Ciuman Pertama Aruna

IV-246. Sipir Penjara



IV-246. Sipir Penjara

0"Tidak …," dia menggelengkan kepala. Memungut baju lain yang berserakan termasuk handuk yang sempat ia tanggalkan, "tidur saja seperti itu, sampai aku datang ke kamar ini,"      

Aruna terdiam menatap punggung lelaki yang hendak meraih gagang pintu dan entah mengapa Hendra menghentikan langkahnya lalu berbalik.      

Menatap Aruna dengan lamat, "Apakah di dalam benak istriku ada hari yang dia inginkan untuk kelahiran baby?" Pertanyaan yang keluar dari bibir Mahendra bertolak belakang dengan kebiasaannya.      

Lelaki ini selalu memiliki kontrol terhadap segala sesuatu. Dia punya kebijakan sendiri dan seolah tidak membutuhkan konfirmasi orang lain bahkan istrinya, Aruna. Hendra selalu tahu apa yang dia mau dan apa yang benar versi dirinya.      

Perempuan bermata coklat itu memutar bola matanya, mencoba menemukan jawaban.      

"hari yang tidak berbenturan dengan hari bahagia kak Anantha," suaranya ringan dan pria yang menatapnya mengangguk ringan.      

"walaupun kemungkinan besar aku mustahil datang di pernikahan kakak," telapak tangannya bergerak membelai perutnya yang tersembunyi di balik selimut, "aku ingin menunjukkan dukunganku, aku tahu dia-" matanya fokus pada perutnya, tak menyadari lelakinya mendekat dengan gerakan gesit sampai kedatangannya menghentikan kalimat Aruna.      

Aruna tertegun terlebih Hendra datang meraup wajahnya dan mengecup bibirnya.      

Hendra tersenyum, matanya yang menyipit begitu dekat dengan mata Aruna. Wajah mereka sangat dekat. Terlalu dekat hingga nafas pria tersebut terasa hangat.      

"Itu yang aku benci darimu," ungkap lelaki bermata biru, "anehnya dalam kebencian itu ada rasa bangga," kalimat tanpa penjelasan, tidak dapat dimengerti sang perempuan. Mereka saling bertatapan sesaat, tapi Hendra hanya tersenyum sekilas sebelum memutuskan berjalan menuju pintu keluar.      

Dimana Aruna konsisten mengamatinya, menatap punggung pria yang perlahan menghilang di balik pintu sebelum kembali merebahkan diri. Dia lelah hari ini.      

***     

"Ayah menunggumu," Hendra terenyak, sebuah suara hadir bersama caranya menutup pintu kamar.      

Anantha sudah ada di sana. Saat lelaki bermata biru ini memutar tubuhnya, kakak istrinya berdiri tegap sendirian. Tampaknya dia menunggu sejak tadi.      

"Aruna, apa dia sudah tidur?" tanya si sulung sekali lagi.     

Hendra mengangguk memberi jawaban.      

"aku akan mengubah tanggal pernikahan jika Aruna menginginkannya,"      

Ada tawa kecil yang tertangkap di bibir Mahendra. Lalu pria itu menggeleng.      

"Apa kamu tak mengenal adikmu?" Hendra berbalik bertanya.      

"Dia mengalah," sempat tertahan sejenak untuk menangkap ekspresi Hendra, "lagi?" lalu pria ini bisa membaca pesan yang tersirat di balik raut wajah lelaki bermata biru.      

"apa yang tidak untuk keluarganya," ucap Mahendra pasrah.      

"Tapi nenekmu?" Anantha menatap seorang perempuan di tengah-tengah ruangan yang sedang mereka tuju.      

"aku bisa mengatasinya, hanya masalah hari dan tanggal. Masih bisa di atur, perempuan-perempuan keras kepala di hadapan kita tidak memperdebatkan jam," akhirnya Anantha bisa tersenyum. Sejak semula, bahkan sejak kedatangannya ke rumah induk garis wajah bungsu keluarga Lesmana mengeras.      

"Pukul berapa pernikahanmu?" kembali Hendra bertanya.      

"Pagi ke siang hari," singkat Anantha.      

"Sore harinya aku akan keponakan keduamu akan lahir," awalnya Anantha sekedar tersenyum akan tetapi selepas mendengarkan kalimat Hendra berikutnya dia berubah total, lelaki tersebut bahkan memperlihatkan giginya ketika tertawa kecil menyambut solusi yang cukup masuk akal.      

Hal itu mengundang rasa penasaran sang ayah. seseorang yang paling terlihat resah di antara yang lainnya. bagaimana tidak Lesmana berada di tengah tengah dua perempuan yang berdebat hebat.      

dua perempuan yang menuntut dukungan dan mengharapkan keputusan Lesmana sejalan dengan keinginan yang mereka pegang teguh.      

Anantha berjalan lebih cepat mendahului mahendra. Sesaat berikutnya tertangkap sang sulung berbisik di telinga ayahnya yang pada akhirnya mendorong Lesmana untuk menarik ringan lengan mahendra dan membawa lelaki bermata biru tersebut menyingkir sesaat.      

"Ketika pernikahan Anantha usai, kupastikan segera menuju rumah sakit," dia menepuk bahu menantunya, seperti salam bangga yang tak terucap oleh kata-kata.      

"tenanglah ayah," hendra melirik sekilas lelaki yang memberinya tatapan hangat, "Aruna sangat paham, keterlambatan ayah tidak akan membuatnya sedih," imbuh lelaki bermata biru yang detik ini beberapa kali terlihat melirik jam dinding.      

"aku yang bakal merasa bersalah jika diriku ini tidak mampu membagi perhatian untuk kedua anakku secara adil, sama rata," dua pria detik ini saling melempar tatapan. salah satu dari mereka memberi sebuah isyarat nyata tentang tanda tanya yang tak terucapkan terkait 'itukah yang disebut peran seorang ayah?' 'apakah itu berat?' 'mungkinkah ku bisa melakukannya?'      

kalimat tanya tersebut berputar-putar di kepala mahendra. perlu disadari pria yang menjadi lawan bicaranya bahkan bisa membaca sekilas kerutan kekhawatiran yang tak terucap dari lelaki bermata biru tersebut.      

Tapi lesmana tidak mengomentari apa pun, dia kembali menepuk bahu mahendra untuk kedua kalinya, sebelum lengan kirinya merentang lebih lebar dan berakhir memeluk punggung menantunya. cara para pria menghantarkan dukungan kadang kala sekedar gerakan samar.      

"bisakah aku bertemu aruna sebelum pulang?" pertanyaan sederhana, anehnya mata hendara terbelalak dan melebar seketika.      

'sial dia kubuat telanjang,' tangan kanan mahendra naik ke atas, keharuan yang sempat terlihat serta merta berubah menjadi kekonyolan, lelaki tersebut mengusap pelipisnya. bibir bawahnya terbasahi oleh lumatannya sendiri, sebuah tanda bahwa pria ini sedang memutar otaknya.      

"bagaimana jika, em.. nanti, maksudku besok-," sayangnya sang ayah sudah bergerak. melangkah menuju arah kamar mereka. "ayah! ayah… besok saya bawa Aruna ke rumah,"      

"kita semua tahu kehamilan Aruna tidak sepenuhnya sehat," Lelaki itu terus melangkah, hingga hendra berlari dan memblokir mertuanya sendiri tepat di hadapan pintu kamar mereka.      

"dia tidur, Aruna tidur, aku tak ingin anda mengganggu istriku," kilah mahendra.      

"apa kamu pikir aku tega membangunkannya?" tiga ruas garis di antara alis lesama tertangkap mata, "andai aku harus berjalan seperti kukang untuk melihat putriku akan aku lakukan." Lesmana menegaskan, "sebelum kamu menunjukan kekhawatiranmu itu, ingatlah nak! aku sudah menjaganya 19 tahun sebelum kamu hadir, ya, sebelum menikahinya," lesmana menggelengkan kepala tatkala dia melihat menantunya merapatkan diri pada kayu jati ukir, pintu kamar yang memisahkan putrinya dengan dirinya.      

"yang benar saja! apa yang kamu lakukan??" terheran-heran Lesmana menatap mahendra yang sempat terpejam sesaat.      

"begini ayah," sekali lagi pria itu terlihat mengangkat tangan kanannya untuk mengusap pelipisnya dan tangan kirinya berdecak di pinggang, 'bagaimana cara memberi tahu ayah? putrinya?? ah sial…,'      

"Aruna sering," lesmana tiba-tiba meluncurkan tangannya menyentuh gagang pintu dan hendra spontan mencengkeram tangan lelaki tersebut sebelum membuangnya. keduanya sama-sama terkejut atas tindakan tak biasa diantara mereka.     

"Ada apa ini?" sepertinya masalah lain datang, ini suara oma sukma.     

 "kalian ikut-ikutan berselisih seperti kami?" bunda indah menambahkan.      

'Sial…!' umpatan hendra menggebu dalam gumaman tak terucap, 'kenapa makin rumit sih?!'      

"aku hanya ingin melihat putriku, ingin melihat aruna! apa itu salah?" lesmana meminta pendapat yang lain dan serta merta tiga pasang mata menghujam ke arah Mahendra. mereka menuntut penjelasan.      

"Aruna sudah tidur," bahu hendra terangkat di kedua sisi detik ini.      

"hanya melihatnya, apa itu salah?" lesmana mendapat anggukan, "aku, tidak akan bersuara…" beberapa pasang mata sekali lagi menelanjangi hendra yang tertangkap seperti sipir penjara yang sedang menolak kunjungan keluarga narapidana.      

"kami jarang berjumpa aruna, biar aku melihatnya sekilas sebelum pul-," kalimat indah mendadak tertelan. bagaimana tidak. lelaki bermata biru tiba-tiba bergerak cepat menarik gagang pintu lalu menyelinap ke dalam kamarnya sebelum sang ayah dan yang lain sempat mendorong daun pintu.      

dia yang berhasil memutar kunci tanda bahwa akhirnya ia mampu menghalau orang-orang yang mengrong-rongnya atas akses melihat istrinya, diam-diam tersenyum puas.      

'maaf, aku jahat, ya… mau gimana lagi. masak aku bilang pada kalian istriku ku telanjangi, hehe,' terkekeh sendiri, hendra tak menyadari pipinya memerah detik ini.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.