Ciuman Pertama Aruna

IV-253. Tinta Perak



IV-253. Tinta Perak

0"Ketenangan bukanlah terbebas dari badai, tetapi kedamaian di tengah badai."     

–Unknown–     

*****     

Dia tahu cara terampuh membuat istrinya, -minimal bisa menghirup udara segar sesaat.     

Hendra perlu meeting dengan Surya, dan tentu saja pria tersebut berinisiatif untuk mewajibkan rekannya membawa istrinya, Dea.     

Hendra yakin perempuan berhijab itu mampu meredam gejolak emosi sang istri yang sedang tak menentu.     

Ide yang cemerlang. Hati Hendra bergumam demikian. Lelaki bermata biru ini merasa idenya kali ini sangat brilian.     

Jadi tak masalah kalau dia sengaja mengalah pada permainan catur yang terjadi antara dirinya dan Aruna untuk mengisi kekosongan waktu.     

Pria tersebut membiarkan salah satu kuda hitamnya di makan pion mungil putih milik Aruna, sesungguhnya Hendra bisa Menghentikan permainan ini Di menit pertama mereka. Di mana Hendra bakal menang telak pada saat itu juga.     

Tapi tidak ia lakukan, Hendra biarkan perempuan hamil itu berpikir bawah kali ini keberuntungan sedang berpihak padanya, merasa sangat lihai sehingga satu-persatu kesatria dan prajurit hitam Hendra termakan begitu saja oleh istrinya.     

Cara menghibur perempuan kadang perlu siasat. Tujuannya memang bukan menjadi pemenang dalam permainan. Tujuan lelaki bermata biru ialah menghibur istrinya. Memenangkan sesuatu yang lain. Yang tak dapat di jelaskan kumpulan sajak sekalipun.     

Kadang dirinya sendiri tak yakin kenapa ia perlu melakukan kamuflase-kamuflase semacam ini. Sayangnya begitulah permainan tarik ulur yang terjadi dalam setiap hubungan.     

Ini seperti menerbangkan layang-layang.     

Hendra mendapatkan petuah perumpamaan cinta bak layang-layang dari seseorang yang telah mempertahankan rumah tangganya selama puluhan tahun. Walaupun badai datang silih berganti –pemberi petuah itu ialah yang menjadi pendamping kakeknya, pria dengan berstatus hampir sama dengan dirinya.     

Pewaris tunggal yang di banggakan, mengelola banyak aset dan di kelilingi berbagai kemungkinan berbahaya yang bisa menghancurkan pertalian pernikahan. Dia adalah oma sukma.     

Menarik layang-layang terlalu kuat akan membuatnya putus, sebaliknya membiarkannya terbang tanpa kendali bisa berakibatkan jatuhnya benda yang melayang di udara tersebut.     

"Yeee...," pekikan Aruna mengudara, perempuan tersebuta memenangkan permainan catur.     

Entah karena senyumannya begitu manis. Atau karena mata coklatnya berpendar. Atau jangan-jangan sebab mentari menyapu bintik-bintik embun hasil hujan rintik semalam sehingga rerumputan yang di tatap Mahendra serupa dengan kristal-kristal kecil yang berkilauan.     

Perempuan hamil di hadapannya masih sama dengan dirinya yang dulu. Gadis bermata coklat yang menyimpan kekuatan magis, dalam hal menghipnotisnya.     

Detik ini, sekali lagi, entah sudah untuk berapa ratus kali, jagat rayanya di buat berhenti.     

Sang perempuan hamil tersenyum, memunguti pion pion dan para prajurit catur untuk di tata sedemikian rupa ke dalam papan catur. Mereka di sembunyikan. Aruna sepertinya enggan mencoba putaran kedua.     

Dan keengganan yang tersirat secara nyata itulah yang menyadarkan Mahendra. Akhirnya jagat raya pria itu kembali.     

Dia terkekeh kecil selepas menyadari. Bagaimana dirinya bisa mengalah sampai sejauh ini.     

Hendra tahu bahwa ia bukan seseorang yang mau menerima kekalahan terlebih sengaja mengalah.     

Namun kali ini ia tak bisa memungkiri Memilih kalah atau pun mengalah ternyata bukan serta Merta mendatangkan keburukan.     

Bentuk kekalahan nyatanya bisa mendatangkan senyuman.     

***     

"Kenapa??" ruangan tertutup baru di buka oleh seorang yang berpakaian tuksedo lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna merah.     

Wajah marah si pemilik rambut hitam pekat tampak jelas. Sosok laki-laki baru berdiri dari kursi presidensial rumah makan yang hanya mampu dipesan 20% orang di negara ini.     

Mewah, tentu saja. Lebih dari itu, tempat ini menjamin segala kerahasiaan dan keamanan.     

Sayangnya bukan Hendra yang datang. Gibran kecewa, memperhatikan kedatangan Vian dengan ekspresi sentimental.     

"Di mana Hendra?" harusnya hari ini keduanya bertemu. Membahas cara meredam pergolakan dua keluarga. Mencari siasat untuk menyudahi semuanya.     

Sayangnya Hendra mengirim orang lain, ini serasa penghinaan bagi Gibran. Kondisi sedang memanas dan dia menganggap undangan pertemuan ini layak di wakilkan.     

"Maaf, Tuan kami...," kalimat Vian belum usai ketika Gibran melempar kalimat penuh penekanan.     

"apa-apaan dia? Dia pikir mengirimmu akan menyelesaikan masalah?!" dia marah. Gibran mendekati Vian yang masih ngos-ngosan, Vian perlu berlari untuk meminimalisir keterlambatannya.     

"jangan kha...," Vian mengais nafas, "watir," menyelesaikan kalimatnya.     

"Apa maksudnya jangan khawatir?" entah bagaimana Gibran tersinggung.     

"Saya bisa di andalkan. Saya bisa menjembatani anda dengan tuan kami,"     

"Hah!!" Gibran menggelengkan kepalanya berulang, "aku pikir dia bisa menghargaiku sedikit saja, kenyataannya harapnku terlalu berlebih," mengais smartphone di atas meja. Gibran melewati keberadaan Vian yang masih berusaha menemukan kata yang tepat untuk meredam kemarahan anak tertua Rio Diningrat.     

Kemarahan musuh bisa menjelma apa saja. Sayangnya bahkan sampai Gibran di ambang pintu Vian tidak tahu dia harus berkata apa.     

Gibran sempat menoleh sesaat.     

"Saya...," dan ungkapan Vian di abaikan. Lelaki bersurai pekat tersebut benar-benar pergi.     

Sudah berlari tunggang lalang untuk sampai di sini mengejar waktu. Vian memilih terduduk mengincar air putih yang tersaji. Dia belum usai menghabiskan zat cair di dalam wadah ketika pintu yang di tanggalkan Gibran kembali terbuka.     

Tapi bukan Gibran yang ada di sana. Perempuan kurus mengendap-endap dan segera menutup pintu menyisakan mereka berdua.     

"Maaf, kamu pasti terkejut," volume suaranya rendah, penuh kehati-hatian.     

"Apakah kamu mengenal Gesang?"     

Vian masih menelan air mineral untuk itu lelaki yang membenamkan pada gelas tersebut sekedar mengangguk.     

Mata gadis kurus di hadapannya bergerak hati-hati mengedarkan pandangannya ke beberapa sudut sebelum menyodorkan sebuah amplop berpita perak.     

Sebuah undangan yang terbungkus rapi, itulah yang ada di benak Vian. Bentuknya selepas meletakkan benda bening di atas meja.     

"Untuk Gesang?"     

"ya," suaranya lirih. Tangan kanannya kembali merogoh sesuatu. Kali ini ialah benda kotak kecil. Polos berwarna botol.     

"saya minta tolong, pastikan sampai pada Juan," Vian mengangguk.     

Siapa yang tidak tahu Juan.     

Vian hanya lupa dengan nama perempuan di hadapannya. Tapi sepenuhnya ia tahu gadis ini siapa.     

Calon istri putra tertua Rio.     

Dan semua dugaan Vian terbukti benar. Ketika Vian keluar dari ruangan presidensial dan menuju lobi.     

Ia kembali melihat gadis kurus tersebut. Berlari ke arah pintu mobil yang di buka dengan sempurna oleh seorang yang di ketahui Vian sebagai anak asisten Gibran.     

Tepat dimana Vian hendak berjalan menuju mobilnya, mobil hitam tersebut berputar arah melintasi Vian dan Gibran duduk di kursi belakang bersama gadis itu.     

Vian memeriksa benda yang ia terima, dia yakin amplop ini undangan pernikahan. Pria ini mengintipnya, "oh' Syakila," ujar Vian selepas menangkap nama yang terukir dengan tinta perak tebal dan mengilat.     

Nama yang bersanding dengan nama Gibran Diningrat.     

***     

"Dea?" mata Aruna berbinar. Temannya datang. Perempuan berhijab yang berjalan di belakang pak Surya. Lelaki yang langsung di sambut suaminya.     

"Arunaaa...," Dea memekik senang memeluk Aruna erat. Aruna membalas Dea tapi kali ini matanya lebih memilih mengamati keadaan pak Surya. Lelaki yang juga sahabat suaminya.     

'Rambutnya tumbuh?' Rambut Surya kini menutupi bekas luka yang dulu tak sanggup Aruna amati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.