Ciuman Pertama Aruna

IV-251. Lihatlah Aku, Dan Baby



IV-251. Lihatlah Aku, Dan Baby

0"bolehkan aku membelinya lalu aku membebaskan begitu saja?"      

Sekali lagi Hendra menyajikan kerutan di dahinya.      

"Apa yang kamu inginkan? Aku tidak mengerti." Mahendra bangkit dan duduk di tepian bathtub. Dia memandang mata cokelat dengan tajam tapi pada akhirnya luruh selepas melihat betapa perempuan di dalam kolam air hangat ini memberinya gambaran betapa dia berjuang keras untuk mengandung buah hatinya.      

Mahendra luruh, "Merpati balap akan terbang jauh dan mustahil kembali ketika kamu melepaskannya, dia bernilai fantastis sebab kelebihannya itu. Kemampuannya terbang dengan kecepatan tinggi. Itu tidak masuk akal," maksud Mahendra tidak masuk akan membeli sesuatu senilai miliaran lalu membebaskannya begitu saja.      

"Lebih tidak masuk akal lagi mengurungnya setelah tahu dia memiliki kemampuan terbang yang fantastis, itu sama halnya memaksa burung itu melumpuhkan sayapnya," Aruna tidak menatap Hendra. Perempuan tersebut mengintip keluar ruangan melalui sela-sela kelambu yang tersibak.      

"Kamu ingin keluar?" ini tanda tanya Mahendra selepas mengamati gerak gerik istrinya.      

"sangat menyakitkan harus terbaring seharian, dan menyadari keadaan akan memburuk saat ingin bergerak bebas,"      

"Aku akan menggendongmu, apa pun yang bisa kulakukan," Hendra menimbang-nimbang apa yang di pikirkan Aruna.      

Dia melihat sesuatu yang serupa dengan hari-hari perempuan ini memilih mempertahankan diri untuk tidak mengizinkan dirinya menyentuhnya sedikit pun.      

Dia tertekan, itu yang di pikirkan Hendra.      

Kehamilan bukan sesuatu yang mudah untuk gadis yang seharusnya duduk di bangku kuliah dan bermain ke mall bersama sahabat-sahabatnya.      

"tentang merpati balap, kamu bisa membebaskannya," pernyataan ini lebih aneh dari permintaan Aruna. Jelas perempuan itu lekas menoleh pada suaminya. Lelaki yang detik ini menenggelamkan tangan kanannya ke dalam air bathtub, mengelus perutnya lembut dan perlahan naik meraba dagunya.      

"kamu tahu satu dari takdir dari seekor merpati yang melekat padanya seumur hidup?" Aruna menatap Hendra tanpa menjawab. "sehebat apa pun dia terbang dia akan pulang kembali dan masuk ke dalam sangkarnya," mata Aruna kian intens menatap suaminya.      

"mereka akan kembali kepada pasangannya, setia selamanya, jadi aku akan membelikanmu sepasang, kamu boleh melepaskannya, hanya saja satu dari mereka tetap di sangkar, supaya mereka menetap,"      

Tatapan yang awalnya menyala kini meredam, dia dalam kebisuan, perempuan yang berkomunikasi dengan cara paling sulit di mengerti ini menolehkan wajahnya ke arah jendel. Tangan kirinya naik dan berusaha meraih gorden yang serta merta menjadikan lelaki yang sejak tadi mengamatinya memasukkan kakinya ke dalam bathtub untuk membuka lebih lebar gorden yang menyajikan pemandangan di luar. Taman keluarga yang di penuhi pepohonan rindang.      

Selepasnya lelaki yang kembali mengamati gerak gerik istrinya turun dari bathtub. Piamanya basah dan dia mengabaikannya. Pria ini sekali lagi meraih dagu perempuannya.      

"Keluarlah aku ingin di sini, sisanya biar ratna yang mengurusku," dia yang di ajak bicara Aruna mengangguk kecil tapi bukan untuk pergi. Melainkan memalingkan menggerakkan tangannya mencoba memalingkan wajah Aruna untuk menatapnya.      

"Kamu tidak bekerja?" Aruan tidak mengerti kenapa dia harus mengatakan ini. Dia ingin sendirian. Dia resah menyadari takdir seekor merpati yang bisa terbang dengan kecepatan sekalipun tak akan bisa melawan kehendak alam.      

"Adakah pekerjaan yang lebih penting selain menjaga istriku yang sebentar lagi melahirkan?"      

'Ya, menjagamu yang mulai kacau,' Hendra menyimpan sebagian kalimatnya ketika dahinya menyentuh dahi Aruna dan memungut bibir mungilnya.      

'Kita akan selalu terikat, bahkan dalam mimpi terburuk pun tak akan ada yang bisa berlari,' lidah pria ini menetap pada bibir sang perempuan berayun lembut memberi sentuhan.      

Aruna menelan salivanya saat Mahendra melepas denyutan di bibirnya. Sentuhan fisik kadang kala mampu meredam gejolak jiwa yang berlarian ke berbagai arah.      

"Lihatlah aku, dan baby," pinta Mahendra, entah bagaimana wajahnya tampak penuh harap. 'Kita berdua mengantungkan hidup padamu,' kata-kata ini tidak berucap, akan tetapi ekspresinya seolah berbicara.      

 Perempuan 22 tahun ini harus menyadari, dia bukan lagi si Aruna yang memiliki banyak pilihan hidup. Ke mana pun ia pergi takdirnya akan mengikatnya. Seorang istri dan ibu, ini bukan perkara mudah, tentu saja, dia terlalu muda saat ini bahkan seseorang yang lebih tua darinya pun bisa jadi belum bisa menerima tanggung jawab sebesar ini.      

Andai kata Mahendra bisa mengungkap kegundahannya. Lelaki ini lebih takut dari siapa pun untuk menerima gelar seorang ayah. Dia tidak mendapatkan sosok itu dalam hidupnya. Sekumpulan buku tentang cara menjadi ayah tidak menolongnya sama sekali.      

***      

"Sayang sekali aku harus pergi," Vian berbicara pada gadis yang sedang memakan bubur yang dia bawa.      

Bubur yang berada di atas kursi nampan milik pasien rawat inap tersebut masih tersisa sebagian ketika lelaki yang terlihat sangat sibuk itu meraih jaket kulitnya dan mengenakannya.      

Vian memperlihatkan sebuah pesan, [Gantikan aku menemui ...] hanya kata itu yang terbaca tatkala Vian mengangkat handphonenya dan mengarahkannya kepada Kihrani.      

"Jika waktunya memungkinkan aku akan ke sini lagi malam ini," dia yang bicara mengibarkan jaketnya sebelum menyambar tas. Mendekati kihrani dan untuk sekali lagi pria ini Mengurangi jarak di antara mereka, yang spontan menjadikan gadis tersebut bergerak mundur.      

Gerakan yang tak berarti mengingat kondisinya di atas ranjang rawat sehingga Vian mampu menempelkan bibirnya ke dahi Bomb.      

Alis Kihrani hampir menyatu akibat ulah Vian, Anehnya pria itu tersenyum puas atas tindakkannya.      

"Kalu kau rindu bertengkar denganku," ungkapnya menyejajarkan tinggi wajahnya dengan wajah Kihrani. Mari kita lakukan nanti malam.      

"Cih!" Sergah gadis yang merasa sesuatu sedang mempermainkannya.      

Kata, "Cih!" mendorong tawa Vian. Terkekeh ringan menikmati suasana detik ini.      

"aku mendengar keluargamu tak bisa lagi tinggal di rumah kalian, jadi saat ini aku sedang mempersiapkan izin tinggal di-"      

"Thom sudah memberi kami tumpangan," Kihran memenggal pernyataan Vian. Melihat pria itu tampak buru-buru jadi gadis ini mencoba memberinya jawaban tentang tempat tinggal keluarganya saat ini.      

"Thom? Thomas?" Kihrani mengangguk. Vian tampak tak percaya.      

"Kenapa Thomas? Kapan dia melakukannya?" nada suara Vian terdengar kurang nyaman.      

"Se ma lam," Kihrani bahkan tak mengerti kenapa dia menjawab pertanyaan Vian dengan terbata-bata.      

"semalam?" lagi-lagi suara Vian tidak nyaman untuk di dengar. "dan kamu menerimanya begitu saja?"      

"Dia sudah mendapatkan persetujuan tuan. Aku tidak punya alasan untuk menolaknya, kami-"      

Vian sudah membalik tubuhnya berjalan bergegas menuju ke arah pintu. Kalimat Kihrani di abaikan sampai dia berkata, "aku akan bicara dengannya, kau kekasihku harusnya aku yang mengurus keluarga mu! Bukan dia!"      

"Kekasih?" kata-kata Kihrani terhempas bantingan pintu yang menurut gadis ini tak perlu di lakukan. Vian tampak konyol dengan tindakannya yang seolah mereka sungguh-sungguh saling ...      

Kihrani kehilangan kata bahkan untuk menggali apakah mereka berdua 'saling mencintai?' Seperti stempel kekasih yang baru saja dia pertanyakan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.