, "Ayah Lesmana tak akan pulang sebelum melihat salah satu dari kita," lengkap Mahendra.      

Aruna menarik bibirnya, sembari mengamati cara lelaki di hadapannya mengikat tiap-tiap buah kancing, hingga tubuh pada bidang itu tertutupi secara menyeluruh.      

"Apa aku boleh minta bantuan asisten rumah induk supaya keringatmu luruh dari badanku?"      

Dia terkekeh kecil, sejalan dengan handuk yang jatuh dari tubuhnya dan digantikan dengan gerakan memakai celana.      

"Tidak …," dia menggelengkan kepala. Memungut baju lain yang berserakan termasuk handuk yang sempat ia tanggalkan, "tidur saja seperti itu, sampai aku datang ke kamar ini,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.