Ciuman Pertama Aruna

IV-252. Sekedar



IV-252. Sekedar

0Vian menemukannya di taman rumah sakit setelah berkeliling mencari sosok yang entah bagaimana membuat hatinya panas pagi ini.      

Dia merasakan ada beberapa hal yang membuatnya tidak nyaman terhadap Thomas walaupun Vian tahu Thomas sebenarnya tidak melakukan apa-apa.      

Duduk dalam kegundahan nyata. Thomas terlihat seperti itu detik ini. Dan Vian akhirnya menyimpan ledakan dalam dirinya Vian ikut duduk di bangku taman tepat di samping Thomas.      

"Apa yang kamu pikirkan kawan?" Vian bahkan tidak mengerti kenapa dia memilih kata kawan alih-alih Thom.      

Vian memanggil Thomas dengan sebutan Thom sejak mereka sama-sama di sekolah dasar.      

Thom menoleh menatapnya kecut, "Tak ada."      

Lelaki berambut platinum itu jelas enggan membuka dirinya. Dibanding siapapun dalam lingkaran pertemanan. Thomas yang paling lihai berkomunikasi. Lulusan terbaik ilmu komunikasi. Pandai bernegosiasi. Hanya saja secara pribadi pria ini sesungguhnya lebih tertutup dari siapapun.      

Bahkan dari Pradita yang setiap hari berjibaku dengan serentetan kode rahasia di perangkat lunaknya –pun, Thomas masih unggul dalam menyimpan kemelut hatinya sendiri.      

"Kamu terlihat...," Vian menatapnya. Melihat Thomas dari ujung rambut hingga kaki.      

"Jelas aku sedang tidak baik," pesan Thomas melengkapi pengamatan Vian, "adakah yang ingin kamu bicarakan?" mereka berdua tumbuh bersama. Maka dari itu kadang kala tak perlu berbicara untuk menyadari hal-hal semacam ini. Semacam saling memahami kehendak yang tersembunyi.      

"em..." mengangguk kecil, untuk kesekian kali Vian menelusuri keadaan Thomas, menimbang apakah dia perlu memberi tahu kehendaknya atau tidak. "Bomb," ada ekspresi terkejut di dalam diri Thomas, pemuda berambut platinum ini menegakkan punggungnya secara spontan. Terakhir kali dia melihat gadis yang dipanggil Vian dengan sebutan Bomb, ialah adegan yang paling membuatnya tidak nyaman. Gadis itu dalam pelukan Vian.      

Thomas menyadari tak ada hak dirinya di dalam hubungan mereka hanya saja tidak nyaman-nan ini sungguh menyiksa dirinya.      

"Ups, Kihran maksudku," Vian membenarkan sebutannya. Ada senyum di sana, senyum yang membuat Thomas menghembuskan nafas yang entah bagaimana menggumpal di dadanya.      

"Keluarganya, aku dengar kamu mengurusnya. Aku berterima kasih,"      

Atas dasar apa Vian perlu berterima kasih padanya sebab telah mengurus lala, Ricky bahkan bapak. Mereka keluarga bagi Thomas, saat semua orang menganggapnya telah mati, keluarga ini yang membuatnya kembali pulih bahkan memberinya harapan baru untuk terus berjuang menghadapi hidup yang tak menentu.      

"Aku tahu kondisimu sedang tak baik, orang-orang ku akan membantu mereka untuk pindah ke rumahku," alis Thomas menyatu detik ini atas kalimat yang diutarakan Vian.      

Orang-orang Vian akan membawa keluarga Kihran keluar dari rumahnya? Yang benar saja!     

Thomas melirik saudaranya bibirnya mengatup bahkan cenderung kurang nyaman untuk menanggapi kalimat-kalimat Vian berikutnya, kalimat yang secara nyata menggarisbawahi bahwa tindakannya membawa keluarga kihrani adalah pilihan paling benar.      

Dia dan kihrani akan menikah, sejauh itukah hubungan di antara mereka? Thomas hanya bisa menerka-nerka sampai dia merasa muak atas kegigihan Vian dan menyetop seluruh percakapan di antara mereka.      

"Rumah kita hanya di batasi tembok satu lapis –Bukan?" pria yang paling keras kepala di antara yang lain, Vian. Mengangguk ringan.      

"Santai saja, tak perlu buru-buru, mereka bisa pindah kapanpun mereka mau, -kalau mau," penekanan di akhir seperti sindiran, dan Vian sadar akan hal itu. Thomas lebih dekat dengan mereka daripada Vian.      

"Dan satu lagi," Thomas bangkit dari duduknya, mendorong tiang infus beroda yang menemaninya kemana-mana, "Pernikahanmu dan kihrani belum terjadi, itu artinya akan menjadi pilihan yang memberatkan bagi mereka. jika keluarga kihrani di oper kesana kemari tanpa meminta persetujuan dari mereka... em, Bukan karena tindakanku bagian yang di dukung tuan. Aku membawa mereka ke rumahku sebab mereka keluargaku, kami pernah menjadi sangat dekat lebih dari siapapun," ingin rasanya thomas mengatakan 'termasuk kamu,' tapi diurungkan.      

"Dengan pilihan itu, aku memutuskan keluargaku aman, dan nyaman, alih-alih dibawa ke rumah induk yang tentunya akan sangat asing bagi mereka," berdiri sempurna merasa siap mengakhiri percakapan di antara mereka, "Aku rasa kamu cukup cerdas," Thomas membumbui analoginya dengan kalimat yang sulit dicari celahnya, "cukup cerdas, menyadari tindakanku tepat."      

Vian tak memiliki celah untuk menjatuhkan argumentasi Thomas. Dia ingin meledak saat pertama kali melihat lelaki berambut platinum ini membawa keluarga kihrani ke rumahnya. Merasa start nya di curi. Dan haknya diambil.      

Tapi detik ini, Vian harus mengakui dia tak bisa serta merta menyalahkan Thomas. Handphone di tangan Vian berdering.      

Tatkala benda itu diangkat, [Sialan! Ke mana kau?!] suara pradita marah di ujung sana.      

 [jangan terlambat dalam kondisi seperti ini!!] Pradita berhak marah detik ini, Vian tak sadar dirinya mengulur waktu begitu lama untuk menemui seseorang yang tak bisa diungkapkan seberapa pentingnya orang itu untuk ditemui.      

Seseorang yang sedang di awasi pradita diam-diam, sebab seharusnya tuan Mahendra lah yang datang, jikalau di gantikan dengan orang lain seharusnya orang tersebut bisa membuat dirinya layak diterima sebagai pengganti Mahendra. Bukan malah datang telat.      

[Beri aku waktu beberapa menit lagi]      

[kau sudah terlambat! Aku tak peduli. Kamu harus memperbaiki keadaan ini!] pradita kesal.      

***     

Aruna duduk di teras ketika sarapannya di hidangkan. Bantal empuk disusun lelaki bermata biru mengelilingi dirinya. Mungkin pria itu menduga dengan cara tersebut Aruna akan merasakan kenyamanan.      

Kenyataannya perempuan Hamil tersebut menyingkirkan beberapa Benda yang meliputi dirinya.      

Terlebih saat beberapa pelayan rumah induk datang dan meletakkan makanan pada meja yang berada di hadapannya.      

"Aku tidak menginginkan ini semua, bisakah aku mendapat puding?" selepas mengamati apa yang tersaji, Aruna mengerutkan alisnya. Makanan berat yang membuatnya tak selera.      

Mendengar permintaan istrinya, Hendra mengangkat tangannya dan lekas membuat gerakan mengibas-ibas saat salah seorang pelayan menatapnya.      

Telapak tangan lelaki itu seolah memberi tahu bahwa permintaan istrinya harus segera dipenuhi. Untuk itu Tika lekas mundur dan menghilang.      

"Ada lagi yang kamu inginkan?" ini suara Mahendra. Lelaki bermata biru itu juga yang membawa tubuh perempuan hamil duduk di teras.      

"jus jeruk, tanpa gula," dan lagi Hendra mengibaskan telapak tangannya. Mengusir seorang asisten yang tersisa. Memintanya memenuhi permintaan sang istri dengan segera.      

"ada lagi?"     

"aku ingin sendiri," imbuh Aruna.      

Hendra menatap tajam, "Yang itu tidak bisa!"      

"Hehe," entah bagaimana perempuan hamil ini terkekeh begitu saja. "jangan terlalu tegang aku hanya bercanda,"      

Muka Hendra mengeras sejak pagi. Tidak bisa dipungkiri, mimik wajahnya tidak bisa dikendalikan. Perempuan ini dalam masa-masa butuh pendamping. Itu yang dikatakan dokter dan dua perempuan yang menghuni rumah induk. Mommy Gayatri serta Oma Sukma mengatakan berulang kali seperti sekelompok lebah yang mendengung dan mengawasinya tiap saat, agar Hendra tidak pergi sembarangan apa pun alasannya. Bahkan untuk pekerjaan penting.     

"Bagaimana aku tidak tegang, istriku meminta seorang burung dengan harga milyaran, saham mana yang sebaiknya aku jual?"      

"ha-ha," Aruna tertawa lepas, "aku hanya bertanya, tidak mengharuskanmu membelikannya untukku,"      

"aku ingat istilah mengidam," Hendra menyambar sepotong buah kupas, "Aku hampir yakin itu bagian dari mengidam,"      

"tadi pagi hanya pertanyaan, sekedar pertanyaan," Aruna kembali menegaskan.      

'pertanyaanmu membuatku resah,' melempar tatapan ke hamparan taman. Hendra tahu Aruna tidak pernah bermain-main dengan apapun termasuk kata 'sekedar'.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.