Ciuman Pertama Aruna

IV-265. Selendang



IV-265. Selendang

0"Supaya jiwaku kembali pada tubuhku," kalimat aruna mengandung tanda tanya hebat pada tiap-tiap orang yang mendengarnya.      

Tak ada yang tahu bahwa perempuan ini menyadur kalimat Kahlil Gibran, 'Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa roh (jiwa).'     

Dia memberi tatapan pria yang rambutnya telah penuh uban tersebut dengan berani. Ada ketugah di sana, ada daya yang tak terkendali.     

"lakukan saja. Lakuakn apapun asal kamu Bahagia, asal Aruna yakin aruna bisa melakukannya," Sukma masuk dalam komunikasi implisit yang terjadi antara si tetua dan istri cucunya.     

"kenapa kamu tak bisa seperti yang lain?" seolah tidak mendengar kata-kata Sukma, lelaki tua di atas kursi roda, Kembali menghujamkan pertanyaan.     

Kali ini bukan pertanyaan sederhana, tanda tanyanya bagian dari sarkas yang nyata.     

Aruna menjeda jawabannya, perempuan ini terlihat berpikir keras, "Sebab, aku…," terbata Aruna menahan kata-katanya, 'Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.' Menoleh pada perempuan yang duduk di hadapannya, Sukma yang mencintainya dengan sepenuh hati. Dan berusaha untuk selalu membuatnya Bahagia, Aruna tak sanggup mengutarakan kalimatnya.     

Dia menelan ungkapannya, dia takut menyinggung oma sukma. Walaupun seluruh orang tahu bahwa latar belakang dan kisah mereka jelas berbeda. Tapi perempuan hamil ini tak sanggup untuk mengutarakan kalimat-kalimatnya.     

"Aku memberinya kesempatan, bukan karena aku ingin semua orang tertuju padanya, tetapi supaya orang-orang tahu bahwa pencapaianku bukan sekedar milikku... ada seseorang di belakangku yang membawaku sampai di tempat ini," Hendra meletakkan sendok dan garpunya, "Kita tidak bisa sukses sendirian, dan anda tahu itu," lalu kepala lelaki bermata biru ini mendekati telinga istrinya, "Ayo sayang," Hendra menginginkan pergi dari tempat duduk ini.      

Tapi aruna menolak ajakan suaminya, dalam tenang dan kebisuan dia melanjutkan makannya. Hal tersebut membuat Mahendra sempat terkejut, dia menatap istrinya, mengamati gambaran sisi kanan perempuannya yang detik ini mengunyah sarapannya tanpa suara.      

Sama seperti yang dilakukan cucu menantunya, Sukma yang sejujurnya hendak pergi meninggalkan meja makan. memilih bertahan. dia ingin memberi dukungan. entah dukungan macam apa, Sukma merasa dirinya yang sejauh ini tidak mampu meruntuhkan kekakuan suaminya. akan lebih berguna dengan duduk diam di kursinya.      

"apakah kamu pernah membaca kisah Jaka Tarub?" suara tetua yang asik mengunyah makanannya memecah keheningan di atas meja makan untuk kesekian kalinya. Entah kepada siapa dia bicara.      

"Menurutmu apa yang terjadi andai nawang wulan tidak menemukan selendangnya? sayang, seribu sayang, selendang itu ditemukan dan dia tak pernah kembali," betapa terkejutnya Aruna atas ucapan tetua Wiryo yang begitu rumit dipahami, akan tetapi mampu menjadikan seseorang pucat pasi seketika. Dan itu suaminya.      

Aruna tak paham kisah apa itu, dan mengapa selendang menjadi komoditas penting yang mampu mengoyak sanubari suaminya. hendra membeku, dingin menjadi batu. dia benar-benar tak bersuara detik ini. dia bergeming dan gamang.      

Aruna mengenalnya dengan baik, bisa jadi lebih baik dari siapa pun yang berada di atas meja makan ini. tentu saja, sebab dia adalah istrinya, orang-orang di sekitar aruna mungkin pernah melihatnya tanpa sehelai apa pun di masa suaminya balita, tapi, aruna, noda kecil di dekat pusar pria tersebut tak akan luput dari pengamatannya.      

"kamu tak apa-apa?" aruna menyentuh punggungnya. menyentuh punggung lelaki yang meletakkan dagunya di atas kepalan tangan kanan.      

Sejalan berikutnya sebuah tatapan dihantarkan Hendra secara menyeluruh pada Aruna, tangan lelaki bermata biru tersebut naik menyentuh pipi Aruna.      

"Ratna," dia mencari asisten yang biasa membantu istrinya.      

"Panggilkan Ratna untukku," dan meminta asisten itu membawa istrinya ke kamar.      

"Kenapa?" Ini pertanyaan Aruna, pertanyaan yang tak bisa dijawab Mahendra. Perempuan ini menatap tetua Wiryo, lelaki paruh baya yang ternyata saling melempar pandangan dengan Mahendra.      

"Hendra," ini suara aruna     

"Maaf," pria ini mengujarkan maaf sejalan dengan gerakannya mengangkat tubuh istrinya dalam dekapan. Membawa perempuan hamil itu di pelukannya.      

Melangkah meninggalkan ruang makan menuju kamar mereka.      

"Apa yang terjadi padamu?" Belum ada jawaban bahkan sampai dia memberi perempuannya kecupan selamat pagi. Dan lumatan di bibir yang memberi arti bahwa Mahendra akan pergi memenuhi jadwal kerjanya.      

"Aku akan pulang lebih awal," dia berkata, menundukkan wajahnya dan mengendus bayi di dalam perut istrinya.      

"Maaf," hanya kata ini yang dia ujarkan pada Aruna sampai menghilang.      

"Ratna carikan aku laptop, atau apa saja yang bisa terhubung dengan internet, andai itu pun tak di izinkan untuk ku. bolehkah aku meminjam milikmu?" Mata coklat itu menatap penuh harap.      

Ratna mengangguk dalam-dalam, dia berjalan menuju meja kerja suami perempuan yang beberapa menit lalu di baringkan pada ranjangnya.      

Memeriksa setiap celah laci yang bisa di buka, "nona," dia menunjukan Ipad pro berukuran 11 inci.      

"ada sandinya," resah Ratna.      

"bawa kemari," aruna meminta benda itu lekas sampai di tangannya.      

"anda bisa menggunakan internet handphone ku nona," dan asisten itu menyodorkan ke semua yang di inginkan Aruna. termasuk handphonenya.      

"menurutmu apa paswordnya?" Aruna mencoba bertanya dengan ratna. dia yang di tanya menggeleng. menyerah.      

"mungkin, tanggal lahir, em… anda," dan gagal.      

"tunggu…," dan perempuan ini mengingat sesuatu, dulu sekali bahkan saat aruna belum menikahi lelaki bermata biru dia pernah di berinya sebuah kartu untuk membayar makan mereka kala itu.     

"22 06 xx," dan perempuan tersebut memekik senang luar biasa saat dirinya berhasil mendapatkan akses menuju ipad pro milik suaminya.      

"Ratna kunci pintunya," dan dia berselancar, sedikit aneh, perempuan ini mencari tahu seberapa hebatnya kisah joko tarub, sebuah kisah kuno yang melegenda menurut laman google. beberapa skripsi muncul sebagai bagian dari analisis makna yang tersirat dari kisah klasik tersebut.      

Termasuk lambang selendang yang menjadi komoditas utama yang mewarnai seluruh jalannya cerita, di awal dan di akhir cerita.      

hendra tak akan menjadi pucat andai ungkapan kakeknya sekedar kalimat sederhana.      

.     

.     

Pintu di ketuk dan lelaki bermata biru berdiri di sana.      

Seorang perempuan keluar dari kamarnya, "Mia, saatnya, temui dia," hanya itu yang di sampaikan hendra. sebelum pria itu pergi dengan pendampingan putra Mia.      

Juan membuntuti langkah kaki Hendra di belakang.      

Detik ini sesungguhnya juan sangat penasaran tapi dia tak bisa mengatakan apa pun. pria ini minta tolong apa pada ibunya.      

sepanjang perjalanan mereka, mobil di isi keheningan. Hendra meminta juan duduk di sisinya alih-alih membiarkan sepupunya duduk di kursi penumpang bagian depan.      

"Juan, boleh aku tahu, mengapa kamu sangat benci pada Rio?"     

pertanyaannya sangat mengejutkan, pertanyaan yang membuat kepala juan di penuhi segala macam rasa muaknya pada lelaki yang kantornya dia bakar habis itu.      

"dia ayahmu, secara biologis kamu punya ikatan dengan nya, bagaimana bisa kamu antipati padanya," lelaki yang menatap jalanan mengalihkan pandangan. menelusuri Juan, memohon jawaban.      

"sebab dia membuat bunda Mia tersiksa, itu kekejaman paling tidak masuk akal, dia menjadikan ibuku tahanan,"     

Jawaban itu membuat lawan bicara Juan bergetar.      

…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.