Ciuman Pertama Aruna

IV-257. Permintaan Mahendra



IV-257. Permintaan Mahendra

0"siapa pun yang memiliki kemampuan melahirkan pewaris keluarga ini, Rio dan Nyonya Julia berharap keturunan Wiryo lenyap,"      

Hendra mengangguk ringan, tanpa penuturan Mia lelaki ini tahu apa yang orang-orang itu mau. Musuh yang memiliki ikatan darah dengan keluarganya, menginginkan kemusnahan Djoyodiningrat.      

Pada langkah kaki keduanya yang perlahan mendekati tepian danau. Dua orang itu berhenti. Hendra membalik separuh tubuhnya menghadap pada Mia.      

"Boleh aku bertanya hal lain pada anda?"      

Mia mengangguk, "tentu, silakan," ucapnya, mata ibunda juan berbinar. Dia hampir tidak pernah diperlakukan sebaik ini oleh orang lain.      

Hidup dalam keadaan yang penuh tekanan sejalan dengan cara orang lain melihatnya dengan ekspresi rendah. Mia merasa detik ini luar biasa. Bagaimana tidak, pria yang berstatus Tuan muda keluarga adidaya ini berkomunikasi dengannya tanpa memberinya tatapan mencela.      

"Apakah kamu masih ingat, saat Aruna menangis?"      

"Ah' maaf, maafkan aku," perjumpaan terakhir mereka tidak menyenangkan. Mia ingat betul bagaimana lelaki ini membentaknya.      

"Bukan begitu... tak perlu minta maaf," hendra menenangkan wajah cerah yang serta merta berubah panik luar biasa, "aku hanya penasaran, apa yang terjadi di antara kalian,"      

"Itu...," Mia sedikit ragu.      

"Katakan saja,"      

"Istri anda mengajukan beberapa pertanyaan, sama seperti yang anda lakukan saat ini, pertanyaan yang membuatku bercerita tentang kisahku,"      

"Dan dia ketakutan?" duga hendra. Mia mengangguk.      

"aku tidak menyangka nona akan menangis, aku melihatnya sebagai perempuan muda yang kuat," imbuh Mia.      

"setiap orang memiliki ketakutannya sendiri," Hendra menatap permukaan air danau, pria ini mengarahkan tubuhnya pada danau yang terhampar salah satu sisi halaman rumah induk.      

Danau yang menyimpan banyak kenangan, kenangan yang saat ini bergerak layaknya roll film yang diputar.      

"bolehkah aku minta bantuanmu?" wajahnya menoleh pada Mia.      

Tentu saja Mia lekas berkata: "saya merasa sangat tersanjung, dengan permintaan anda," tidak ada yang pernah menganggapnya sebagai seseorang yang berguna selain putranya Juan. Dan ketika orang lain selain Gesang (juan) meminta bantuan betapa detik ini dada Mia berdesir senang.      

"Aku menginginkan sesuatu yang bakal membuatmu bingung," ucap mahendra, suaranya terdengar serak, berat, "tapi aku berharap kamu bisa melakukannya,"      

Mia mengangguk dalam-dalam, dibenaknya yang tersembunyi dia meyakinkan dirinya bahwa ia akan melakukan apa saja untuk memenuhi permintaan Tuan muda Djoyodiningrat. Lelaki yang menyelamatkan nyawa putra dan hidupnya.      

"buat istriku mengerti keadaan yang sedang kita hadapi, ceritakan secara gamblang kisahmu padanya," ada udara yang berhembus rendah dari bibir mahendra, "mengingat kenangan buruk menyakitkan, aku sadar betul ini tidak akan mudah, sayangnya-"      

Kalimat Mahendra belum usai tatkala Mia mengatakan: "akan saya lakukan,"      

"Ya, kau harus melakukannya," kalimat terakhir hendra adalah ucapan terima kasih sebelum lelaki bermata biru ini mundur dengan sopan meninggalkan mia yang masih berusaha merenungi tujuan pewaris tunggal keluarga Djoyodiningrat.      

Hendra memiliki sikap yang berbalik 180 derajat dari sebelumnya. Lelaki bermata biru itu membentaknya saat istrinya meneteskan air mata ketakutan atas apa yang dia ucapkan. Berbeda dengan hari ini. dia meminta mia menceritakan kepahitan hidup yang tentu saja akan membuat istrinya mengalami hal yang sama seperti saat itu.      

***      

Vian membuka pintu mobil dengan gerakan lambat. Sejujurnya dirinya sama sekali tidak berharap datang ke rumah tuannya. Harus berkata apa dirinya Andai bertemu Mahendra, dan lelaki itu menanyakan hasil yang dia dapatkan dari pertemuan berharga antara putra Rio dengan perwakilan cucu Wiryo.      

Hampir saja niatnya untuk mendekati pintu samping rumah induk yang terhubung dengan garasi mobil. Vian terpaksa menanggalkan kehendaknya.      

Benda berwarna hijau botol menyeringai mengapanya. Kalut mengingat ekspresi gadis yang mengendap-endap menemuinya demi menitipkan benda berlapis kain bludru lembut ini.      

Vian harus menemui Juan secepatnya, kalau bisa dirinya tak perlu berjumpa dengan Mahendra.      

"Vian?" sayang sekali, harapannya tak terkabulkan, keinginannya seperti buang tidur yang menyapa di siang bolong. Suara hendra menyapanya dari arah belakang saat lelaki bermata sendu ini sedikit lagi bakal mencapai tanggal untuk naik ke lantai 3 sehingga vian tak akan tertangkap.      

"Aku senang melihatmu datang," Vian lekas berbalik, pria itu nyengir.      

"hehe," terkekeh kosong Vian menundukkan kepalanya sejenak sebagai bagian salam kepada bosnya. Vian dengan gerak enggan membalik badan. Mencoba menghadapi Mahendra. jelas ini tidak mudah bagi Vian.      

"kamu datang untukku?" lelaki yang ditanya oleh Mahendra memberi tatapan ragu. Tangan kanannya mencoba menyembunyikan sesuatu.      

"Ya, Tuan," langkah Mahendra menunjukkan pria ini mengharapkan lawan bicaranya mengikutinya. Mereka berakhir pada ruang kerja pewaris tunggal Djoyodiningrat.      

"Apa hasilnya," lelaki bermata biru duduk dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kirinya.      

Sangat mengejutkan dia mencoba bertanya pada Vian padahal dia sudah tahu hasilnya. Mungkin begitulah cara kerja seorang bos meninjau kinerja bawahannya.      

"saya akan berusaha melobi mereka," vian berkata sembari bergetar, dia gagal menjalankan tugasnya.      

"Tidak perlu," ujar Mahendra berikutnya.      

"Maaf, sa-," kalimat Vian terpotong,      

"Jangan khawatir, toh tidak ada gunanya berkompromi dengan Gibran, Gibran bukan sosok yang cukup kuat untuk mempengaruhi Rio," Wajah Hendra mendekat ke arah Vian, "aku punya tugas yang lebih penting daripada bernegosiasi dengan Gibran," lelaki bermata biru menarik vian, dia mencengkeram lengan Vian.      

"Aku menemukan rekaman video heli kita terbang di atas gedung Tarantula," video gedung terbakar dengan dua pesawat heli melayang-layang di udara beredar di berbagai sosial media, isu yang berhembus adalah proses evakuasi, dan itu benar. Memang benar ada evakuasi yang terjadi. Akan tetapi evakuasi tersebut adalah proses penyelamatan yang untuk orang-orang DM grup yang juga membakar gedung tersebut.      

"Bagaimana bisa kamu dan Pradita membiarkan rekaman itu beredar?"      

"tenang saja tuan, mereka tidak bisa menggunakan rekaman tersebut untuk menekan kita, kita memiliki kartu As yang lebih ampuh,"      

"Aku tidak peduli, aku mau semuanya bersih dan rapi, minimalisir peredaran Video itu!" ada tekanan pada kalimat Mahendra, "Aku benar-benar butuh Raka saat ini,"      

Cengkeraman tangan Hendra terlepas dari lengan Vian, tapi rasa mencengkeram itu masih tersisa. lebih menyiksa saat nama Raka disebut.      

"Tuan, mustahil bagi saya meninggalkan Tim. Kami sedang menyiapkan berkas. Kita butuh banyak data pendukung, andai sewaktu-waktu Tarantula memperkarakan tragedi kebakaran," Vian mencoba menyelamatkan dirinya dari kehendak lelaki bermata biru yang mengharapkan keberadaan raka dan sekelompok pengawal yang dikendalikan lelaki berbadan kekar tersebut.      

"Akan aku pertimbangkan, saranmu," tubuh Vian tertimpa rasa lelah seketika.      

***     

"Kenapa aku tidak menemukan remote televisi? tolong carikan untukku Ratna," Aruna bosan, kamarnya sunyi, sekumpulan tulisan pada buku-buku yang berserakan di atas ranjangnya tidak membantu sama sekali, dia masih terbelenggu oleh rasa bosan.      

perempuan ini sejujurnya tidak suka membaca hanya saja pada nakas di dekat ranjang beberapa buku ditumpuk di sana, dia menduga itu perilaku suaminya. Pria itu menginginkan dia membaca teori menjadi ibu.      

Sesuatu yang membuat kepalanya pening.      

"Em… nona…" terdengar ragu-ragu, ratna mendekat, "tuan muda meminta saya em…" ratna gugup.      

"Dia melarangku menonton televisi?" mata Aruna terbuka lebih lebar, bukan sekedar handphone nya yang dikuasai, bahkan televisi di batasi.      

"Anda boleh menonton film kesukaan anda, atau apa saja selain stasiun televisi," tutur Ratna.      

"yang benar saja!. Panggilkan Hendra!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.