Ciuman Pertama Aruna

IV-255. Sabar... Sabar...



IV-255. Sabar... Sabar...

0Sayangnya ketika lelaki bermata biru telah sampai di teras. Aruna sudah tidak ada di sana.      

Untuk itu Mahendra segera masuk ke dalam dan mencoba menemukan istrinya, dia melihat ratna dan seorang asisten laki-laki baru keluar dari kamarnya, alis hendra mengerut menatap asisten yang mengenakan baju hitam tersebut.      

"apa kamu menggendong istriku," gerakannya mendekat membuat dua orang yang membantu aruna saling menatap. 'dia marah hanya karena istrinya di gendong?' tanda tanya itu datang dari rekan ratna. Ratna mengangkat bahu dengan gerakan tersamar yang dia bisa. Tuan muda keluarga ini memang unik. Tak perlu diperdebatkan lagi. Begitulah pesan bahasa tubuh yang disajikan Ratna untuk rekannya.      

"nona menolak kursi roda yang kami bawa, dia...," hendra sudah berdiri terlalu dekat dengan lelaki berdasi kupu-kupu rekan ratna. Dia terlihat tinggi dan mengintimidasi.      

"lain kali jangan lakukan itu! Andai kamu berada di negara sebelah, bisa jadi saat ini aku diizinkan meleyapkanmu karena kamu berani menyentuh istri tuanmu," gertak lelaki bermata biru sebelum pergi menghilang di balik pintu kamarnya. Aturan kerajaan Thailand melarang orang biasa menyentuh istri dan anak turun keluarga kerajaan.      

Bisa dibayangkan betapa leganya dua orang yang sempat di intimidasi mahendra selepas lelaki ini pergi, mereka lekas menghembuskan nafas.      

"Dia menangis, bagaimana aku bisa mengabaikan nona yang ingin pergi ke kamar sendirian sambil berjalan?" rekan ratna baru berani membuat alasan setelah tuannya tidak terlihat.      

Sembari berjalan menjauh dari pintu kamar utama rumah induk, ratna nemimpali kalimat temannya, "andai kamu berada lebih dekat dengan pasangan muda mudi itu, alasanmu akan membuat tuan muda lebih marah lagi," ratna berbisik seolah dinding di rumah ini bisa mendengar percakapan mereka.      

"mengapa? Kenapa dia bakal makin marah?"      

"..." ratna tidak menjawab dia hanya tersenyum, mana mungkin dia mengumbar kata-kata yang tak pantas untuk keluarga yang memberinya tempat tinggal, pekerjaan dan kehidupan yang layak. Jadi ratna menyimpan sendiri rasa gelinya atas ungkapan : "Gravitasi tidak berlaku pada orang yang sedang jatuh cinta," apapun yang terjadi tuan mudanya terlihat sangat agresif dan terus menerus ingin menempel pada istrinya. Lelaki bermata biru terdefinisi terlalu bucin di balik pembawaanya yang kaku dan angkuh.      

Di balik pintu kamar mereka, dunianya terbalik seratu delapan puluh derajat.      

***      

Pintu baru di buka dan kini lelaki bermata biru menutupnya perlahan-lahan. Termangu agak lama dia mendapati Aruna mengubur dirinya di selimut dan menyisakan celah kecil. Sepertinya aruna tahu dirinya datang jadi Aruna buru-buru menyembunyikan diri. Dia memiliki kebiasaan seperti itu.      

"kamu tidak ingin membaginya denganku?" hendra duduk di tepian ranjang. Tepat di dekat kaki Aruna yang sedang memunggunginya.      

Aruna tidak mau ketahuan menangis, dia tidak ingin terlihat lemah. Walaupun rasanya ingin sekali meledak dan marah, Aruna tahu segala kemarahan atau argumentasi yang akan dia rangkai untuk melawan suaminya tak ubahnya tindakan bodoh.      

Hal yang dia tak suka dari mahendra kini bertambah satu daftar selain deretan daftar yang dulu sengaja dikumpulkan guna membentengi dari rasa jatuh cinta pada lelaki bermata biru.      

Aruna benci hendra memiliki wawasan luas. Entah bagaimana kelebihan tersebut membuatnya malah tertekan. Orang satu ini tidak bisa dikalahkan dalam perdebatan metode apa pun.      

Membungkus diri dan membiarkan hendra penasaran adalah siksaan yang layak pria itu dapatkan.      

Kini kaki aruna merasakan sebuah gerakan halus dari tangan mahendra.      

"apa kamu lelah? Atau kamu marah?" hendra tidak mengerti, apa yang terjadi pada Aruna. harusnya perempuan hamil ini senang dipertemukan dengan sahabatnya. Kenapa malah berakhir bersembunyi di balik selimut dan tak mau melihatnya.      

"Kenapa kamu ngambek?"      

"siapa bilang aku ngambek?" suara Aruna beriringan dengan bunyi samar ingus.      

"kamu menangis?"      

"Tidak!" dia berkata tidak dengan tegas. Tapi ketegasan kata tidak tersebut mengurkan nada isakan yang nyata. Jadi hendra bangit dari duduknya meraih dua lembar tisu sebelum memutari ranjang dan detik ini dia merindukan punggungnya mengintip celah selimut menatap istrinya.      

Mata aruna merah. Hidungnya juga merah bahkan bibirnya masih mendesahkan sedu sedan.      

"siapa yang membuatmu seperti ini?" mata hendra membulat tajam, alisnya menyatu dan detik ini juga tangannya meraih selimut lalu menariknya kuat-kuat. Hendra dan aruna sempat bersitegang mempertahankan keadaan selimut.      

Walaupun ujungnya aruna kalah, dan kini selimut yang membungkusnya sudah terlempar ke lantai. Dia terbuka lebar.      

"oh, ya tuhan..., apa yang terjadi dengan istriku?"      

Perempuan hamil memalingkan wajahnya. Enggan menanggapi Mahendra.      

Dalam hati hendra hanya bisa berkata, "sabar... sabar..."      

"apa yang membuatmu sedih sayang?" dia bukan lagi menunduk melainkan mencuri kecupan di pipi.      

Aruna menjadi cabi, tulang pipinya tak terlihat, matanya lebam. Sebesar apa pun perubahan di tubuh istrinya lelaki bermata biru menyukainya.      

"kau!"      

"Aku akan membelikanmu merpati balap,"      

"siapa yang menginginkan merpati?!"      

Hendra mengerutkan dahinya, mereka mendiskusikan burung tersebut pagi tadi.      

"lalu apa yang membuatmu ngambek? Apa yang kamu inginkan?"      

"melihatmu pergi dari sini! Aku malas melihat wajahmu!"      

"okey...,"      

'sabar... sabar...,' Hendra bergumam berulang, "Mungkin aku perlu bertanya pada Dea, kenapa istriku ngambek setelah bertemu dengan sahabatnya,"      

"jangan lakukan! Tidak ada hubungannya dengan dea! Ini murni karena kamu. Kau yang membuatku!" kalimat aruna tertahan sejenak, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, "Ah' sudahlah...," lalu menyerah untuk berdebat.      

Rasa tertekan tak akan membuatnya menyelesaikan keadaan.      

"lanjutkan! Aku akan marah kalau kamu masih suka berbelit-belit," hendra bicara sambil memalingkan wajah aruna, memastikan perempuan itu menatapnya.      

Gumpalan di dada aruna berubah menjadi udara hangat yang berhembus dari bibirnya. sulit dijelaskan bagaimana cinta kepada seseorang membuat kita lupa akan diri sendiri. mungkin ini definisi yang tepat untuk menggambarkan pribadi ambang yang di miliki aruna.      

Beberapa menit lalu dia ingin marah, meronta dan berontak pada pria yang detik ini menatapnya. Menyapa dengan saya menyajikan ekspresi khawatir.      

"Beri tahu aku kenapa kamu menangis," satu hal yang membuat telinga aruna serasa penuh ialah ketika hendra mempertanyakan hal yang sama berulang kali sampai pria itu menemukan jawabannya.      

"teman-temanku akan wisuda," bibir bawah aruna sengaja dia gigit supaya tak ada getaran yang berarti. Dirinya tidak secengeng ini saat hormonnya normal.      

Mahendra mengangguk ringan, 'istrinya kehilangan masa muda dan waktu bersenang-senang layaknya muda mudi seusianya,'      

"bersabarlah," jemari lelaki bermata biru mengusap rambut dan pelipis istrinya, "tidak ada pengorbanan yang sia-sia," hendra tidak bisa menjanjikan apa pun. Sebanyak harta yang dimiliki keluarganya, kebahagiaan adalah wujud lain, anehnya belum tentu bisa di barter dengan uang atau kekayaan.      

"Boleh aku mengajukan satu permintaan?"      

"Burung merpati balap?"      

"Bukan!! Hendra...,"      

"Ha-ha-ha, katakan sayang!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.