Ciuman Pertama Aruna

Melakukan Hal Bodoh



Melakukan Hal Bodoh

0"Tok, tok, tok". Ketukan pintu penuh keraguan terdengar beberapa kali. Sayang, yang ada di dalam tidak menjawab. Seorang asisten malu-malu mengintip, lalu memutuskan masuk ruang CEO Djoyo Makmur Grup, milik tuannya.     

Dia dapati atasannya tertidur pulas dibalik leptop yang masih terbuka. Sepertinya leptop itu sedang sleep mode, lampu kecil disudut bawah menyala. Artinya siatasan tertidur tanpa sempat mematikannya.     

Surya membuat suara batuk beberapa kali, dan Hendra hanya menggeliat.     

"Apa anda bekerja semalaman?". Supaya Hendra terbangun. Surya berinisiatif mengeraskan frekuensi suaranya.     

"Ah, jangan ganggu aku, pergi sana!". Hendra mengerjapkan mata, mengintip perlahan dengan malas. Dia dapati senyuman lebar Surya, penuh makna. Sempat diabaikan.     

Sesaat kemudian..     

"Brak!!". Hendra terkesiap, menutup layar leptop secepat kilat. Ingin rasanya Surya tertawa atau minimal tersenyum kecil. Perutnya sungguh geli, tergelitik seakan tahu apa yang ingin disembunyikan pewaris Djoyodiningrat. Namun apa daya hari ini misinya adalah tidak di pecat. Jadi dirinya menggigit kuat-kuat bibir bawah sembari menahan nafas, sehingga perutnya tegang dan mau diajak kompromi.     

"Mau apa kau kemari, mengganggu saja". Hendra berdiri dengan mata setengah terbuka, rasa kantuk masih mengelabuhi dirinya.     

"Anda harus ingat, bahwa saya adalah asisten pribadi anda yang paling utama. Walaupun ini hari Minggu dengan sangat suka rela, saya akan mendampingi Anda". Seru Surya menyajikan intonasi protokoler, dan hal tersebut mencurigakan di mata Hendra.     

"Bilang saja kau mau merevisi niat pengunduran diri". Hendra menebak sesuatu yang sering terjadi. Melangkah perlahan melewati Surya. Berencana melanjutkan tidurnya di kamar hotel ekslusif yang secara khusus disediakan untuk dirinya.     

_Tumben-tumbenya, weekend datang dengan senang hati_ batin Hendra.     

"Eem.. termasuk itu, saya berencana memohon kerelaan hati anda. Bisakah anda... menganggap kejadian kemarin tidak ada". Suara Surya benar-benar lembut layaknya customer service melayani konsumen.     

Hendra hanya melirik acuh.     

"Jangan sentuh itu!!". Nada perintah mengejutkan. Hendra merasa Surya akan memegang leptopnya. Asistennya bergidik, mematung. Lalu menyentuhkan sedikit jari telunjuknya ke handphone.     

"A ku ha nya ma u memberitahu, ini ketinggalan". Penjelasan Surya terbata-bata disambut gerakan lincah Hendra mencomot Handphonenya.     

"Jangan ganggu aku, aku akan tidur seharian". Pinta Hendra.     

"Sepertinya anda tidak bisa".     

Kening Hendra mengerut tanda dia keberatan mendengar perkataan Surya.     

"Hari Jum'at anda menggeser rapat devisi tim marketing karena berbenturan dengan jadwal meeting bersama klien kita dari Singapore. Apa anda ingat?".     

"Tunggu aku satu jam lagi. Beritahu mereka, aku akan menemui mereka di ruang meeting Orange (ruang meeting berukuran sedang dengan interior berwarna orange)". Dan Hendra menghilang di balik pintu.     

***     

"Besss..". Suara air meluncur membasahi tubuh Hendra. Laki laki itu beberapa kali mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan rasa kantuk. Sesekali dia termenung mengingat foto dan video yang di kirim penguntit suruhannya.     

_Seberapa dekat mereka_ Hendra sedikit terkejut dengan foto terakhir yang di kirim kepadanya. Tampak Aruna membelai rambut Damar yang terkulai dipangkuannya.     

_Ah, abaikan saja toh pernikahan kita hanya pernikahan kontrak_     

"Bip". Lelaki itu menekan tombol telepon.     

"Bawakan aku sarapan dan minuman hangat". Hendra segera merapikan diri. Menuju ruang ganti dengan kaca besar di dalamnya. Memilih setelan kemeja dan jam tangan koleksinya, lalu bersiap di depan cermin. Dengan rambut acak-acakan pun tak ada yang mampu mengatakan dia tidak menarik. Mata birunya dihiasi bulu mata lentik nan tajam, garis hidung dan dagunya menawan. Menyisakan kesan maskulin ketika Hendra mulai menata rambutnya.     

"Sarapan anda sudah siap, silahkan dinikmati". Pesan dari seorang Executive Lounge Assistant Manager (staff hotel yang menangani semua keperluan tamu di lantai Eksekutif).     

"Mengapa perempuan??". Tanya Hendra tidak berkenan keluar dari ruang ganti.     

"Panggil Manager mu!!". Hendra sedikit trauma dengan pelayan perempuan. Dulu pernah sewaktu dirinya terbangun dari tidur, dua orang pelayan perempuan bersembunyi di balik almari. Ternyata keduanya bersekongkol menyusup semalaman untuk mengambil foto. Handphone kedua pelayan itu penuh dengan foto dirinya saat tertidur pulas. Sejak kejadian itu, dia tidak mau ada perempuan yang masuk kamarnya.     

_Oh, ya tuhan. Aku sekarang juga penguntit_ Hendra memukul lirih keningnya sendiri. Merasa bodoh.     

"Mohon maaf tuan, teman shift kami yang biasanya melayani tuan sedang cuti ". Jelas pelayan itu.     

"Tenang saja, saya akan segera keluar". Pelayan itu lekas-lekas keluar kamar. Sesaat kemudian Hendra muncul dari persembunyiannya.     

***     

"Apa cuma itu yang bisa tim mu presentasikan?". Hendra mengomentari persentasi pertama dari empat tim devisi marketing. Sejak di mulainya rapat. CEO yang duduk di bangku paling ujung itu, hanya memejamkan mata seolah-olah tertidur. Nyatanya dia benar-benar mendengarkan presentasi tim pertama dengan seksama. Yovie yang sedang berdiri didepan, mematung menyadari dia akan dihujani kritikan.     

"Sudah ku katakan berkali-kali. Aku tidak akan peduli dengan slide design atau kemampuan persentasi kalian. Kita fokus pada isinya". Ujar pimpinan meeting.     

"Bagaimana bisa segmentation yang kalian paparkan hanya berdasarkan kelas ekonomi. Ini tahun 2019, pola konsumsi sudah jauh berbeda, dan kalian menggunakan teori standard tanpa research". Pupil biru itu mengecil, memicing, mengancam masing-masing individu di ruangan Orange.     

"Jika tidak ada yang lebih baik, kita akhiri saja meetingnya". Pungkas Hendra. Ruang Orange membeku sesaat hingga salah satu leader devisi marketing bangkit. Dia berdiri dan mulai bersiap-siap persentasi. Terdengar bisikan bising dari yang lain.     

_Wah pak Adit berani sekali_     

_Aku rasa ini akan jadi sia-sia_     

_Apa dia tidak takut di habisi CEO_     

Hendra melipat tangannya duduk santai dengan kaki kanan tertumpu pada kaki kirinya. Dan mulailah leader itu menyampaikan strategi marketing timnya. Pembawaannya sopan dan nada bicaranya terstruktur, tanpa ekspresi berapi-api yang biasa di tampilkan tim lain.     

"Aku tertarik dengan positioning produk ini, dari mana tim mu menentukannya?". Tanya Hendra     

"Kami melakukan research sederhana". Jawabnya.     

"Berapa sampel research kalian?". Buru Hendra.     

"Ada 300 persepsi konsumen yang kami olah untuk mempersiapkan persentasi ini". Jelas Aditya.     

"Baiklah aku menyukainya, besok berikan berkasnya, akan aku pelajari. Jika sesuai ekspektasi ku. Kita gunakan strategi tim mu". Hendra melunak. Dan kembali memberi peluang tim lain untuk maju nyatanya tidak ada yang berani.     

"Tidak ada lagi yang mau persentasi?!!. kita sudah mundur 2 hari dan hasilnya begin-begini saja?!". Hendra menyungingkan senyum reseknya, senyuman yang paling ditakuti bawahanya.     

"Besok pagi aku ingin melihat pekerjaan kalian dimejaku, kalau masih mau selamat". Sekali lagi suasana kelam menyelimuti ruangan. Surya segera mengambil alih dan menutup agenda meeting, menyelamatkan peserta meeting yang mulai tertekan. Satu persatu bergegas keluar. Tinggal seorang saja, dia adalah leader yang tadi persentasi. Pria itu mendekati Hendra.     

"Boleh saya ngobrol sebentar dengan anda?". Pintanya     

"Sebenarnya saya akan beristirahat, jika ingin berdiskusi lebih mungkin lain waktu".     

"Bukan tentang pekerjaan". Pria itu membujuk.     

"Saya ingin bicara dengan anda secara pribadi?". Aditya melirik dan tersenyum pada Surya. Setelah asisten itu melihat ekspresi 'iya' dari atasannya, dia segera pergi.     

"Saya dengar anda akan menikah".     

Pupil mata Hendra membesar mendengar ungkapan lawan bicaranya.     

_Dari mana dia tahu informasi pernikahan ku, bukankah belum di share ke publik_     

"Apakah calon anda Aruna?".     

Hendra hanya mengangguk kecil mendengar pertanyaan Aditya.     

"Saya mengenal Aruna dengan sangat baik, gadis itu banyak membantuku. Oh, bukan sekedar membatu. Tapi saya sudah berhutang padanya. Aku berharap anda memperlakukannya dengan baik". Aditya memastikan dugaannya benar, awalnya dia sedikit ragu bahwa CEO tempatnya bekerja adalah laki-laki yang akan dinikahkan dengan kekasihnya. Tapi siapa lagi pewaris Djoyo Makmur Grup selain Mahendra.     

"Ada hubungan apa anda dengan Aruna?".     

Aditya hanya tersenyum.     

"Nanti anda juga bakal tahu". Aditya merapikan note book berniat keluar dari ruangan.     

"Seberapa dekat kau dengannya?". Ucapan Hendra membuat Aditya menghentikan langkahnya.     

"Bukan aku yang punya hutang, jadi aku tidak punya tanggungjawab harus berperilaku baik pada Aruna". Hendra tak mau tahu.     

'Deg Deg'     

Detak jantung Aditya memacu getaran pada tangannya. Dia berusaha keras mengontrol emosinya. Mahendra, pria ini hampir merenggut nyawa kekasihnya Alia secara tidak langsung. Namun, dia masih bisa berkata dengan sangat enteng.     

"Saya pastikan, saya orang pertama yang akan mengancam anda, seandainya sesuatu buruk terjadi pada Aruna". Aditya menatap berani Hendra, sebelum lelaki itu menunduk ringan berpamitan lalu melenggang pergi.     

Melihat ekspresi Aditya, Hendra sempat terkejut.     

_Apa-apaan tadi itu. Bukankah dia terkenal memiliki perilaku santun. Yang benar saja aku di ancam bawahan ku_ Raut muka Hendra menakutkan. Melangkah gesit mengarungi bilik-bilik para pekerja dengan suasana hati yang buruk berpadu dengan rasa kantuk dan lelah.     

"Surya selidiki orang itu!!". Pinta Hendra.     

"Hah? Siapa??". Hendra menghentikan langkahnya melihat Surya yang tidak konsen. Surya gelagapan mengurut kejadian yang kira-kira membuat bos uniknya ini marah lagi.     

"Ah.. Aditya.. ya Aditya.. orang itukah yang anda maksudkan??". Surya merasa lega bisa menebak dengan benar. Mengelus dadanya kesekian kali hari ini.     

***     

Hendra kembali ke ruang kerjanya, membuka leptop dan tampak sedang berpikir kerasa.     

"Suasana hati mu buruk sekali hari ini. Apa tidak sebaiknya kau istirahat". Surya sedang berbicara sebagai seorang teman.     

"Belikan aku satu unit mansion di Sky Park". (Kompleks perumahan di atas gedung pencakar langit yang semalam didatangi Aruna)     

"Apa??, Bukankah kompleks itu milik rival kita (Suko Moro Grup)". Surya tak habis pikir apa lagi ini.     

"Aku tidak peduli, lakukan saja".     

"Hai, kompleks perumahan itu sudah lama. Aku yakin unitnya telah habis, kalau pun ada aku tak yakin kita bisa memilih". Surya mengingatkan.     

"Lakukan saja kalau kau tidak ingin dipecat". Ancam Hendra.     

"Pastikan dirimu bisa mendapatkannya hari ini!". Tambahnya     

"APA??".     

_Manusia ini sungguh keras kepala_ Surya lekas berdiri meraih handphone. Bagaimana pun juga dia tidak bisa melawan. Hidupnya tercukupi oleh pewaris Djoyodiningrat. Fasilitas rumah untuk keluarganya bahkan beasiswa adik-adiknya sangat diperhatikan. Walau penindas itu sering semena-mena.     

"Kapan jadwalku bertemu Aruna".     

"Seharusnya setelah fitting, anda perlu berjumpa dengan nona agar lebih akrab. Sayangnya jadwal anda Minggu ini sangat padat".     

"Dapatkan mansion Sky Park secepatnya, Besok aku mau bertemu Aruna disana".     

"Yang benar saja?? Tidak.. itu tidak mungkin. Kita harus ke Surabaya untuk melihat progres pembangunan Waterpark".     

"Geser jadwalnya, lakukan apa yang aku inginkan".     

"Mengapa kau begini? Tim disana sudah mempersiapkan penyambutan mu". Surya merasa Hendra sedikit berbeda. Dia tidak pernah mengabaikan pekerjaannya.     

"Sebaiknya kau istirahat!. Sebelum lebih banyak hal bodoh yang kau inginkan". Sindir Surya. Meninggalkan Hendra seorang diri, menyesali perbuatan tidak masuk akal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.