Ciuman Pertama Aruna

IV-254. Jauh Tertinggal



IV-254. Jauh Tertinggal

0'Rambutnya tumbuh?' Rambut Surya kini menutupi bekas luka yang dulu tak sanggup Aruna amati.     

Lega rasanya melihat keadaan pak Surya sekarang, terlebih bisa bercengkerama dengan sahabatnya.     

Perempuan berhijab yang duduk di sisinya mulai berkisah tentang banyak hal. Surat ajaib, Lily, Agus, bahkan tentang Krisis di rumah tangga antara Dea dan pak Surya di kala Dea harus mendampingi pemulihan pak Surya.     

Berawal dari menceritakan orang-orang yang mereka kenal, perempuan berhijab melebar ke keberbagai kisah, mulai para aktor Marvel dan film barunya hingga Kpop Korea.     

Aruna bahkan tidak ingat kapan Mahendra dan Surya pergi menjauh. Dea mungkin sama dengan dirinya tak tahu kapan dua lelaki di dekat mereka pergi.     

Dugaan Aruna dirinya dan dea memiliki banyak kesamaan, salah satunya tidak mendapatkan kesempatan bersosialisasi. Dugaan yang di latarbelakangi antusiasme yang tercermin dari ekspresi dea detik ini. Di mana perempuan berhijab tersebut begitu antusias.     

Mungkinkah lingkungan pertemanan Dea menyempit seperti Aruna?     

Aruna senang merenungi pikiran-pikiran yang ada dikepalanya. Dia memiliki teman senasib.     

Sayangnya senyum mengembang yang diam-diam di sajikan Aruna atas apa yang dia sebut rasa senasib perlahan sirna begitu saja.     

Sejalan dengan celoteh dea yang kini merambah ke lingkungan kampus, Dosen dan teman-teman di kelas mereka.     

Aruna menyadari bahwa dia sendirian, tak ada yang senasib dengannya, Aruna mendapati perbedaan antara dirinya dan Dea. Dea masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan kuliah. Sedangkan Aruna tidak.     

Hal tersebut membuatnya sedih. Sedih merasakan dirinya tertinggal dan sendirian. Sedih bawa dia bahkan tidak memiliki satu orang pun yang bisa dikisahkan, karena Aruna merasa tidak tahu apa-apa dan tidak punya topik sama sekali terkait siapa yang harus ia angkat kisahnya untuk mengimbangi dea, yang berada di sekitarnya hanyalah penghuni rumah induk.     

Tempat yang membuat Aruna bosan. Aruna yakin mengimbangi kisah Dea yang bersemangat dengan kisahnya menjalani hidup di rumah tepi bukit ini tidak menarik sama sekali.     

"Bulan ini kita sedang sibuk-sibuknya mengikuti jadwal Yudisium," celetukan yang menjadikan hati Aruna berdebar hebat.     

Kalau bulan ini mereka menjalani jadwal Yudisium, itu artinya tinggal hitungan minggu bahkan hitungan hari saja teman-temannya mengenakan toga di kepala. Betapa menyakitkannya.     

Aruna tidak menyesali sedikit pun terkait kehamilannya. Dia Juga tidak mengeluh atas keadaannya yang mengharuskan dirinya melewati kehamilan tak sehat di semester terakhir.     

Yang Aruna sesali ialah kemudahan yang di tawarkan kampus terkait kelas online untuk mengikuti perkuliahan jarak jauh guna mengurangi ketertinggalan dari teman sejawatnya di tolak Mahendra. Hendra secara tegas menyatakan keberatannya. Hendra bahkan secara sepihak mengajukan cuti dengan dalih mengurangi tingkat stress atau kelelahan yang bakal di alami ibu hamil.     

Andai Hendra tahu perasaan Aruna, terlebih isi kepalanya detik ini. Hendra mungkin berubah pikiran. Sayangnya sudah terlambat.     

Aruna terbelenggu rasa frustrasinya. stres menyadari dirinya tidak memiliki pencapaian apa pun ditahun ini.     

Perempuan hamil tersebut mulai merah. Dea menemukan raut wajah Aruna yang membara dengan mata berkaca. Akan tetapi ekspresinya lebih banyak diam dan tenang, menekan ujung bibir bawahnya.     

Melihat itu Dea menghentikan perbincangan di antara mereka. "kamu tak apa Aruna?"     

Aruna menggeleng, Dea mungkin bisa menemukan ekspresi Aruna yang berbeda ini. Sayang perempuan berhijab tersebut tak akan tahu ada sesuatu yang terjadi. Sembari mencoba memahami Aruna, Dea bangkit.     

"kamu mau ke mana?" akhirnya Aruna bicara.     

"Aku rasa aku perlu memanggil seseorang yang bisa membantumu," Dea pikir Aruna kelelahan atau sejenisnya.     

"Tidak... aku baik-baik saja," Aruna menyeka bintik air di ujung matanya, "kamu pasti terkejut aku sangat emosional sekarang, hal-hal sepele bisa membuatku bersedih atau terlalu bahagia," tangan Aruna menangkap pergelangan tangan Dea memintanya kembali duduk.     

Dea mendengarkan penjelasan Aruna, tapi dia merasa tidak yakin ungkapan Aruna benar adanya.     

Aruna menangis, wajahnya merah bercampur lebam, sebab kehamilannya yang sebentar lagi memasuki persalinan.     

"Saat ini aku sedang senang, terlalu senang," Aruna sekali lagi mengimbuhkan penjelasan, "Berjumpa denganmu dan duduk berdua bersamamu membuatku mengingat masa-masa kita berjuang bersama-sama,"     

Dea mengangguk-angguk, untungnya Aruna bisa merangkai pernyataan yang tepat. Atas apa yang terjadi padanya detik ini.     

Dea yang lega kembali duduk dan membahas topik yang sempat terhenti, "Kamu tahu siapa yang bakal mendapatkan kehormatan menjadi mahasiswa terbaik jurusan kita tahun ini?"     

"Oh itu...," Andai Aruna tidak mengambil cuti mungkin nama Aruna bakal mencuat sebagai salah satu kandidat yang di jagokan untuk menerima penghargaan bergengsi sebagai mahasiswa terbaik.     

"Kamu tidak akan percaya, nama Vira digadang-gadang sebagai salah satu nominasi,"     

"Vira?" Aruna sadar betul bahwa gadis itu, gadis yang pernah dia jambak rambutnya, hampir mustahil bersaing dengan dirinya. Andai Aruna memiliki kesempatan yang sama, di izinkan mengikuti kelas perkuliahan.     

"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanda tanya sejalan dengan rasa penasaran Aruna.     

"Vira yang memenangkan Challange desain produk DM grup," Challange desain produk tersebut tentu Aruna ingat betul.     

Terutama terkait bagaimana Dirinya Aruna sangat berharap memenangkannya. Sayang segalanya sirna begitu saja.     

"Begitu ya," desah Aruna merasa dirinya lebih berhak atas segala pencapaian yang kemungkinan besar dapat dia raih.     

"nilai magangnya sempurna, terlebih desain produk yang di konsep diterima perusahaan DM Grup, wajar sih nama Vira masuk nominasi," Dea melengkapi. Dan betapa kalutnya Aruna detik ini.     

Kalut, sekalut-kalutnya, sampai tangannya bergetar bahkan berkeringat dingin. Dia kesal. ingin marah. tapi kepada siapa dan untuk apa?. ketidakberdayaan yang menyakiti hati Aruna.     

Walaupun obrolan antara Aruna dan Dea telah melebar ke hal-hal lain bahkan ke berbagai akun media sosial yang mana saat ini sedang asyik menyajikan foto maternity Aruna dan membuat iri banyak khalayak Umum di luar sana atas Keindahan Serta keeleganannya.     

Sayang hal itu tidak membuatnya merasa terhibur, alih-alih terhibur Aruna belum bisa melupakan betapa dirinya jauh tertinggal.     

"Dea, apa aku bisa minta tolong?" Perempuan hamil ini menyela.     

"Ya?"     

"Minta seseorang membawaku ke kamar,"     

"Oh, sayang sekali kamu sudah harus istirahat,"     

"Tidak..., aku ingin ke kamar mandi," Aruna menutupi kenyataannya yang asli. Dia merasa jiwanya tak terkendali, dia ingin menangis sejadi-jadinya detik ini. Sesuatu sedang menggumpal di dadanya menekan dirinya dan entah bagaimana membautnya merasa sesak.     

Sebuah tangisan sudah menunggunya. Kemarahan yang aneh dan rasa tidak bedaya yang membuatnya amat sangat tersiksa.     

Bukannya memanggil asisten rumah induk. Dea melintasi lorong demi lorong rumah mewah di tepi bukit ini. Mengamati kemungkinan di mana keberadaan Surya dan Hendra berada.     

Sesuatu yang seharusnya mudah andai rumah ini bukan rumah induk. Sebab kesulitan mencari ruangan yang mana letak dua lelaki itu. Dea akhirnya meminta bantuan salah seorang asisten yang melintas. Dia di bawa di sebuah ruangan.     

"Aruna...," hanya mendengar sama istrinya di sebut lelaki bermata biru bangkit dari duduknya bergegas keluar ruangan tanpa membiarkan Dea menyelesaikan kalimatnya.     

"Surya, hal lain aku serahkan padamu,"     

Sayangnya ketika lelaki bermata biru telah sampai di teras. Aruna sudah tidak ada di sana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.