Ciuman Pertama Aruna

IV-264. Supaya Jiwaku Kembali



IV-264. Supaya Jiwaku Kembali

0"Dia bersemangat sekali pagi ini," itulah yang terdengar dari bisik-bisik lirih para asisten rumah induk. Istri tuan Mahendra, yang lebih banyak mengurung diri di kamar –sebab kehamilannya yang kurang sehat— dan kemarahannya atas segala larangan yang harus dia tanggung.      

Keluarga Konglomerat ini mencintainya. Memberinya segala hal secara berlebih kecuali kebebasan. Dia tertekan dan terbelenggu sebab itu.     

Anehnya hari ini raut muram pergi dari wajahnya. Dia duduk di meja makan paling awal. Menginginkan sarapannya di sajikan bersama keluarga.      

Melihatnya yang demikian, menjadikan siapa pun akan teringat masa awal perempuan ini datang ke rumah induk. Gadis yang ceria, bersemangat dan pantang menyerah pada hal-hal kecil maupun besar.      

Dia bahkan bisa menangani segala kekacauan yang paling menegangkan. Pertikaian para lelaki bernama belakang Djoyodiningrat. Aruna bisa menjadi bagian yang mendamaikan dengan caranya. Sayangnya beberapa bulan terakhir tekanan akibat banyaknya aturan hidup menjadikan si cerah itu tak lagi bersinar.      

"Anda mau makan apa hari ini?" koki rumah induk mendekat. Pria berkumis dan bertubuh tambun itu terlihat bersemangat atas keberadaan Aruna.      

"sama seperti yang lain," memberi jawaban dengan wajah berbinar.     

"sayang sekali," sang koki kecewa, "Anda bisa meminta apa saja, tapi Anda tidak memanfaatkannya," kumis koki mengerut dan aruna tertawa.     

"Sayang," dari kejauhan lelaki tinggi tegap berambut kecoklatan dengan mata birunya yang cemerlang datang, koki mundur menyadari suami perempuan kesayangan mereka datang.      

"senang melihatmu, di sini," Mahendra menarik mundur kursi di sisi kanan tempat Aruna berada. kecupan kecil jatuh di pelipis perempuan tersebut sebelum dia membalik piringnya.      

"tidak menunggu yang lain?" Mata aruna jatuh mengamati gerakan tangan mahendra.      

"Jadwalku penuh hari ini, aku minta maafkan aku sayang," dia yang bicara menuang susu di gelas istrinya dengan cekatan, sejalan dengan gerakannya mengisi piringnya, "dan untukmu," dia memandang aruna dengan tatapan serius, "jangan buat dirimu lelah,"      

Dimata Aruna ungkapan mahendra sangatlah tidak masuk akal. dari banyak hari yang terlewati, yang dilakukan aruna sekedar bermalas-malasan.      

Untuk itu ungkapan mahendra mendorong cemberut kecut di bibir istrinya.      

"Selain baju, sepatu dan perhiasanku, apakah aku bisa membuat keputusan untuk make up yang akan aku gunakan," mendengar pertanyaan ini hendra mengerutkan alisnya. menebak kemana arah pembicaraan istrinya.      

dan lelaki bermata biru itu tersenyum, "tak perlu memikirkan apapun, segalanya telah siap, sebaik dan sedetail yang timku bisa lakukan," hendra tahu istrinya pasti memikirkan hari dimana dia bakal mendapatkan kesempatan tampil di depan publik secara resmi, untuk pertama kalinya, dikenalkan pada seluruh orang dalam lingkaran Djoyo Makmur Group.      

"kamu cukup siapkan dengan baik kondisimu sayang," lelaki yang bicara dengan aruna melahap makanannya.      

Si pemilik mata biru senang menatap wajah cerah istrinya.     

"kamu yakin pilihanmu benar?" serak, dengan patahan kaku dan terkesan dingin. pria beruban baru datang. dia bergerak tanpa suara dikarenakan teknologi kursi yang menopang tubuhnya, "Hemm," Wiryo datang, berdehem selepas menghancurkan imajinasi Aruna akan hari indah yang dia impikan. Pria itu meraih koran di atas meja makan yang diletakkan para asisten --pada sisi kanan tempat yang secara konsisten sebagai posisinya duduk.      

Mengibaskan kertas berisikan informasi terkini, kemudian menenggelamkan wajahnya pada lembaran kertas.      

"kebakaran hebat," dia berdehem lagi sebelum membalik lembar berikutnya, "tindakan yang gegabah!"      

Pagi yang indah ini hancur seketika, Hendra menggenggam sendok kuat-kuat. Aruna yakin andai benda itu terbuat dari kayu pastilah telah patah menjadi dua bagian.      

"Ah, hendra…, baby bergerak," Aruna merebut tangan kanan suaminya. meletakkannya pada permukaan perut, spontan raut wajah lelaki tersebut berubah drastis.      

Hendra teralihkan, pria itu berkonsentrasi penuh mencari gerakan bayi. Dia butuh energi dari bayinya. energi yang bisa meredam emosinya supaya mampu mengabaikan sindiran kakeknya.      

Aruna diam-diam mengamati lelaki paruh baya yang duduk di ujung meja makan. lucunya, tetua menurunkan sedikit lembaran koran yang menutup hampir seluruh wajahnya.     

sang calon buyut mengintip penasaran.      

"jangan baca koran di meja makan!" oma sukma datang, mencabut lembaran kertas yang digenggam suaminya.      

"Sampah-sampah ini ditulis pekerja dengan tujuan mendapat uang," dia mencibir koran berharga suaminya. menggerakan tanganya memanggil seorang asisten. dan ketika asisten tersebut mendekat, sang perempuan anggun tersebut berbisik, "buang saja,"      

Untung saja tetua tidak mendengarnya. andai si pemilik suara serak dengan patahan kaku itu tahu istrinya meminta bacaan paginya di buang. bisa jadi ia akan muntab.      

mengapa bisa tetua wiryo tidak menyadari tindakan sang istri? lelaki tersebut masih enggan melepas tatapan dari sepasang suami istri yang sedang bercengkrama dengan calon generasinya.      

 "apakah, emm…," ragu aruna berucap, "opa ingin menyapa," aruna menghentikan kalimatnya. sorot mata tajam itu menghunjam.     

"bolehkah?" dia berujar dengan suara samar.      

Aruna mengembangkan senyum, walaupun kaku dan keras kepala seperti batu. para lelaki bernama belakang Djoyodiningrat agaknya sama saja. Mereka memiliki cara yang sama dalam mengekspresikan cinta. menuntut, angkuh dan posesif tapi manis.      

Aruna bangkit dari duduknya perlahan-lahan. melihat usaha ibu hamil tersebut.     

 opa wiryo mengambil inisiatif, dia menggerakan kursi rodanya mendekati istri cucunya.      

Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Aruna, pria tua dengan banyak kerutan diwajah --mungkin akibat pembawaannya yang terlalu tegas-- tersebut tersenyum.      

dia tersenyum menyentuh perut Aruna.      

"Yang berada di dalam perutmu lebih berharga dari apapun yang kita miliki, semoga kamu mengerti," membelai sekejap, dia berujar dengan menatap mahendra.      

Aruna tahu pria ini pasti tak jenak, sebab Mahendra memberi kesempatan dirinya keluar dari sarang emas, bahkan hadir di depan khalayak umum.      

"Hah!" ini desahan suara mahendra, bibirnya sudah terbuka untuk membalas ungkapan tetua. Akan tetapi Aruna tangkas menangkap bahu Mahendra. membuat usapan pada lengan atas diiringi dengan gerakan menggelengkan kepala.      

Opa Wiryo menjauh selepas dia merasa cukup. Aruna tahu lelaki itu sempat berdoa dibalik caranya yang membelai singkat, sangat singkat, bahkan ada kesan elegan di sana.      

Gerak gerik lelaki tua satu ini memang luar biasa. harga dirinya yang tinggi seimbang dengan gerak tubuh, mimik wajah, suara bahkan caranya menyindir orang yang tidak sejalan dengan pola pikirnya.      

"Saya butuh berada di sana," Aruna belum duduk saat ia mengujarkan kalimatnya. perempuan hamil ini bergerak lambat mendekati kursinya. dia berbicara menatap Wiryo yang baru saja kembali pada posisinya, "saya menginginkannya, menantikan hari itu,"      

"Buat apa?" kalimat tanya ini sederhana. akan tetapi Aruna sadar betul dia harus bisa memberi jawaban yang mengesankan, sehingga lelaki tua itu memberinya kesempatan, mendukung keputusannya keluar sangkar dan terbang, menghirup udara bebas sesaat.      

"Supaya jiwaku kembali pada tubuhku," kalimat aruna mengandung tanda tanya hebat pada tiap-tiap orang yang mendengarnya.      

Tak ada yang tahu bahwa perempuan ini menyadur kalimat Kahlil Gibran, 'Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa roh (jiwa).'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.