Ciuman Pertama Aruna

IV-256. Memilukan



IV-256. Memilukan

0"Boleh aku mengajukan satu permintaan?"      

"Burung merpati balap?"      

"Bukan!! Hendra...,"      

"Ha-ha-ha, katakan sayang!"     

"em...," perempuan hamil menggumam lirih, "mungkinkah ada kesempatan untukku melanjutkan studyku setelah baby lahir?"     

Mata itu penuh asan. Hendra mustahil mengabaikannya. Lelaki ini mengangguk, berharap istrinya bisa terhibur dengan menyuntikan sebuah harapan. Entah bakal terealisasi ataukah tidak dilihat nanti saja.      

"terima kasih," Hendra mendapati tubuhnya ditarik dan sebuah pelukan hangat dia dapatkan.      

Bahkan bayi mungil di dalam perut istrinya bergerak, menggeliat. Seolah memberitahu bahwa si kecil yang sebentar lagi hadir di antara mereka ikut merasakan pelukan ayah ibunya.      

*     

"Istirahatlah sayang," sampai Hendra menyadari istrinya mengantuk lelaki ini menunggunya dengan sabar. Menatapnya penuh perhatian. Sejalan dengan caranya bangkit dari duduk di samping sang istri yang telah menutup mata. Hendra, Dengan gerakan pelan meraih selimut, meletakkan benda tebal berwarna putih tersebut di atas tubuh Aruna.      

Beberapa saat terlihat ia berdiri tegap, menyedekapkan tangan melihat sang istri. Bibir merahnya mengatup rapat, sebelum mata itu akhirnya berpindah pengamatan.      

Hendra berjalan mengitari ranjang, menuju nakas. Dia mengambil handphonenya. Memainkan jemari sesaat sebelum terdengar bunyi bip bip bip panjang.      

Pria ini menelepon seseorang.      

[Apa hasilnya?] dia bertanya pada seseorang di ujung sana. Entah siapa itu.      

[gagal. Aku rasa Anda salah mengirim orang] jawab suara serak khas lelaki.      

[Aku sudah menduganya] lalu lelaki bermata biru ini mendekati jendela yang menjulang tinggi di kamarnya. Menyibak tirai yang bergerak-gerak di terpa angin. Dia menatap taman yang terhampar di luar sana.      

[kenapa Anda wakilkan. Kalau Anda tahu ini akan gagal] suara kecewa itu tak bisa ditutupi lagi.      

[mau bagaimana lagi. Anak dan istriku prioritasku saat ini] dia yang berdiri membelakangi ranjang yang di atasnya tersaji tubuh istrinya, menoleh sejenak menatap perempuan hamil yang terlelap.      

[harusnya Anda, em. Minimal mengirimkan seseorang yang layak menggantikan Anda. Negosiasi ini sangat penting]      

[aku tahu. Sekali lagi] dia terdiam sesaat, entah apa yang dipikirkan. Ataukah saat ini siluet punggung perempuan yang tertangkap berjalan-jalan di taman, di luar sana, menjadikannya berhenti bicara, [Mustahil mengirimkan orang sakit]      

[Tuan apakah aku perlu meminta Gibran mempertimbangkan pertemuan berikutnya?]      

[Sebentar] Hendra tiba-tiba mematikan handphone nya dia tak memperdulikan pertanyaan seorang waitress yang diam-diam menjadi pengintai pertemuan Vian dan Gibran.      

Bagaimanapun pria ini adalah sosok yang jeli dalam upayanya menguasai medan pertempuran yang perlahan-lahan menuju titik didih.      

Hendra memasukkan handphone nya, berjalan meninggalkan kamarnya. Meninggalkan aruna yang terlelap. Pria ini menuju taman. Ternyata benar dia tertarik pada siluet itu.      

Perempuan yang berjalan-jalan di taman. Sosok perempuan yang asing tinggal di rumah induk beberapa minggu terakhir.      

Mahendra mendekatinya. Membuntuti di belakang sampai perempuan itu sadar kalau berbalik dan tersentak.      

Tuan muda rumah ini ada di belakangnya, ini membuat Mia gugup bukan main. Kenapa Hendra ada di sini dan sedekat ini. Hendak apa lelaki bermata biru ini.      

"Aku sering melihat Anda di taman," ini salam sapa Mahendra.      

"Saya menyukainya. Maaf, kadang kala lancang ikut-ikutan merawat beberapa tumbuhan di sini," balas Mia.      

"begitukah?" bibir tipis itu tersenyum, "Oma sukma pasti senang jika dia tahu,"      

Dan senyumannya di balas dengan senyuman dari lawan bicara Hendra. Senyum yang canggung, tentu saja Mia tahu Hendra mendekat bukan tanpa tujuan.      

"Apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu?" untuk itu Mia bertanya.      

"Aku suka kamu bertanya dengan lugas padaku," balas Hendra.      

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang disajikan taman rumah induk.      

"berapa tahun kamu mengenal mantan suamimu?" langkahnya terhenti, "Ah' aku harap kamu tidak tersinggung," sela Hendra berikutnya.      

"sama sekali tidak, kami tidak pernah menikah,"      

Alis Hendra mengerut, mereka memiliki Juan, Juan lahir dari rahim perempuan ini dan wajah pemuda itu lebih mirip Rio daripada Gibran.      

"ikatan pernikahan terlalu berharga untuk seseorang yang diperlakukan seperti..." mulut Mia terkunci tidak bisa melanjutkan ucapannya.      

"jangan lanjutkan kalau itu menyakitkan untuk di ucapkan, sekali lagi aku minta maaf," hendra menatapnya sesaat, perempuan yang menjadi lawan bicaranya menarik nafas kuat-kuat.      

"Sungguh. Anda tidak perlu minta maaf," Mia merasa asing dengan cara pewaris tunggal keluarga Djoyodiningrat bertutur kata. Asing dengan sopan santunya. Mia tak habis pikir lelaki bermata biru yang ditakuti keluarga Diningrat adalah pria dengan pembawaan yang sangat menawan. Tidak terlihat angkuh, sombong apalagi tidak tahu diri seperti yang selama ini dideskripsikan orang lain.      

"Pernahkah Anda mendengar Human Trafficking? Mungkin istilah ini bisa menggambarkan diriku," kemudian tertawa kecil, menertawakan kepedihannya sendiri, 'Human Trafficking istilah yang terlalu bagus,' batin Mia.      

Di balik istilah itu ada makna lain yang bisa dipahami dua orang yang saling berkomunikasi. Mia ialah budak pemuas, istilah itu tak terucap tapi tertangkap dalam ungkapan yang tersirat.      

"Sejak?" sekali lagi hendra ingin tahu seberapa lama perempuan ini berada dalam belenggu mengerikan Rio.      

Ada gerakan samar seorang perempuan menekan bibirnya. "Orang tuaku adalah pembantu rumah di keluarga itu," keluarga Diningrat, "aku tinggal di sana sejak belia, dan mengabdi pada nyonya Julia bahkan sebelum menanggalkan seragam SMA. Pernikahan lelaki itu tidak sesuai rencana. Dan dia mulai menyeretku dalam kehidupan yang aku benci,"     

Pernyataan ini sudah cukup untuk Mahendra. Walaupun dalam kalimatnya, Mia memilih kata-kata terbaik yang bisa dia bagi dengan Mahendra.      

Perempuan ini adalah sosok yang cukup lama mengenal Rio, hidup di ruang pribadi Musuhnya, "apakah aku aku boleh meminta saran padamu?" tanya Hendra.      

"Silakan, aku selalu berharap bisa membalas kebaikan Anda,"      

"Menurutmu, apa yang paling ditakutkan Rio?"      

Mia berhenti melangkah, dia mengembara seolah mengingat sesuatu.      

"Kakek Anda," jawab Mia detik berikutnya.      

"???" Hendra tercengang sesaat kemudian tertawa.      

"aku tidak berbohong, dia sering mengatakan bahwa tetua Wiryo adalah seorang pria tua yang bisa membunuhnya kapan saja,"      

"Selain itu?" kembali Hendra bertanya, jawaban akan ketakutan Rio yang diujarkan Mia sungguh tidak memuaskan. Mia tidak tahu, bahwa kakeknya mustahil menghabisi putra adiknya apalagi adiknya. Entah sumpah apa yang di pegang lelaki di atas kursi roda itu. Hendra enggan menyadari betapa kakeknya menjengkelkan dengan terus bertahan di zona memprihatinkan ini.      

"Mungkin, Putrinya, Geraldine jelas paling di sayangi Rio, dia tidak pernah marah pada gadis itu,"      

"begitu ya..." detik ini Hendra tersenyum samar Geraldine bersama Timi di Finlandia, gadis itu dalam pengawasan orang-orang Hendra.      

"apakah anda ingin tahu siapa yang menjadi target utama Rio di keluarga Anda?" kini Mia berbalik menawarkan informasi.      

"Siapa?"      

"siapa pun yang memiliki kemampuan melahirkan pewaris keluarga ini, Rio dan Nyonya Julia berharap keturunan Wiryo lenyap," Hendra terbungkam. Tentu pernyataan itu benar, mengingat bagaimana ibunya dulu menjalani hidup secara memilukan, bahkan saat keberadaannya terkuak, hidup Hendra dipenuhi ancaman.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.