Ciuman Pertama Aruna

Detak Jantung



Detak Jantung

0Jalan Cinta.     

Tidak semua orang memiliki Keberuntungan     

Untuk sekedar menyatukan dua rasa     

Seorang pendamba hanya bisa dipilih     

Diterima atau ditolak     

Bahkan ketika rasa telah tertaut     

Nyatanya keadaan memberi jawaban berbeda     

*Mau bikin novel baru bro :-D     

*Ini mengingatkan ku pada seseorang     

*Aq belum bisa memahami setiap katanya, tp aku merasa tersentuh     

*Puisi kak Damar, selalu ku nantikan ^^     

*Paling best lah     

*Kepoin dia yuk, aku tahu Outlet Surat Ajaib dan kampusnya @ayussya @tatajane @lusi45     

(2.547 Komentar dan 5.608 likes)     

"Surya kau pernah baca novel Ruang Hampa?". (novel karya Damar yang sedang digandrungi anak-anak muda) Hendra akhir-akhir ini mulai melakukan hal unik, jauh dari kebiasaannya. Laki-laki itu membuat akun Instagram di luar akun pribadinya, yang lebih banyak dikelola sekretaris kantor. Penguntit suruhannya memberi informasi tentang IG Damar disamping IG Aruna dan teman-teman Aruna yang lain di Surat Ajaib.     

"Itu mustahil, kau tahu sendiri aku harus membaca bursa saham tiap saat, jurnal bisnis, laporan arus khas perusahaan mu yang banyak, belum lagi performa masing-masing unit bisnis". Surya mengambil nafas panjang.     

"Dan kau menanyakan tentang bacaan fiktif yang tidak memberikan dampak pada pekerjaan?, Yang benar saja, kalau aku harus membacanya?! kapan aku tidur". Mata Surya berapi api.     

"Aku hanya bertanya, mengapa kau sensitif sekali beberapa hari ini".     

"Hee He". Surya tersenyum dalam kejengkelan     

"Siapa yang menjelma jadi diktator akhir-akhir ini, itulah yang membuatku jadi gila".     

"Hem... Maksudmu aku?".     

"Terserah".     

Mobil Blentley Continental Gt V8 S black edition melesat dari bandara Halim Perdanakusuma menuju 4 icon Djoyo Tower milik Djoyodiningrat yang menjulang tinggi berjajar, pemandangan menawan di balik kaca mobil.     

"Bagaimana mansion Sky tower sudah kau dapatkan?". Tanya Hendra, lelaki ini sedang sibuk berselancar di google chrome mencari review novel Ruang Hampa.     

"Aku mendapatkan satu unit dari oper kredit, butuh beberapa hari lagi untuk memastikan dia jadi milikmu"     

"Dan sepertinya perlu renovasi". Jelas Surya.     

"Kapan aku bisa bertemu Aruna?".     

"Kau sudah menayakannya 3 kali?!. Nona Aruna minggu ini sangat sibuk Tuan Muda...". Sebelumnya Surya telah menjelaskan pada Hendra. Aruna sedang sibuk dengan timnya, project baru mereka adalah sesuatu yang belum pernah ditangani, sehingga menyita banyak perhatian. Surya pun sempat meminta Aruna mempertimbangkan lagi tawaran bertemu Hendra. Gadis itu menolak dengan sopan, Aruna merasa tidak nyaman membiarkan sahabat-sahabatnya bekerja keras tanpa dirinya.     

"Bagaimana dengan akhir pekan? kamu bisa melobinya?"     

"Dia gadis muda yang polos (tidak tahu seberapa beruntungnya mendapat tawaran bertemu dengan CEO Djoyo Makmur Grub), bukan rekan bisnis atau kariyawan mu". (yang bisa di atur bahkan di intimidasi)     

"Aku tak butuh jawaban itu. Kemana dia akhir pekan? apa mereka (Surat Ajaib) tidak punya hari libur?".     

"Seberntar". Surya membuka Handphonenya, membaca chatting Whatsapp terakhirnya dengan Aruna.     

"Dia hanya katakan sudah ada janji dengan temannya. Waktu aku tanya lebih lanjut. Aruna mengirimkan tiket kereta. Sepertinya sudah di agenda...." Sebelum selesai bicara, Hendra merebut HP Surya mengamati chatting Aruna dengan cermat.     

***     

"Bro?? apakah hawa panas akhir-akhir ini sungguh luar biasa?". Semua mata terbelalak, bahkan Agus yang sedang sibuk meramu koding pada leptopnya teralihkan, turut berkomentar. Setelah sekian lama gaya rambut ikal panjang Damar dipertahakan. Hari ini pemuda itu memangkas habis rambutnya menyisakan pesona berbeda, hampir tidak dikenali.     

Damar hanya tersenyum kecil, melempar tasnya lalu mulai membuka leptop bergabung dengan pekerjaan mereka yang menumpuk.     

"Aku rasa aku bisa jatuh cinta, kalau kau pertahankan style ini sebulan saja". Tambah Lili yang larut dengan catatan keuangan ditemani kaca mata tebalnya.     

"Kau tahu, aku merasa pesonamu meningkat sampai level Mythic". (pangkat tertinggi di Mobile Legends) Tambah Agus kacau.     

"Dan kau level Warrio ya gus?". (pangkat terendah) Canda Dea.     

"Gak separah itu dong, minimal status ku Epic". (Hanya 2 pangkat dibawah Mythic) Kata-kata agus memicu tawa riang sahabatnya, mengurangi kelelahan mereka yang terbenam dalam pekerjaan seminggu ini.     

"Kemana Aruna?". Tanya Damar. Serentak Dea dan Lili memberi isyarat bahwa Aruna ada di ruang sebelah. Menyelesaikan desain akhir undangan 3D. Hari ini deadlinenya karena besok pagi Dea membawanya ke komunitas BISA.     

"Bagaimana? Apakah mungkin selesai?". Tanya Damar mengejutkan. Serta kejutan lain karena tampilanya berbeda.     

"Tenang saja, tinggal Finishing". Jawab Aruna sembari melempar senyum. Senyuman untuk perubahan Damar.     

"Apa aku sudah layak bersaing dengan mata biru?". Damar menggoda, mendekati Aruna dan mengamati pekerjaannya.     

"Buatan tanganmu selalu cantik, aku takut tanganmu yang kehilangan cantik itu sendiri. Tapi.. aku tidak keberatan kalau rambutku di sentuh lagi oleh tangan itu". Rayuan Damar makin berani setelah kejadian waktu itu.     

"Kata-kata mu... mohon dikondisikan, kau bisa bikin orang salah paham". Aruna selalu konsisten dengan reaksinya terhadap Damar, semua demi kebaikannya.     

"Kau tidak memberiku give untuk penampilan baru ku?!". Mendengar permintaan Damar gadis itu mencoba mencari ruang untuk menatapnya. Dia sedari tadi menunduk fokus pada pekerjaannya, dengan niat menghargai Aruna mengangkat kepalanya. Ternyata pemuda itu tapat di depan wajah Aruna menyungingkan senyum manisnya yang langka.     

Aruna meletakkan jari telunjuknya pada kening pemuda itu lalu mendorongnya jengkel. Sayangnya Damar tidak mau bergerak. Memasang muka memelas.     

"Mau apa kau?. Jangan mengganggu ku".     

"Ayolah.. sentuh rambutku sekali lagi". Aruna mengerutkan dahinya mendengarkan permohonan Damar.     

"Hanya itu dan aku tidak akan mengganggu mu". Sorot mata pemuda Padang ini sungguh mengkhawatirkan, Seandainya Aruna tidak terbiasa dengan perilaku konyol Damar mungkin dia bisa sesak nafas dibuatnya.     

Perlahan Aruna menyentuhkan jemarinya disela-sela rambut Damar yang kini pendek. Aruna mengakui sahabatnya menjelma menjadi laki-laki tampan setelah seluruh wajahnya tersikap dari rambut panjang tidak beraturan.     

Menangkap kesan yang Aruna berikan spontan telinga pemuda itu memerah. Sesaat keduanya diserang rasa canggung.     

"Anak baik... berhentilah menggangguku". Ucap Aruna menyingkirkan kecanggungan, mengacak-acak rambut Damar layaknya seekor kucing. Damar berkesiap menyembunyikan wajah meronanya, terlampau bahagia menerima sentuhan manis Aruna.     

"Besok ku jemput jam setengah 5 pagi". Damar masih malu-malu. Melangkah riang bermaksud kembali melanjutkan pekerjaannya.     

"Jangan lupa janji mu. Setelah besok, kamu tidak akan menuntut apa pun". Aruna mengingatkan.     

Jantung Damar mendadak nyeri, seakan terhantam benda keras. Setelah terbang begitu jauh di awan. Tiba-tiba dilampar kembali ke bumi.     

"Tenang saja, kau bisa pegang kata-kata ku".     

***     

"Hai... disini, menolehlah ke kanan". Aruna mengikuti instruksi Damar dari layar handphone, mereka sedang video call via WhatsApp.     

Aruna mulai menutup layar handphonenya. Menemukan Damar melambaikan tangan kepadanya, lelaki jangkung dengan Sling bag khas, mudah saja ditemukan.     

Aruna berjalan menuju tempat Damar berdiri, sambutan hangat ditampakkan tanpa basa-basi. Memberanikan diri membuka tangannya berharap Aruna berkenan membalas dengan pelukan yang dia tawarkan.     

"Puk.. Puk.." Gadis yang menggenakan outfit celana jeans, sepatu kets warna putih, berbalut jaket untuk atasanya serta sebuah ransel. Memberikan respon dua pukulan di dada Damar.     

"Kau?? pagi-pagi sudah bertingkah". Damar memegangi bekas pukulan Aruna merintih seolah-olah kesakitan mendengar keberatan Aruna. Kelakuan semacam ini terlampau sering ditunjukan Damar untuk membuat Aruna tersenyum.     

"Siapa yang mengantar? Kak Alia?". Pernyataan Damar di sambut anggukan Aruna. Awalnya Damar sepakat menjemputnya di rumah. Namun, setelah dipikir-pikir sebaiknya melibatkan kak Alia yang lebih ahli dalam menjalani cinta tersembunyi. Walau kenyataannya hubungan mereka sekedar sahabat. Keduanya paham perjalanan mereka kali ini tidak layak terungkap sembarang.     

"Tenang saja kak Alia sudah mengatur semuanya, Saat ini aku seolah-olah mengisi seminar di Bandung". Aruna memberi tahu Damar bahwa dia melakukan manipulasi ijin kepada orang tuanya.     

Damar tersenyum melihat tingkah polos Aruna.     

"Oh, Baguslah.. Mungkin perjalanan kita ke Bandung bisa ditambah jadi dua hari?". Damar tampak sumringah, dia dan Aruna tidak harus dikejar waktu.     

"Kereta kita berangkat setengah jam lagi, duduklah biar aku belikan kue untuk sarapan". Damar berjalan dua langkah, sebelum akhirnya berbalik dan memandangi Aruna sekali lagi. Aruna sempat mengerjakan matanya, kebingungan ketika tangan Damar menyusuri rambutnya, menarik perlahan pita yang melilit ikatan rambut Aruna.     

"Biar ku simpan pita ini. Aku suka rambut mu terurai, kamu terlihat lebih cantik". Pria Padang pergi begitu saja. Menyisakan Aruna yang menggeleng-gelengkan kepala, hampir jatuh dalam perlakuan manis yang secara masif disuguhkan Damar.     

***     

"Mereka lagi?". Damar merasakan ada sesuatu yang janggal. Harusnya kue-kue harum ini segera diserahkan pada Aruna. Karena merasa di ikuti seseorang, dia putuskan berjalan ke arah berlawanan.     

Dilangkahkan kakinya perlahan sembari melakukan pengamatan, memastikan kecurigaannya tidak salah. Dua pria dengan outfit senada dilengkapi headset bluetooth tipe complete separation. Menempel sempurna di kedua telinga hampir tidak terlihat.     

Sesaat setelah merasa yakin Damar menghilang dibalik tembok mengamati mereka yang nampak kelabakan.     

_Yap. mereka penguntit yang sama_     

Damar bergegas mendekati Aruna meraih pergelangan tangannya. Menuntun Aruna naik kedalam gerbong kereta.     

"Damar sepertinya bukan ini kereta kita". Aruna bingung, harusnya Damar tahu kereta api yang dinaiki tidak akan membawa mereka ke Bandung.     

"Tenang Aruna aku tahu, ikuti aku dan jangan sampai terlepas. Mengerti!". Damar berhenti sesaat sembari membisikan permintaannya pada Aruna. Aruna masih belum paham, Namun dia mengangguk, menangkap ekspresi khawatir Damar.     

Keduanya berjalan menyusuri lorong-lorong gerbong kereta. Damar menyadari satu persatu penguntit menaiki gerbong, mereka tampak sama seperti penumpang pada umumnya. Kecuali benda hitam yang menempel di telinga, layaknya penanda di mata Damar.     

Kecepatan langkah kaki Damar bertambah diikuti Aruna, tangan kiri gadis ini di cengkeram kuat oleh tangan kanan pemuda di depannya. Makin cepat hingga keberadaan para penguntit tidak bisa terelakan, mereka mulai menunjukan kehadiran, turut serta berjalan dengan gesit membuntuti Aruna dan Damar.     

Peluit panjang kondektur terdengar. Damar melemparkan tatapannya sesaat, memastikan Aruna siap berlari bersamanya. Benar saja, kedua remaja itu berlari semampu mereka disusul sekelompok orang yang berusaha mengejar.     

Kereta perlahan berjalan, kecepatannya terus bertambah. Damar menutup pintu gerbong terakhir yang mereka lalui, meminta Aruna melompat keluar. Aruna ketakutan, hal ini di luar kemampuannya.     

Melihat para penguntit kian dekat. Bergegas pria itu melompat, menyisakan tangan kanannya meraih telapak tangan Aruna. Menarik tubuh gadis itu dengan yakin.     

Aruna menutup mata rapat-rapat dia menyadari dirinya akan terbanting ke bawah. Teriakan takut sempat terdengar, hingga akhirnya tersadar sudah berada dalam pelukan Damar. Persekian detik pria itu melompat dan menangkapnya. Dengan tinggi 185 cm, mudah saja bagi Damar melakukan hal tersebut.     

Nafas Aruna terengah-engah, di iringi detak jantung tak beraturan. Berlari dan melompat dari kereta sungguh memacu adrenalin. Tertunduk lemas, mensyukuri keberuntungannya bisa selamat.     

Damar memastikan Aruna baik-baik saja, meminta gadis disampingnya melambaikan tangan ucapan selamat tinggal pada kumpulan penguntit yang berlarian didalam gerbong-gerbong kereta berjalan, pria itu tersenyum lebar penuh kemenangan. Diikuti Aruna yang takjub melihat ekspresi Damar.     

"Ayo!!". Kali ini tanpa ragu Aruna mengikuti langkah gesit Damar, berlari dan berjalan cepat sembari menatap punggung pria yang sesekali berbalik memastikan dirinya tidak tertinggal, kembali menuju peron stasiun.     

"Mungkin masih ada yang lain (penguntit), kita cari tempat yang aman". Seruan Damar disambut Aruna, gadis itu mendekat meraih lengan Damar. Memastikan dia tidak terlepas.     

Wajah Damar sempat memerah mendapati dirinya mampun menggerakkan raga Aruna. Menyentuhnya tanpa memohon.     

***     

"Ah!! bodohnya kalian...". Seseorang diujung sana mengeluh sembari memijat pelipisnya dengan satu tangan dan lainnya memegang handphone didekat telinga.     

"Siapa yang minta kalian menangkap mereka. Aku hanya butuh foto mereka dari kejauhan". Hendra meletakkan handphonenya dengan kasar.     

Sesaat ada perasaan aneh menyerang dadanya, Detak jantung Hendra terasa lebih kuat. Sesuatu yang belum bisa dia definisikan.     

_Sial.!, bagaimana kalau ketahuan?? Aku bisa malu sekali. Aargh... mereka terlewat bodoh_     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.