Ciuman Pertama Aruna

IV-249. Kehendak



IV-249. Kehendak

0"Aruna…," dia memanggil dengan lembut, selembut caranya meletakkan telapak tangan pada pelipis yang secara tak wajar dipenuhi keringat, 'apa yang terjadi?' ini gumaman Hendra sebelum menarik tangannya dan membalik tubuhnya bergerak cepat menuju telepon genggam, "Tolong! segera ke kamar kami! Sekarang!"     

.     

.     

"Ada yang bisa saya bantu?" seorang berlari ke kamar tuan muda Djoyodiningrat, sosok perempuan dengan balutan baju perawat mendapati lelaki bermata biru baru saja membantu perempuan tergeletak pucat di atas ranjang untuk mengenakan piama ikat.     

Pria berambut coklat tersebut bahkan masih bertelanjang dada itu tidak menjawab pertanyaan sang suster.     

dokter spesialis obstetri dan ginekologi (Sp.OG) rumah sakit ternama yang secara khusus menangani pemeriksaan kehamilan secara bergantian di tugaskan berjaga di rumah mewah keluarga konglomerat Djoyodiningrat.     

Seolah tidak melihat kedatangan sang dokter, Hendra membolak-balik lembar selimut memastikan sesuatu. Dia mencari bercak merah yang mungkin terjadi. Pada semester terakhir, istrinya mengalami masa sulit dan ciri utama paling fatal adalah warna merah di seprai.     

"Huuh...," mundur beberapa langkah mencari sandaran. Lelaki bermata biru ini akhirnya bisa bernafas lega dan terduduk di tepi ruangan.     

"Nona..., nona...," Dokter mendekat selepas lelaki yang punggungnya bahkan masih menampakkan merah memar menepi –punggung Mahendra.     

"Anda bisa mendengar panggilan saya?" sang dokter yang mendekati telinga Aruna kembali berbisik.     

Di ujung sana Mahendra mengamati penuh telisik. Dia, entah bagaimana merasa tak siap mendekat. Dunianya seolah berhenti sesaat hanya karena tubuh istrinya menghangat.     

Lelaki itu berdiri mondar-mandiri tak sanggup berdiam diri. sampai sebuah kata "Ya" bervolume rendah terdengar.     

Spontan Langkah kakinya terhenti. menoleh sesaat untuk memastikan netra coklat tertangkap mata olehnya. "apa yang kamu rasakan sayang?" mendorong dokter dan merebut tempat sang dokter yang bertugas.     

Hendra mendekat memastikan keadaan Aruna. Sayangnya perempuan yang di tanya sekedar menggelengkan kepalanya perlahan.     

"sebaiknya anda keluar, biarkan saya leluasa membantu istri anda," dokter tahu kebiasaan lelaki ini. Dia cenderung panik secara berlebihan terhadap kesehatan istrinya.     

Gejolak emosinya dan pengendalian dirinya diletakkan pada setiap nafas perempuannya.     

Jadi bisa di bayangkan bagaimana ekspresi keengganan yang merajai lelaki bermata biru sebelum menyadari perempuannya meraih jemarinya dan membuat gerakan halus.     

Dokter memperhatikan pria tersebut. Pria yang menyimpan rahasia mendalam tentang kelemahannya terhadap perempuan. Rahasia yang kini menjadi pembicaraan hebat di kalangan tenaga medis yang bekerja di bawah naungan keluarga Djoyodiningarat. Kesembuhannya membuat banyak orang bangga.     

Kecuali saat-saat pria ini menjadi posesif dan panik ketika seseorang yang dia anggap penting sedang tidak baik-baik saja.     

Menoleh pada dokter dan mendapatkan anggukan, pada akhirnya Mahendra mau mengalah. lelaki itu menyambar Hem piama dan lekas mengenakannya sembari berjalan menuju pintu.     

Pria ini benci harus memberi jeda dirinya dan istrinya.     

.     

"Aku melihatmu terlalu banyak beraktivitas kemarin," dokter mengambil sesuatu, "saya sarankan anda segera melahirkan,"     

"Aku hanya butuh istirahat," Aruna memberikan tatapan     

Hendra yang berjalan pergi sempat berdiri beberapa saat di balik pintu kamar. mencuri dengar dan menjadi lebih lega setelah tahu istri mulai bicara.     

"aku berharap bisa melahirkan bayi ini pada hari baik,"     

Dokter mengerutkan dahinya.     

"silakan tertawa," ini suara Aruna.     

"aku lebih suka Anda mengatakan 'jangan khawatir' sebab detik ini saya benar-benar sedang mengkhawatirkan Anda," dokter spesialis obstetri dan ginekologi tersebut hendak mendorong sebuah pemahaman yang perlu di mengerti ibu hamil dengan wajah pucat pasi, "melahirkan lebih cepat mengurangi risiko memburuknya kesehatan pada diri Anda,"     

Sang dokter sama sekali tak ingin menertawakan konsep hari baik atau apa pun. Pasiennya perlu tahu ini. Perlu sadar bahwa kondisi dirinya dan bayinya lebih penting.     

Aruna hanya tersenyum, menarik bibirnya tanpa tanggapan berarti, dokter terus mengomel tiada henti. Memberikan penjelasan panjang lebar.     

"Izinkan aku menghormati keputusan para perempuan paling tua di keluarga ini," dia menutup rentetan hipotesa dokter dengan kalimatnya.     

"Sepenting apa di banding kesehatan anda?"     

Awalnya Aruna menatap hal lain dan lebih sibuk memastikan dirinya bisa berbaring nyaman. Namun kini secara mengejutkan dinaikkan tatapannya dan mata itu menyoroti tajam sang dokter.     

"apakah menurutmu aku masih bisa menahan sedikit lagi?" maksudnya menahan untuk memperpanjang jeda kelahiran baby.     

"Tentu saja, tapi resiko..." kalimat dokter terpotong.     

"Resiko!" Aruna memenggalnya. "kalian mengatakan ini berulang-ulang kali," lalu sebuah senyuman kecut terlihat.     

"Tidak menghargai keinginan seseorang juga resiko!" kalimatnya menjadi tajam. Sangat aneh. Terlalu aneh untuk sang dokter yang tak paham maksud ungkapan Aruna yang secara eksplisit menunjukkan ada kemarahan dari dalam dirinya.     

"terlebih keinginan perempuan di keluarga ini," dia yang bicara menghirup nafas. Memang sedikit ada sesak pada nafas Aruna sejak sang dokter datang ke kamar ini. "jangan sekali-kali mengutarakan argumentasi anda di hadapan orang lain. Dan mendorong yang lain untuk membuat saya terpaksa mengabaikan hari baik yang Oma Sukma inginkan, kami semua berhak memperjuangkan kehendak kami! Sekonyol apa pun itu!"     

Jujur sang dokter sama sekali tak paham maksud ungkapan Aruna. Dia menggeleng kepalanya. Apakah perempuan muda yang sedang hamil ini tengah berada di ujung rasa frustrasinya. Apa yang ada di benaknya detik ini? Sangat meresahkan. Tak bisa di mengerti.     

"Ini akan menyakiti hatiku! Dan bayiku!" Nafasnya naik turun membuat dokter kian tercengang mengapa dia terus menerus berbicara dan berusaha     

Dokter menggeleng kepalanya. Bingung menanggapi pasiennya yang berapi-api secara tiba-tiba.     

"Sepertinya Anda tidak membutuhkan obat apa pun," dokter mendesah berat. Dia merapikan barang-barangnya. Sadar ada sesuatu yang lebih penting dibandingkan sebuah Vitamin yang memberi nutrisi pada tubuh. Perempuan ini membutuhkan nutrisi lain. Nutrisi yang tidak akan datang dari benda yang di telan atau di suntikan pada tubuhnya.     

Dokter meninggalkan Aruna pada akhirnya.     

.     

.     

"Tuan? tidak sarapan?" Ratna membangunkannya, membangunkan lelaki bermata biru yang termangu. Kemelut menerjangnya gara-gara mendengarkan penjelasan dokter beberapa menit sebelumnya.     

Hendra sempat duduk di meja makan. Piringnya sudah terbuka. Tangannya sudah menggenggam sendok. Tapi tak satu pun makanan bergerak ke arah mulutnya.     

Apa yang harus dia usahakan? Bayi mereka sebaiknya segera di lahirkan. Tapi Aruna bersikukuh dengan ide 'hari baik' yang di perdebatkan.     

Bangun tidur dalam keadaan lemah dan marah ketika sesuatu yang sederhana dan sepele di singgung.     

Menatap Oma Sukma yang melintas di ujung ruangan. Pria yang masih mengenakan hem piama warna putih ini bangkit dari duduknya.     

Pertanyaan asisten rumah induk yang di tunjukkan pada lelaki ini sama sekali tak terdengar di telinganya.     

"Oma." Hendra memanggil dan nyonya besar keluarga Djoyodiningrat menoleh.     

"Saya butuh bicara dengan Anda," Hendra bergerak cepat menuju neneknya.     

Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Telepon genggamnya berbunyi.     

[Konfirmasi kedatanganmu atau ... ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.