Ciuman Pertama Aruna

Pernyataan Cinta Chaniago



Pernyataan Cinta Chaniago

0Damar, Danu Umar Chaniago kata Chaniago jelas menunjukkan bahwa lelaki yang akrab di panggil Damar berasal dari Padang. Ibu Damar asli Padang sedangkan ayahnya Sunda. Tentu saja wajah manisnya didominasi oleh gen ibunya, Pria Padang dengan sudut hidung mancung dan mata memikat. Hidup dalam asuhan single parent membuatnya lebih dewasa dan hal tersebutlah yang membentuk lelaki itu memiliki pandangan hidup sederhana serta gaya bahasa to the point.     

Bagi seseorang seperti Damar, memutuskan bergabung bersama tim Surat Ajaib. Merupakan sesuatu yang luar biasa. Ruang didalam pikirannya menyakini bahwa jalan hidup adalah hak mutlak masing-masing individu, mendorong dirinya sulit berkomitmen maupun bergabung dengan kelompok termasuk tim Surat Ajaib.     

Keputusannya bergabung mudah saja ditebak. Karena dia memiliki ketertarikan secara pribadi. Ketertarikan yang membuatnya lumpuh dari segala ekspresi cuek. Dia dengan senang hati menyerahkan dirinya sendiri untuk di ikat. Memuja, meyakini dan menempel tanpa status bahkan tanpa sempat menyatakan perasaannya.     

Garis cintanya berhenti seketika gadis pujaannya menerkam hatinya dengan pisau tajam lewat kata-kata.     

"Aku akan menikah"     

"Perjodohan yang diatur keluarga"     

"Sebenarnya projek yang akan kita kerjakan adalah undangan pernikahan ku sendiri"     

_APA??_ Relung hatinya berteriak, menghamburkan puing puing reruntuhan imajinasi cinta yang dia bangun.     

_Yang benar saja, aku sedang bermimpi buruk_ Damar menyadari kisah cintanya yang dia balut dengan persahabatan suatu saat akan menjelma layaknya bom atom. Meledak tak tertahankan ketika berada dalam titik terendah. Namun eksekusi yang seperti ini benar-benar jauh dari prediksi. Hal yang paling buruk dalam imajinasinya sekedar Aruna menolak pernyataan cinta yang dia siapkan selama 17.520 jam, 63 juta detik. Itu saja.     

Dalam khayalannya yang paling liar, Damar meyakini gadis yang dia puja di penghujung masa remajanya, tidak akan mampu keluar dari zona yang telah dia bangun. Bukankah setiap pria yang menunjukan ketertarikan pada ratu dihatinya itu telah tumbang karena ketrampilannya dalam menyingkirkan lawan.     

Masih kuat ingatannya ketika seorang anak laki-laki bernama Dio, dia hancurkan dan memilih pergi.     

"Buat apa kamu susah payah mengirimi kami makan?".     

"Kau pikir kami pengemis?".     

Saat Dio seringkali mengirimkan makanan ke outlet Surat Ajaib.     

"Kalau toh pada akhirnya Aruna memperhatikanmu, mungkin karena iba".     

Dan kata-kata tajam lainnya yang memupuskan harapan. Ratusan strategi dia susun untuk memblokade pesaingnya.     

_Karma?, separah inikah karma itu?!_     

Damar tak yakin ketika seseorang berasal dari dimensi entah berantah datang bak alien mencuri kekasih hatinya, menyandranya begitu saja. Lelaki bermata biru itu seolah-olah memiliki kekuatan super, muncul tanpa peringatan. Menembus tembok pertahanan yang susah payah dia bangun. Dirinya kalah telak tanpa balas.     

_Aku bahkan patah hati sebelum menyatakan cinta, Apa aku hanya akan berdiri disini??_ Gadis yang meluluh lantakan hatinya sedang termenung di sana. Tidak ada 10 langkah darinya. Rambutnya melambai-lambai bagaikan tangan yang sedang berayun minta disambut. Fisiknya tergerak perlahan, dikendalikan perasaannya yang membuncah.     

Melihat sang dia sedang bersedih hati, kesedihan yang tak terdefinisi. Mata kosong itu, titik beku yang mematikan.     

Ketika seseorang patah hati karena kekasih hatinya menjadi milik yang lain. Minimal ada rasa bangga 'Aku tidak bisa memiliki mu, tapi aku mengantarkan mu pada kebahagiaan' atau 'Biarkan aku terluka asal kau bahagia' itulah dongeng cinta yang ribuan kali di tulis para sastrawan.     

Namun tidak demikian pada kisah cintanya.     

_Ini terlalu kejam_ Bisikan kecil itu menguatkan Damar untuk menyentuh Aruna. Mendekapnya dalam pelukan, spontan bau harum menyengat Aruna menjelma jadi magnet. Menarik hidungnya untuk mengirup lebih dalam rambut yang tadi bersenandung padanya.     

"Au...". Damar tersadar. Pukulan ringan di perutnya memberi pernyataan. 'Apa kau mabuk Damar?!'     

Gadis itu menatap lelah padanya.     

"Perasaan ku sedang kacau dan kau masih saja menggodaku".     

"Apa aku terlihat sedang bercanda". Damar membulatkan tekad. Menyakini detik inilah detik paling kritis. Dirinya siap menjelma jadi bom atom. Seporak poranda apapun hasilnya, toh dia sudah kalah. Jadi dia akan mengakui kekalahan gila ini.     

"Damar.. tatapan mu membuatku takut". Aruna mundur melepaskan diri dari cengkraman Damar yang makin kuat.     

"Beritahu aku, bagaimana caranya agar kamu bahagia". Pinta Damar     

"Damar apa yang terjadi padamu?, Aku tak ingin bercanda". Aruna menyadari pria ini sering melempar kalimat puitis, namun dengan ekspresi berbeda. Dia akan berubah jenaka ketika Aruna memberi peringatan. Namun kali ini mata lelaki itu memerah dan tubuhnya bergetar.     

Aruna mundur dan tersudut di kursi taman.     

"Boleh aku meminta beberapa detik mu Aruna". Aruna mengerutkan keningnya tanda dia tidak paham maksud Damar.     

"Tolong dengarkan kata-kataku, tapi setelah itu aku berharap tidak menambah beban pikiran mu". Damar memberanikan diri menatap Aruna.     

Aruna menggenggam tangannya. Detik itu juga dia menyadari sesuatu. Kesadaran bahwa akhirnya ada orang yang jatuh hati padanya. Dia terenyuh akan hal itu.     

"Aku mencintaimu, sejak pertama kali kau membangunkan ku". Damar mengantarkan Aruna pada kenangan 2 tahun yang lalu.     

Saat dirinya berani mengusik tidur kakak tingkatnya yang terkenal jutek. Laki-laki yang tertidur dikelas. Konon dia sering mengabaikan peringatan teman-teman dan dosennya untuk sekedar bangun dan mendengarkan materi kuliah.     

Dan Aruna mengumpulkan keberanian membisikan sesuatu.     

"Kak Damar, aku punya tawaran menarik untukmu. Bangunlah, kau tidak akan menyesal". Lalu Damar terbangun, sigap. Mendapati Gadis itu tersenyum manis padanya.     

Aruna terduduk mengingatnya. Dia tidak menduga, tawaran bergabung bersama tim Surat Ajaib yang di terima Damar dengan mudah ternyata terselip makna di balik semuanya.     

Air mata Aruna jatuh, tidak bisa di tahan lagi. Bukan sekedar pernyataan cinta Damar yang membuatnya kalut. Namun beban di hati yang dia telan sendiri, tiba-tiba meluap tak mampu di bendung.     

Impiannya, jalan hidupnya bahkan sekedar perasaannya bukan hak miliknya saat ini. Dia sudah menggadaikan semua itu untuk keluarganya. Untuk kebahagiaan kakaknya Aila, untuk senyum Anantha, untuk kesehatan ayah Lesmana dan ketenangan hati bunda.     

Tekat Aruna sudah bulat, tidak ada kompromi. Ketika Aruna melangkah mengambil keputusan artinya Aruna akan menjalani sebaik mungkin. Sama seperti ketika dia memutuskan memulai Surat Ajaib.     

Baginya berdamai dengan keadaan, langkah awal menemukan jalan terbaik. Premis itu sudah menjadi landasan hidup Aruna. Dia selalu berusaha menjadi anak baik, karena itulah jalan terbaik. Dan kali ini dirinya ditantang untuk mempertahankan prinsip itu.     

***     

"Hentikan Aruna kau membuatku menyesal". Bisik Damar membasuh air mata yang mengalir di pipi Aruna.     

Aruna tertegun sesaat ketika menyadari pria itu berlutut didepannya. Mengintip dirinya disela-sela jemari yang menutupi wajah. Damar menurunkan tangan Aruna beberapa kali mengusap pipi gadis itu.     

Ketika suasana hatinya sudah mulai tenang. Gadis itu menghirup nafas dalam-dalam. Lalu mengosongkan dadanya yang sesak.     

"Damar, aku tahu pasti ini sulit bagi mu. Namun, aku tak bisa memberikan apa pun. Jalan hidupku sudah di atur dan aku telah memutuskan akan menjalaninya sebaik mungkin". Aruna berhati-hati menjawabnya.     

Damar menunduk memegangi lutut Aruna. Seperti kesatria yang tertusuk pedang tepat di jantungnya. Mata laki-laki itu semakin memerah, menyala seakan memohon sesuatu.     

"Huh". Damar membuang nafas hampir tak percaya.     

"Bahkan saat kau tahu dia hanya memanfaatkan mu?". Damar membujuk Aruna, mengingatkan sang 'Dia' yang tak layak disebut, memiliki kekasih lain.     

"Keadaan ku tak sesederhana itu Damar, ini tentang menyelamatkan keluarga ku. Aku yakin dia juga mengalami ke sesulit yang sama". Aruna mengelus rambut pria itu, berusaha menenangkannya.     

"Apa aku bisa meminta sedikit harapan Aruna". Sekali lagi pria itu memohon. Mungkin saja dia bisa mendampingi Aruna, seperti artis itu mendampingi calon suami Aruna.     

Aruna menggelengkan kepalanya memastikan tidak ada kesempatan bagi Damar untuk berharap.     

"Walau pernikahan ku, mungkin hanya berlangsung 2 tahun saja. Aku tidak akan memberi mu kesempatan". Aruna menegaskan kata-katanya. Memastikan Damar mengerti. Tapi, ekspresi Damar berubah seketika seolah masih ada harapan.     

"Tidak Damar, tidak akan ku biarkan kamu menunggu ku". Aruna memastikan sekali lagi. Bahwa Damar tidak memiliki kesempatan.     

"Aku bisa melakukannya". Damar memelas. Aruna menghentikan irama sentuhan tangannya dari rambut Damar.     

"Sudah cukup, kita pulang saja". Aruna merasa benar-benar lelah.     

"Baiklah, aku tidak akan memohon lagi. Tapi bari aku alasan yang masuk akal. Mengapa kau tidak memberiku peluang sedikit pun". Damar bangkit, lalu duduk di bangku taman bersama Aruna. Dia tak ingin perempuan itu tertekan.     

"Aku tidak mau ada hati yang terluka lagi setelah ini. Yang mendorong ku sampai pada titik ini. Karena aku ingin menyelamatkan hati beberapa orang. Aku pikir dengan begitu. Semua berakhir di diriku. Nyatanya masih ada yang terluka. Dan itu., kamu Damar". Aruna mengenang kembali betapa pedihnya melihat kak Alia dan kak Aditya kala itu.     

"Dua tahun bukan waktu yang singkat. Aku tidak mau egois, menyandra mu dengan harapan palsu. Pasti akan banyak kisah yang datang menghampiri mu. Aku berharap kau mau membuka diri, untuk siapapun yang hadir setelah ini". Aruna melirik Damar. Menyentuh tangan laki-laki itu. Meyakinkan bahwa dia bisa melewati ini.     

"Anak sastra pandai bikin orang jatuh hati, aku yakin kamu juga pandai move on". Canda Aruna menyentuhkan bahunya pada lengan Damar.     

"Aku akan mengikuti kata-kata mu. Namun dengan satu syarat". Pinta Damar penuh keyakinan.     

"Beri aku waktu mu selama 1 hari saja, sebagai kompensasi 17 ribu jam yang aku gadaikan karena mencintaimu". Celetuk Damar.     

"Ada kompensasi semacam itu??". Balas Aruna. Dirinya merasa lebih lega. Ekspresi Damar telah kembali seperti semula.     

"Ada". Jawab Damar sekenanya. Kedua sahabat itu beranjak menuruni gedung bertingkat. Menuju perjalanan pulang.     

"Jika aku mengiyakan, apa yang aku dapat??".     

"Kau bisa memposisikan ku sebagai sahabat mu kembali, tanpa canggung. Dan aku tidak akan menuntut lebih". Jawaban Damar penuh tekat.     

_Jika aku tidak bisa memilikimu, atau mengantar mu pada kebahagiaan. Minimal aku bisa menjelma sebagai kenangan manis masa remaja mu_ Aruna akan memberi senyuman kecil kala mengingatnya.     

Damar memahami keadaan Aruna, bisa jadi setelah ini akan datang hari-hari berat bagi Aruna. Menikah dengan lelaki berkekasih. Bukankah itu sama saja memasuki pintu gerbang bangunan yang siap runtuh.     

"Baiklah". Lama Aruna berfikir. Hingga akhirnya dia putuskan menerima permintaan Damar. Tepat sebelum Aruna melambaikan tangannya, lalu menyelinap masuk kedalam pagar putih dibantu satpam keluarga.     

***     

Di ujung sana sang CEO memantau layar komputer, seolah tak rela berkedip. Memeriksa setiap video dan foto yang dikirim pesuruhnya. Mulutnya terbungkam dan pikirannya melayang mengarungi ruang entah berantah.     

"Apa yang dibicarakan dua anak itu??". Pernyataan itu berputar-putar di dalam kepalanya, tanpa jawab. Membuatnya semakin penasaran dan muak pada diri sendiri.     

_Apa yang sedang aku lakukan??_     

_Mengapa aku jadi konyol begini??_     

Hendra mengusap wajahnya, mengutuk dirinya berkali-kali atas perbuatan tidak masuk akal. Sayangnya tiap kali ada notifikasi masuk pada layar WhatsApp Web, spontan dirinya membuka pesan itu dan mengamati dengan detail.     

***     

Damar mempercepat langkah kakinya. Menyadari seseorang sedang berjalan di belakang.     

Tersenyum nakal. Lelaki itu berlari lirih lalu semakin kencang sembari melepas jaket yang dia kenakan. Sesaat kemudian berhenti mendadak. Dan dalam sekejab dia kibaskan jaketnya pada pria yang mengenakan masker wajah. Damar berhasil menjatuhkan pria misterius itu ke tanah. Mengunci tangannya dengan jaket.     

"Kena kau, berikan kamera mu". Pria itu melindungi kamera dan handphonenya seolah-olah barang yang benar-benar berharga. Damar kewalahan mengangkat tubuh pria itu agar bisa mengambil kamera yang terhimpit antara lantai trotoar dan dada penguntit.     

"Hai.. kamera mu bisa rusak". Hampir saja Damar berhasil merampasnya. Sayangnya ada pria lain yang muncul tiba-tiba bersamaan dengan mobil hitam. Pria lain lebih kekar, mendorong tubuh Damar dan melemparnya. Lalu mereka bergegas memasuki mobil, melesat jauh tak terkejar.     

"Siapa mereka?".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.