Ciuman Pertama Aruna

IV-271. Layaknya Pertunjukan Ludwig van Beethoven Sang Komposer Tuli



IV-271. Layaknya Pertunjukan Ludwig van Beethoven Sang Komposer Tuli

0Apa yang perlu di cari dari sosok lelaki selain cara mereka memandang kemuliaan diri ini sebagai seorang perempuan?      

.     

.     

"Sudah tidur?" pertanyaan ini diajukan seseorang untuk dirinya sendiri. memeriksa sang istri dalam dekapan yang ternyata telah kehilangan kesadaran, Aruna tersayang telah tertelan rasa kantuknya.      

Selepas menyadari dia yang di jaga terlihat begitu nyenyak, mahendra membenarkan posisi tidur istrinya. merapikan selimut dan memberinya kecupan kecil di pelipis. sebelum bangkit dan membiarkan dirinya sejenak mencoba mencari udara segar.      

Pekerjaan menghimpit sejak pagi. tanggung jawab sebagai suami memaksa punggungnya tetap tegap dan jiwanya tetap kuat walau dirinya sendiri dilanda lelah luar biasa.      

jogging malam mungkin bisa mengurai rasa jenuhnya sesaat. taman induk dengan embun yang turun perlahan menyentuh dahan-dahan di malam hari cukup menyegarkan.      

Baru setengah putaran kakinya terhenti sosok perempuan yang ternyata bukan sekali dia dapati di taman, berdiri menikmati malam seperti dirinya.      

"kamu benar-benar menyukai taman ini rupanya," dari arah belakang hendra menyapa dan perempuan itu menoleh ke belakang menundukkan sedikit kepalanya.      

ada senyum yang menggantung di bibir sang perempuan, "tempat ini indah,"      

hendra menolehkan kepalanya ke beberapa arah mencoba menemukan keindahan yang di maksud dan perempuan itu tertawa ringan. "anda tidak akan menemukannya dengan cara seperti itu,"      

"lalu aku harus bagaimana? supaya menemukannya,"      

perempuan ini mengarahkan telunjuknya ke atas, ke arah bulan yang menyala di langit pekat lalu telunjuk itu turun ke sebuah tempat, tepat di atas permukaan air. dan itu memang indah.      

cahaya rembulan yang bergerak-gerak di atas air danau.      

"baru ini aku menyadarinya," ungkap hendra maju selangkah berdiri mengiringi berdirinya perempuan yang menatap permukaan danau tanpa henti.      

sejenak sempat sunyi, sampai pria ini merasa ada sesuatu yang perlu dia sampaikan.      

"Aku," satu kata sudah mampu merebut konsentrasi lawan bicaranya, "kurasa permintaanku padamu aku anulir,"      

sekali lagi Mia tersenyum, "baguslah, apa baiknya menakuti istri anda, walaupun dia harus tahu bahwa keadaan yang di hadapi dua keluarga ini perlu diwaspadai. aku yakin ada saatnya nanti istri anda akan mengerti,"      

"aku punya caraku sendiri," balas hendra.      

"begitu ya?" Mia kembali melempar tatapan pada cahaya rembulan yang bergerak-gerak dan menari indah di atas permukaan air.      

"lelaki itu, sepertinya belum mau menyerah,"      

Mia menggenggamkan jemari-jemarinya mendengarkan pernyataan hendra.      

"seburuk apa pun dia, dia terlihat seperti lelaki yang kocar-kacir kehilangan perempuan-"      

mia menoleh memberi tatapan tidak menyenangkan kepada mahendra, "jangan memberikan kesan orang itu memandangku sebagai perempuan," untuk pertama kalinya kalimat hendra di rebut orang lain dan dia kehilangan kata untuk membalasnya. dua orang ini tahu siapa yang mereka bicarakan, Rio yang mengerahkan beberapa orangnya untuk mencari kemana Mia pergi di tengah panasnya perang dingin yang sempat mencuat ke permukaan hingga sebuah gedung terbakar.      

Rio bahkan tidak tahu putrinya juga diamankan lelaki bermata biru dengan cara spektakuler, layaknya pertunjukan Ludwig van Beethoven sang komposer tuli yang mengguncang panggung.      

Sebuah pencurian besar, tentang anak gadis dari ayahnya akan tetapi dia yang diamankan tidak sedikitpun merasa bahwa tindakan yang dilakukan Mahendra ialah kejahatan nyata.      

Manusia mudah dimanipulasi jika itu berkaitan dengan hati, dan unit D17, Tian Mizan Timur bekerja dengan sangat baik dengan membuat ikatan kuat hingga dia dan geraldine benar benar jatuh cinta.      

Entah kapan Rio akan menyadarinya, andai lelaki itu sadar satu perempuannya dengan senang hati tinggal di dalam kurungan rumah keluarga Djoyodiningrat dan satunya dengan senang hati di larikan ke negara nan jauh di sana untuk hidup bersama seorang pemuda yang ternyata ialah unit khusus bentukan keluarga musuh. tentu tak ada lagi yang namanya perang dingin atau perang yang menyala sekejap kemudian sirna.      

"alih-alih membicarakan saya, kenapa anda memutuskan tidak lagi meminta saya menakuti istri anda?" ekspresi wajah mia sudah berubah dari ketegangan kini menjadi sebuah tatapan yang membawa kesan penghinaan ringan.      

hendra mengangkat bahunya, "aku mendengar penjelasan putramu," maksud Hendra ialah Juan, "aku tidak ingin di benci putriku --kelak, sebab aku memperlakukan ibunya dengan buruk," bahunya turun, "menakut-nakutinya dengan cerita-cerita seram," lesung pipi hendra terlihat sebab pria ini tersenyum lebar.      

"lalu apa yang anda gunakan untuk meredam ibu hamil yang super kepo itu?" maksud mia ialah Aruna, gadis muda yang menjadi nafas keluarga konglomerat adidaya ini.      

"aku menceritakan kisah cinta menyayat hati,"      

Mia menggelengkan kepalanya tak percaya.      

"kisah cinta monster bertepuk sebelah tangan yang menjadikan istriku menangis tersedu-sedu sampai terlelap," lanjut hendra.      

"ada yang seperti itu?"      

"tentu saja ada, buktinya dia benar-benar tidur nyenyak malam ini," balas hendra.      

Mia melirik hendra sesaat, melirik lelaki yang usianya 10 tahun lebih muda dari nya, pikirannya tak mau diam dia ingin menerka sesuatu, "kamu mendoktrin?" ragu Mia, "istrimu?"      

"Yeah, tepat," jawabannya dingin, matanya menatap cahaya bulan yang bergerak, si biru cemerlang itu terlihat menyala seperti ada api di dalamnya. padahal itu pantulan dari mata yang menatap cahaya.      

Mia menelan salivanya, bulu kuduknya berdiri, seketika dingin udara malam dia rasakan.      

"semua lelaki sama saja Mia," pemilik mata biru yang berkilat itu berujar, "kita punya naluri menguasai, itu hasrat purba kami, hanya saja caranya berbeda-beda: dengan cara Kasar atau lembut. Dengan cerita seram, atau romantis. Tujuannya sama," terdengar hembusan nafas sejenak, sebelum tuan muda yang lebih dingin dari udara malam itu kembali melangkahkan kaki untuk melanjutkan jogging mengelilingi rumah indah di lereng bukit.      

Mia tak lagi berhasrat mengamati bulan atau bintang di langit, bahkan embun yang jatuh ke dahan-dahan, pemandangan yang membuatnya tergila-gila tak lagi menarik hatinya. berjalan cepat kembali memasuki rumah yang menyala temaram di malam hari.      

˜˜˜     

"Hendra belum bangun?" koran di kibaskan diatas meja makan. pagi ini lelaki tua di atas kursi roda meminta dua salinan sekaligus. Wiryo perlu memastikan kalau-kalau istrinya hendak membuang korannya, dia masih punya cadangan.      

"apa kamu lupa, ini hari apa?" Sukma menimpali kalimat Wiryo, tidur lebih lama ketika weekend, menurut sukma tak ada yang salah dengan itu.      

tapi ternyata, selang beberapa detik dua orang dengan rambut tak lagi hitam pekat ini mendapati yang mereka bicarakan datang.      

menggeser kursi dan mulai duduk di mejanya.      

"kamu sudah membaca ini?" satu koran di sodorkan ke arah mahendra.      

"bisakah sehari saja kalian mengabaikan tulisan-tulisan itu?" mata biru hendra sempat melirik neneknya. memberi perempuan tua itu senyuman, hendra terlihat mencoba menenangkan Sukma.      

'POLISI BERENCANA MENGUSUT KEBAKARAN GEDUNG JASA KEAMANAN TARANTULA GRUP'      

wajah hendra tertempel di sana, Presiden Utama perusahaan multinasional, Mahendra Hadyan Djoyodiningrat direncanakan turut hadir sebagai saksi terkait dua helikopter yang sempat terlihat mengevakuasi korban.      

"Aku hanya jadi saksi," hendra berujar ringan menggulung koran dan meletakkannya di sisi piring saji. sebelum meraih sendok lalu menyeruput sup.      

"aku mau kita bicara setelah sarapan," Wiryo belum melepas tatapannya dari sosok bocah kecil yang sekarang telah tumbuh menjadi tulang punggung keluarga ini.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.