Ciuman Pertama Aruna

IV-247. Resah



IV-247. Resah

0  'maaf, aku jahat, ya… mau gimana lagi. Masak aku bilang pada kalian istriku ku telanjangi, hehe,' terkekeh sendiri, Hendra tak menyadari pipinya memerah detik ini.     

  Berjalan mendekat menuju ke arah ranjang Mahendra menyibak selimut dan mulai Memasukkan kakinya ke dalam selimut. Dia mendekap sang istri yang terlelap tanpa busana kecuali celana mungil berbentuk segitiga yang ada di bawah sana.     

  Kecupan kecil mendarat pada rambut perempuan yang terlelap. Sejalan dengan gerakan Hendra merengkuh dan memeluk tubuh Aruna.     

  "Bagaimana hasilnya?" nyatanya perempuan itu terbangun.     

  Hendra tersenyum menenangkan, padahal perempuan di sisinya masih melekatkan ke dua pelupuk mata, Aruna tidak menangkap senyumannya, sekedar kata: "Sempurna," Mahendra yang terdengar di telinga.     

  Jawaban yang perlahan mendorong terbukanya mata coklat perempuan hamil tersebut, sebelum bertanya: "maksudnya?"     

  Dan dia yang di tanya tersenyum sekali lagi, menggerakkan tangan kanannya yang semula berada di perut Aruna naik beberapa inci, mengusap ujung dari bola kenyal yang kini terlihat penuh berisi.     

  "Keluarga kita bisa datang di pernikahan kakak dan juga menyambut kelahiran baby," ujar lelaki bermata biru, mata itu tertuju pada sesuatu yang saat ini dia dekap dengan telapak tangan kanan sebelum benar-benar di tekan-tekan untuk dimainkan.     

  Cukup mengganggu hingga perempuan yang detik ini fokus menatap Mahendra kembali berdiam bertanya 'apakah bunda indah atau Oma Sukma yang mengalah,' terkendala oleh kenakalan lelakinya.     

  Aruna spontan memukul ringan tangan kanan Hendra yang memijat dadanya.     

  "Hee...," Hendra menyipit, tersenyum.     

  "Sabarlah, sebentar lagi," ujar Aruna.     

  Pria di sisi Aruna membaringkan tubuhnya, menghirup napas dalam-dalam lalu di hembuskan frustrasi.     

  "Andai bukan karena kakek tua itu menginginkan baby, aku bakal memintamu menundanya," desah Hendra sempat melirik istrinya sesaat.     

  "Bukankah kamu juga menginginkan baby? Yang benar saja bicara seperti itu," alis Aruna hampir menyatu.     

  "Kan, aku nggak tahu kalau ternyata harus menahan diri selama ini," pria di sisi Aruna mengacak rambutnya, "hah! Membuatku frustrasi!" membuang nafas, lalu berguling menghadap ke arah sang istri, "Belum lagi pemulihan setelah persalinan, membayangkan saja membuatku hampir gila, lama sekali!" Lagi-lagi keluhan terdengar bibir Mahendra.     

  "Setahuku, kamu lelaki yang sabar. Bukan kah dulu rela menungguku setahun lebih sebelum kita-," kalimat Aruna terpotong.     

  "karena waktu itu aku belum tahu rasanya," bukan sekedar memotong ungkapan istrinya. Volume suaranya meninggi, jengkel.     

  Seperti anak kecil yang protes, Hendra mendapatkan kekeh tawa Aruna.     

  "Tenanglah ayah," meletakkan tangan di dada Mahendra, lalu mengusap-usapnya.     

  "Sabar..., Tidak ada yang sia sia." Tangan di dada naik ke pipi, Aruna menarik pria itu kearahnya sebelum bibir mereka bertautan sekali lagi.     

  ***     

  "Hai, kamu di sini lagi?"     

  pria yang tertidur di sofa berjingkat sesaat. Sebelum akhirnya mata lelaki tersebut membuka dan mendapati lelaki berbaju putih bersih berdiri tak jauh darinya.     

  Dokter Martin, melirik Thomas sejenak, sebelum meminta suster menunjukkan laporan perawatan pasien yang terbaring di atas ranjang.     

  Thomas berdiri perlahan, menarik tiang infusnya mendekati ranjang pemeriksaan, dia menguap dan langkah kakinya masih sempoyongan.     

  "apa aku perlu memindahkan ranjang rawatmu ke ruangan ini," bahu sang dokter terangkat dengan ekspresi wajah mengolok. Dia menggoda Thomas.     

  Garukan kecil di sudut belakang telinga tertangkap mata, pria ini menunjukkan ekspresi canggungnya.     

  Thomas berada di ruangan gadis muda di hadapannya hampir tiap saat. Harusnya dia berada di ruang rawat inapnya, bukan di ruangan pasien lain.     

  "Mungkinkah dia mendapatkan rawat jalan?" sejak semalam, bahkan sebelum tertidur, Thomas telah memikirkan matang-matan kalimat yang akan ia tunjukkan pada dokter Martin.     

  Dokter martin menghentikan aktivitasnya mengamati laporan di tangannya.     

  "Apa itu harus?" menoleh pada Thomas.     

  Thomas hendak membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan sang dokter, sayang sekali diujung sana perempuan yang menjadi topik pembicaraan sudah terbangun sebab suntikan pada infus tampaknya mulai memasuki tubuhnya.     

  "em...," bergumam ragu, menatap Kihran sesaat, "saya memiliki akses untuk mendapatkan fasilitas rawat jalan sekelas keluarga Djoyodiningrat," akhirnya Thomas menemukan kalimat yang tepat menurutnya.     

  Lelaki berambut platinum ini merenungkan semalaman, terkait membawa Kihrani pulang. Lala dan Ricky harus kembali bersekolah, ayah tak terbiasa merawat mereka lingkungan baru di cluster miliknya membutuhkan pendampingan.     

  Seorang petugas yang biasa memberikan pelayanan di clusternya menghubungi dirinya semalam. Beberapa jam selepas keluarga kihrani pulang ke huniannya lelaki tersebut di beritahu tentang asap yang berasal dari dapurnya.     

  "Ya, aku tahu kamu bisa lakukan itu." Sang dokter menatap Thomas lebih lekat, "perhatikan keadaanmu dulu sebelum meminta sesuatu yang membuat dokter kalian menghela nafas,"     

  Serta Merta mata Thomas berputar, sebelum mendarat ke arah dokter Martin.     

  Di ujung sana Khiran yang sedang menjawab beberapa pertanyaan suster terkait perkembangannya. Mencoba mencuri dengar. Perempuan tersebut belum sepenuhnya paham.     

  "Kenapa menatapku seperti itu? Ah' Jangan menuntutku!" ini suara jengah dokter Martin mendapati pasiennya benar-benar keras kepala.     

  "Kau tahu sendiri, pasien," membolak balik kertas di tangan untuk menemukan nama pasien di hadapannya, "Kihrani, punya memar parah di pahanya," Thomas menganggung dalam-dalam memberitahukan bahwa dia sangat paham, "memang benar pasien tidak patah tulang, hanya saja," Dokter Martin mendekat menunjukkan gambaran foto Rontgen, "kita perlu memastikan tidak ada retakan berarti di area ini, sini dan ini," lengkap sang dokter.     

  "butuh berapa lama?" tuntut Thomas.     

  "aku baru tahu kamu punya sisi keras kepala,"     

  Thomas ngangkat bahunya mengimbangi kalimat sang dokter.     

  "huuh, aku paham kamu pacar yang bertanggungjawab dan dia gadis yang berharga," di ujung sana Kihrani tertegun, dia menghentikan obrolannya dengan suster. "Prosedur medis tidak bisa di prediksi,"     

  Ekspresi Thomas tampak kecewa, "begini saja, sepertinya kalian tak terpisahkan. Baik, kalau begitu akan aku minta petugas menyiapkan satu ranjang di ruangan ini," terdiam sesaat mencoba menangkap ekspresi Thomas, sayang lelaki tersebut lihat tidak puas.     

  "Bertambah satu ranjang akan membuat kalian dekat?" Kini yang berapi-api adalah dokter Martin, "Pasien Kihran di sini, dan..., Ayolah Thom, kamu bisa di rawat tepat di sini, di sampingnya, di sisinya," tangan dokter martin bergerak membuat ilustrasi ranjang berbentuk kotak imajiner di sisi si pasien yang menjadi bahan perbincangan mereka.     

  "Siapa yang akan di sisinya?" suara lain datang selepas pintu kamar rawat inap kelas Wahid terbuka, "Hai sayang," dia yang kedatangannya membuat hampir seluruh penghuni ruangan terperanjat— kecuali sang suster yang sejak tadi terlihat sibuk, sekedar bingung mengamati raut muka yang lain.     

  "Aku senang kamu sudah siuman, maaf baru bisa datang," meletakkan paper bag, entah apa isinya. Lelaki bermata sendu itu tak begitu peduli dengan orang di sekitarnya kecuali gadis yang beberapa hari lalu sepakat akan mencoba hal baru. Membuka diri untuk jadi kekasihnya.     

  Vian mendekati Kihrani dan secara mengejutkan lelaki tersebut mendaratkan kecupannya pada pelipis sang perempuan.     

  Kihrani yang tertegun sempat mencoba menahan Vian, sayangnya tangan yang dia gunakan nyeri akibat jarum infus, gadis berambut hitam panjang itu tidak bisa mengimbangi kelakuan Vian.     

  "jadi siapa yang ... Ah! Sayang sekali. aku tak dengar tadi..., di sisinya??" Menggali informasi ke arah dokter martin yang konsisten ternganga, menoleh ke arah Vian dan Thomas.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.