Ciuman Pertama Aruna

IV-248. Termangu



IV-248. Termangu

0"jadi siapa yang ... Ah! Sayang sekali. aku tak dengar tadi..., di sisinya??" Menggali informasi ke arah dokter martin yang konsisten ternganga, menoleh ke arah Vian dan Thomas.     

"jadi sebenarnya? E... ??" telunjuk tangan dokter Martin menunjuk secara bergantian antara Thomas dan Vian. "Siapa dari kalian yang pacar pasien?"     

"Tidak siapa-siapa," gadis berambut hitam pekat tersebut menyela. menyahut pertanyaan sang dokter begitu saja.     

"Hai…, kita sudah sepakat!" Vian yang awalnya berdiri begitu dekat dengan Kihrani dan bahkan memeluk bahu perempuan muda tersebut kini menjauh untuk menangkap ekspresi wajah sang perempuan muda yang nyatanya tertangkap diliputi emosi.     

"aku ingin istirahat, aku tak suka kegaduhan, bisakah kalian semua keluar?" kalimat yang diusung kihrani khas dirinya. sedikit kaku dan seolah tak peduli dengan raut wajah resah yang ditunjukkan yang lainnya.     

dan detik ini Thomas lah yang lekas melenggang pergi dengan tiang infus yang ditariknya" sendiri. lelaki berambut platinum itu menyeretnya ke arah pintu hingga dia hilang di balik pintu tertutup.     

"Dan kamu…, kenapa kamu tak keluar?" kalimat ini ditodongkan ke arah Vian.     

serta merta vian mengerutkan keningnya, "Bomb! aku baru datang…, ayolah…, jangan sekaku ini!" Vian turut emosi dibuatnya, wajah tegang terlihat jelas pada dua orang yang saling berkomunikasi.     

melihat keengganan Vian untuk pergi dan ekspresinya yang masih keras kepala dengan tak peduli atas tindakan Kihrani yang mengusirnya secara eksplisit. vian malah membuka paper bag yang dia bawa. mengabaikan kihrani yang kini akhirnya memalingkan wajahnya enggan menatap gerak gerik Vian.     

Detik ini entah bagaimana dokter Martin menjadi canggung sendiri, di antara dua orang yang saling bersinggungan satu sama lain. Dokter yang begitu dekat dengan tiap-tiap orang yang berada di naungan keluarga Djoyodiningrat tersebut lekas menyelesaikan tugas nya.     

"huuh, aku harap kamu lekas sembuh,"     

Kihrani mengangguk menerima ucapan sang dokter.     

"Terima kasih dok," Vian berbalik dari aktivitasnya mengeluarkan benda-benda dari dalam paper bag.     

Kihrani spontan meliriknya, perempuan muda ini tak suka mendengar kata terima kasih yang keluar untuk sang dokter, kata-kata tersebut seharusnya dari dirinya, bukan dari orang lain.     

Sang dokter menarik bibirnya, sekali lagi menatap bingung ke arah keduanya, terutama kihrani yang diam-diam mendapat kedipan sebelah mata. seolah mengabarkan, 'rahasiamu aman bersamaku,'     

'apa?' kata ini tertelan dalam benak kihrani. mengiringi langkah sang dokter beserta suster meninggalkan ruangan. menyadari sesuatu paling absurd yang mungkin bersarang di otak sang dokter: bisa jadi dirinya dianggap sebagai perempuan yang memiliki dua kekasih yang mungkin salah satu dari mereka adalah di simpan dari yang lainnya, semacam perselingkuhan.     

"Cih!" mendecih. perempuan tersebut kembali merebahkan dirinya yang sempat terduduk.     

"kamu mau?" kini Vian kembali mendekatinya menyodorkan sesuatu.     

"Aku tidak ingin makan," menarik selimut dengan gerakan yang di usahakan secepat mungkin gadis ini mengubur dirinya hingga bahu.     

sepat terlihat berupaya memiringkan tubuhnya ke sisi berlawanan dengan keberadaan Vian, kenyataannya dia tak sanggup dan berakhir terbaring dengan selimut membalut seluruh tubuhnya kecuali kepala.     

"Ada apa lagi?!" Vian menarik tangannya, meletakkan makanan di atas nakas. benturan wadah makan terdengar nyaring, "kenapa kamu marah padaku?"     

"Buat apa aku marah?" kata-kata Kihrani bertolak belakang dari ekspresi yang ia tunjukan.     

"wajahmu itu, apa gitu yang dikatakan tidak marah?"     

"selalu seperti ini, Bomb si pemarah, kamu memanggilku seperti itu."     

"Huuh," pria di sisi kihran mendesah. Vian mencoba menurunkan percakapan yang terjadi, "padahal aku memiliki kabar baik," lelaki tersebut mendekati ranjang dan duduk di bagian tepi sisi kanan.     

Awalnya Kirani tidak begitu peduli, tapi entah bagaimana gadis itu menatap Vian selepas pria tersebut mengucapkan kata: "kabar baik," Kihrani penasaran.     

"kamu pasti marah padaku. Aku tidak ada di dekatmu saat kau mengalami kondisi paling kritis. aku malah menghilang dan baru sekarang bisa menjengukmu," dia yang berbicara seolah sedang menghitung dosa-dosanya.     

"Aku berharap kamu paham bahwa pekerjaanku tak kenal waktu, terlebih setelah tragedi terjadi. kita semua harus menjaga kalian supaya tidak terlibat hukum," menaikkan pandangannya untuk mengamati raut wajah yang ditujukan kihrani, "Dan itu sangat rumit,"     

"Bukan kah aku korban?" akhirnya kihrani menanggapi juga, itu yang ditunggu Vian, "Harusnya, mereka lah yang saat ini terjerat hukum,"     

"Tidak semudah itu,"     

Kihrani bangkit dari pembaringan dan selimut yang membungkusnya bergerak menuruni tubuhnya yang semula terkubur.     

"Tuan Hendra, membakar gedung itu untuk menyelamatkan kalian," 'atau mungkin untuk memuaskan hasratnya sendiri,' sebagian kalimat Vian di telan sendiri, dalam kasus ini pimpinan divisi penyidik lantai D paham betul bahwa atasannya, cucu sang tetua Wiryo harusnya mampu menyelamatkan tawanan tanpa menghanguskan gedung tersebut.     

"jadi begitu,"     

"Yah…," mereka mencair sesaat.     

sebelum mata sang perempuan naik dan keduanya saling bertukar pandang satu sama lain.     

"lalu apa kabar baiknya?" pertanyaan ini dari kihrani. gadis itu melempar pandangan sisi lain.     

ada senyum kecil yang ditunjukkan Vian detik ini, "Aku tak jadi berangkat ke Timur,"     

Kihrani termangu, terdiam seribu bahasa gadis ini tak tahu apakah dia harus bahagia atau sedih.     

Hingga laki-laki itu datang padanya dan secara mengejutkan memeluk tubuhnya dengan gerakan hati-hati sebelum akhirnya benar-benar menelungkupi seluruh dirinya.     

Kihrani hanya bergeming. tak tahu apakah dia harus membalasnya atau marah dan mendorongnya.     

"Aku sangat bahagia, tak perlu jauh darimu," Vian membisikkan sesuatu yang sejak tadi ingin disampaikan kepada gadis yang beberapa hari terakhir benar-benar berharap bisa menemuinya.     

.     

Tidak ada yang tahu, bahkan Vian, bahwa kemarahan kihrani bukan karena keterlambatan atas kedatangan Vian. Gadis ini merasa dipermainkan oleh sesuatu yang dia sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikannya.     

***     

"panas sekali," seseorang di dalam kamar tidur bergumam. menggeliat meraba nakas.     

matanya masih terpejam tatkala tangannya mencoba menemukan sesuatu di atas nakas yang nyatanya malah mendorong sebuah benda dan "klotak!" handphonenya terjatuh.     

"Sial!" umpatan itu terdengar dari bibir lelaki bermata biru,     

bukannya menemukan remot AC dia malah menjadikan telepon genggamnya membentur lantai. Bangkit dengan enggan, Mahendra menurunkan kakinya ke lantai. lelaki bertelanjang dada itu memungut handphonenya. memeriksa sesaat benda yang di dalamnya dipenuhi pesan dan panggilan yang terabaikan.     

Membaca sekilas pesan yang nampak pada notifikasi, [Kita harus bertemu,]     

matanya menatap dingin dan meletakkan smartphone tersebut tanpa membuka pesan secara menyeluruh.     

Dia yang semula mencari remot AC kini kembali fokus pada tujuannya. mengedarkan pandangan mencoba menemukan benda tersebut. nyatanya remot pendingin ruangan berada pada nakas di sisi istrinya terbaring.     

Untuk itu pria ini lekas berdiri memutari nakas dan lekas menurunkan suhu ruangan. sebelum matanya tertuju pada istrinya.     

perempuan hamil dengan keringat…     

"Aruna…," dia memanggil dengan lembut, selembut caranya meletakkan telapak tangan pada pelipis yang secara tak wajar dipenuhi keringat, 'apa yang terjadi?' ini gumaman Hendra sebelum menarik tangannya dan membalik tubuhnya bergerak cepat menuju telepon genggam, "Tolong! segera ke kamar kami! sekarang     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.