Ciuman Pertama Aruna

IV-260. Kemana Kamu Pergi?



IV-260. Kemana Kamu Pergi?

0"menyedihkan! Percepat beberapa menit ke depan,"      

"Ya Tuhan," keluh Hendra menatap gemas kelakuan istrinya.      

Di menit-menit berikutnya barulah perempuan di atas kasur itu tenang. Dia menikmati jalan cerita tak banyak bicara atau menampilkan ekspresi kesal.      

"Hendra,"      

"Ya?"      

"Aku lapar,"      

Lalu lelaki ini berdiri. Sesaat berikutnya dia mendapati bibir lelaki bermata biru menyesap bibirnya sekejap sebelum meninggalkan ranjang Sebelum membuat panggilan yang ditujukan pada asisten rumah induk untuk memenuhi permintaan Aruna.      

"Mengapa kamu memilih film ini?"      

"Aku rasa film nya bagus, efek animasinya memiliki review terbaik," dia yang bicara menoleh kepada istrinya. "Aku yakin dua perempuan manja menyukainya,"      

"2 perempuan manja??" Aruna memutar matanya dan dia baru sadar analogi lelaki bermata biru itu adalah dirinya dan makhluk kecil di dalam perutnya.      

"Moster itu, dia sangat kesepian, dan..." mata lelaki bermata biru menatap adegan yang disajikan layar televisi. "Hehe," lalu tertawa, Alih-alih melanjutkan kalimatnya, "entah..., aku seperti tahu apa yang dia rasakan,"      

Kini yang tersenyum adalah Aruna. "Kasar, kaku dan keras kepala,  selain..., Berwajah jelek..., Aku rasa karakternya mirip seseorang, sangat familier,"      

"sedikit mirip, sebelum seseorang membuatnya berubah, Ah! Film ini sudah bisa diduga ending nya," ini suara Hendra.      

"hahaha," dan Aruna tertawa renyah.      

"Dia akan jatuh cinta, lalu perempuannya tak sanggup meninggalkannya. Walaupun dia jelak," kata-kata Mahendra meluncur seiring caranya menaiki ranjang kemudian tubuhnya menangkap tubuh istrinya dan membuat perempuan hamil tersebut jatuh terbaring  di atas sulur bunga Lily.      

Mata mereka saling menatap, tatapan yang perlahan menghangat dan entah pada detik ke berapa lelaki di atas tubuh istrinya berhasil memasukkan lidahnya ke dalam bibir perempuannya.      

Bersama dengan Alunan Indah dari lagu yang ditulis oleh Howard Ashman dan komposer Alan Menken berjudul Beauty and the Beast. Lelaki bermata biru menyesap rakus.      

"Kamu selalu berhasil membuatku kehilangan kendali," kalimat ini milik lelaki bermata biru yang tersenyum sekilas sebelum kembali membasahi bibir istrinya.      

"Walaupun kelakuannya hampir serupa tapi milikku tak bisa di sebut Beast," Aruna mengambil nafas sejenak sebelum mengungkapkan pesannya.      

Pasangan ini tidak mendengar ketukan di pintu sampai Ratna mencoba membuka celah dan berkata, "bolehkah saya masuk," dia membuka celah untuk menghantarkan suaranya.      

"Silakan ratna,"      

"Oh, maaf," lebih tersentak dari yang sebelumnya. Tadi ratna melihat mereka bertengkar dengan volume tinggi akan tetapi tidak ada beberapa jam keduanya baikkan. Bahkan lelaki itu sepertinya baru saja menikmati tubuh istrinya. Hendra menoleh lalu duduk merapikan dirinya.      

"Bisakah kamu hentikan wajah bengongmu?" dia menggoda ratna.      

"oh' ya.. Iya tuan," ratna tersenyum ringan, mendesah tak percaya dan sesaat kemudian ia membuka pintu lebih lebar. Dia memberi jalan asisten lain yang bertugas mendorong meja trolly tiga susun yang berisikan makan malam Aruna.      

Senang melihat pasangan ini mengubah situasi buruk menjadi sweet. Mereka saling mencintai dan terlihat tak terpisahkan.      

.      

.      

"Dia sangat pandai mengendalikan situasi, apakah kamu melihatnya Ratna?" perempuan hamil berujar di sela-sela kegiatan memasukkan makanan.      

Ratna yang dia ajak bicara mencoba mencerna maksudnya, mencerna ungkapan dari nonanya. Lelaki bermata biru terlihat keluar dari ruangan selepas dia tahu istrinya menikmati makanan dengan damai tanpa gejolak emosi.      

Ratna tidak yakin untuk mengangguk. Tapi asisten ini melakukannya. Dia ingin menjadi teman bicara perempuan muda yang sering kali terlihat muram.      

Tok... tok... tok... "boleh saya masuk?" suara dari luar ruangan.      

Ratna bangkit dan Mia berdiri di sana.      

***      

Syakila tidak mendapatkan panggilan lagi. Perempuan ini mematikan segala notifikasi. Mode pesawat dia pasang dan baru di kembalikan ke pengaturan umum selepas mobil yang dia kendarai sampai di depan pintu gerbang keluarga Diningrat.      

"Akhirnya kamu datang sayang," Gibran ternyata berada di pelataran rumah tatkala dia datang, lelaki bersurai pekat ini berlari tunggang lalang menghamburkan pelukan tepat ketika syakila keluar dari pintu mobil di bantu ajudan keluarga.      

"kamu tak apa-apa?" Gibran menangkap wajahnya memeriksa tubuhnya bahkan mencoba menemukan sesuatu di tubuh Syakila.      

Syakila menggeleng lemah, dulu dia tak pernah melakukan ini. Sama sekali bukan dirinya. Dia yang asli adalah pembangkang yang akan berusaha keras untuk melepaskan diri bahkan menampik tangan Gibran ketika pria ini menyentuh kulit tubuhnya.      

Ada rasa miris pada dirinya sendiri. Seolah sosok dirinya yang lain sedang berada di luar tubuhnya dan memperhatikan keberadaannya sendiri yang sedang mendapatkan kecupan lembut bibir Gibran di seputar pipi.      

Sosok bayangan imajiner dirinya yang berdiri beberapa meter dari dirinya tengah memberinya tatapan datar, tak bergerak dan tak memberi instruksi apa pun. Akan tetapi tatkala Syakila memiliki kehendak untuk menatap seseorang yang mengamatinya dari kejauhan. Sosok imajiner itu menoleh lebih awal mendahului dirinya.      

Keduanya mengamati nenek lelaki yang memeluk tubuhnya, perempuan bernama Julia sedang mengamati adegan yang di lakukan cucunya dari serambi lantai dua.      

Pengamatan tersebut memberi sebuah dorongan yang membuat sosok lain syakila bergerak. Si imajiner yang serupa dirinya berjalan mendekati mereka dan bayangan semu itu memeluk gibran dari belakang.      

"lakukan," sempat terdengar bisikannya. Lalu menghilang seperti asap ketika sesuatu yang dia minta benar-benar di turuti syakila.      

Syakila melepaskan diri sejenak dari Gibran. Tapi dahi perempuan itu masih menempel pada dahi sang lelaki. Memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak. Perempuan ini mengumpulkan niat yang belum pernah sekalipun akan terlintas di benaknya. Di menyentuhkan bibirnya pada bibir gibran dan serta merta pria tersebut menyambutnya.      

Berciuman rakus di hadapan nyonya Julia. Syakila perlu merasa dia perlu memberi tahu bahwa dia perempuan yang di cintai cucu kesayangannya. Dia bukan barang yang bisa di atur sesuka hatinya.      

"Perempuan itu," rintih syakila manja menatap ke atas ke arah Julia. Membawaku secara paksa ke laboratorium. "Jika kita menikah nanti aku tak ingin tinggal di rumah ini, dia sangat menakutkan. Meminta orang-orangnya menyuntikku lalu memeriksaku seolah aku bukan manusia yang bisa di ajak bicara baik-baik," wajah syakila bukan lagi cemberut dia memejamkan matanya solah-olah ingin menangis.      

"aku takut... takut sekali," Gibran tidak menimpali apa pun atas kalimat yang di ujarkan Syakila. Akan tetapi perempuan ini cukup luar biasa dengan mendorong Gibran menatap geram pada neneknya.      

***      

"Hai bro...," suara langkah kaki terdengar berjalan dengan gerakan serempak. Sekelompok orang berbadan tegap melangkah bersama-sama membelah lobi lapang nan mewah Djoyo rizt hotel yang sedang sibuk-sibuknya.      

Jam cek in dan cek out, menjadikan lobi hotel di pusat kota metropolitan ini penuh. Anehnya keberadaan sekelompok lelaki berbadan atletik menjadikan sekian orang memilih untuk berhenti beraktivitas dan malah menatap Mereka.      

"senang melihatmu kembali," pria berkaca mata keluar dari markasnya, dia berambut ungu hari ini. Setelan celana dan jaket Celine berbahan kaos tebal warna putih menjadikan rambutnya mirip permen kapas yang di letakkan di atas kepala seseorang.      

"Bagaimana keadaan Thom?"      

"Yeah..., aku menyesal dia harus mengalami kejadian buruk, lagi dan lagi," Pradita bicara sembari menaikkan frame kacamatanya yang tebal.      

"Thom masih di rumah sakit?" raka terlihat berhenti berjalan bahunya dan kedua telapak tangannya di angkat menunjukkan dia tak percaya Thomas belum pulih sepenuhnya.      

"Kau ingin aku temani? Menjenguk Thom??"      

"Tentu saja,"      

  .     

.     

"Oh, Tuhan Raka benar-benar pulang," batin seseorang sedang bersuara untuk dirinya sendiri.      

      

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.