Ciuman Pertama Aruna

Mengintai



Mengintai

0"Pasti haus?". Damar menebak wajah lelah Aruna yang tersungkur duduk di sampingnya. Damar membuka botol airnya, menyerahkan pada gadis berkuncir kuda. Aruna mengangguk sembari menyambutnya. Perlakuan manis Damar menarik perhatian Hendra.     

_Itu pacar Aruna?, Hem... (senyum misterius) Artinya kita seimbang. Tidak akan ada masalah. Aku dan dia sama-sama memiliki lelaki dan perempuan lain_ Hendra memperhatikan gerak-gerik kedua anak muda itu. Hanya saja Hendra tidak tahu bahwa Damar dan Aruna memiliki jalinan cinta bertepuk sebelah tangan. Hubungan yg di bangun dengan pondasi persahabatan membuat Damar terbelenggu untuk sekedar menyatakan cintanya kepada Aruna, mereka berakhir dalam sudut pandang masing-masing. Bagi Aruna perlakuan manis Damar berlaku untuk semua perempuan. Maklum anak sastra satu ini pandai merangkai kata dan karyanya menyebarkan virus termehek-mehek bagi banyak gadis. Korbannya berjatuhan tak terhitung jumlahnya. Begitulah rumor yang beredar.     

***     

"Kalian makan dulu bersama ku, lalu aku antar pulang?". Surya kebingungan dari mana harus mulai percakapan.     

"Apa kau tak berminat memperkenalkan diri ku Surya". Artis cantik itu menempel terus didekat Hendra. Surya jengkel melihatnya. Apa dia tidak menyadari bahwa calon istri atasannya berada di antara mereka.     

"Aku harus memperkenalkan mu sebagai apa? Artis? Teman SMA? Atau yang lain?". Asisten Hendra menunjukkan kejenuhannya.     

"Kau masih suka mengganggu ku?". Tania tersenyum manis. Dia benar-benar bersinar dengan tubuh ideal dan fashion feminim. Ah, sangat jauh dari jangkauan Aruna. Kehadiran perempuan itu sama sekali tidak mengusik ketenangan hati Aruna. Dia bahkan sudah menduga sejak awal kontrak pernikahan di buat. Aruna yakin alasannya adalah perempuan di samping Hendra.     

"Aku akan pergi bersama Tania, kau urus dua anak itu". Hendra berdiri, tidak baik baginya dan Tania terlihat berduaan secara terang-terangan seperti ini. Apalagi butik ini adalah tempat langganan teman-teman Tania memesan gaun.     

"Tunggu sebentar, aku masih belum setuju dengan dressnya". Aruna lebih terganggu dengan dress yang mengembang dibandingkan dengan hubungan rumit lima orang disekitar, termasuk dirinya sendiri.     

"Nona Aruna baru menyampaikan permintaan kemarin jadi Dede menyiapkan koleksi yang ada terlebih dahulu". Surya memberikan penjelasan. Hendra segera meminta Dede secara khusus berkomunikasi dengan Aruna. Dengan senang hati designer kondang itu mendengarkan setiap harapan customer VVIP-nya. Dia juga menyisipkan beberapa pertanyaan tambahan. Apa anda suka bunga? Warna apa yang anda sukai? Pilih mutiara atau batuan kristal? Dan lain sebagainya.     

"Aku tidak bisa berlama-lama disini Surya?". Bisik Hendra pada asistennya.     

"Pergi saja, Aruna pulang bersamaku". Damar tidak berniat menguping atau semacamnya tapi dua laki laki itu tepat di depannya. Serentak mereka menoleh.     

"Aku tidak setuju, tetap antar Aruna sampai rumah. Jauh lebih aman". Hendra menyampaikan intruksinya pada Surya tapi tatapannya mengarah pada Damar.     

"Coba tanyakan langsung kepada Aruna. Dia pasti lebih nyaman pulang bersamaku". Damar sangat percaya diri melontarkan ungkapannya. Karena dia hapal betul siapa Aruna.     

"Seperti dirimu, yang ingin segera pergi dengan perempuan itu". Damar menambahkan kata-kata resek dengan ekspresi khasnya, ekspresi yang biasanya dia gunakan untuk menghancurkan hati gadis-gadis pengganggu.     

_Aduh anak ini benar-benar berbahaya, dia belum tahu siapa Hendra sebenarnya, Aaargh aku harus bagaimana?? Berat sekali hidupku hari ini_ keluh Surya. Untungnya Aruna sudah selesai dengan Dede, gadis itu mengambil tasnya, Damar berdiri mengikuti gerak Aruna.     

"Terimakasih banyak untuk hari ini, aku dan Damar bisa pulang sendiri. Kami pamit duluan". Seru Aruna.     

"Kau yakin akan baik-baik saja pulang dengan anak itu". Secara tersirat ungkapan kata 'anak itu' Hendra tujukan untuk Damar.     

"Aku mengenalnya 2 tahun, bukan 2 Minggu". Aruna melempar senyum manisnya kepada Surya dan Hendra. Dia bahkan menjabat tangan Tania dan sempat memperkenalkan dirinya sesaat.     

"Aruna". Sapanya     

"Tania". Tania sempat menyelipkan rambut indahnya kebelakang telinga, ekspresi yang dia sajikan agar terlihat cantik mempesona.     

"Sampai jumpa kak". Gadis kecil itu benar-benar tidak terpengaruh. Melambaikan tangan menuruni tangga. Damar berjalan sembari melirik Hendra dan melepas senyum palsu penuh kemenangan.     

_Apa-apaan mereka_ Hendra terbiasa dihormati ribuan karyawan Djoyo Makmur Grup, bahkan tidak ada yang berani melawan permintaannya apalagi melempar sindiran secara langsung padanya. Dan kini dua anak muda yang baru dikenal menyinggungnya terang-terangan.     

"Tania kau pulang sendiri". Hendra menyerahkan kunci mobil Tania.     

"Aku masih ada keperluan, lain kali kita bertemu lagi". Hendra memasuki mobilnya sendiri. Surya terkejut dengan keputusan Hendra.     

_Apa lagi ini?? Mengapa dia tiba-tiba berubah pikiran_ Surya sempat bertanya kemana tujuan mereka kali ini. Tak ada jawaban. Hendra sibuk menghubungi seseorang.     

***     

"Pastikan kau mengawasi mereka!. Kalau perlu ambil gambar dan video mereka!. Laporan padaku setiap saat!". Hanya itu kata-kata yang sempat Surya dengar.     

_Siapa yang Hendra awasi_ Surya bertanya-tanya apa yang begitu serius hingga atasnya tidak mau lepas dari telepon selulernya.     

"Ya, pasti tidak jauh dari butik itu".     

"Benar bajunya lengan panjang dengan celana jeans".     

"Kirimkan saja fotonya". Suara Hendra terdengar lagi oleh Surya. Tak lama kemudian atasannya kembali sibuk dengan handphonenya, dia sibuk memeriksa beberapa gambar.     

"Tolong jawab aku sebentar, kita menuju kantor atau kembali ke rumah". Pinta Surya     

"Kekantor saja, aku akan beristirahat di hotel". Jawab Hendra.     

"Ah, apa-apaan kau ini mengapa baru katakan sekarang". Surya memutar kemudi diselimuti perasaan kesal, asisten itu sudah mulai capek.     

"Bang". Handphone Hendra terjatuh. Surya meliriknya mengatur kembali laju mobilnya.     

_Tunggu? apa yang barusan dia lihat?? Ah, ya Tuhaaan_ Surya menyadari mengapa Hendra sedari tadi tidak fokus. Sekelebat bayangan di handphone Hendra menjawab semua rasa penasaran asistennya.     

"Yang benar saja kau Hendra?? kau mengirim orang untuk menguntit Aruna dan Damar".     

"Baha..ha..ha...". Surya benar-benar tak habis pikir. Dia kehilangan kendali untuk tidak tertawa. Bahkan dia lupa SOP sebagai sekertaris pribadi Hendra.     

"Turun kau dari mobil". Gertak Hendra. Sejujurnya wajah Hendra memerah karena dihantam rasa malu. Namun tidak ada cara lain untuk menyangkal rasa malunya selain menunjukkan taring bahwa dialah bosnya. Hendra sadar yang dia lakukan adalah kegilaan, sayangnya rasa tertantang dan penasaran mengelabuhi dirinya.     

"Ah, akan ku lempar surat pengunduran diri ku... lihat saja". Gertakan Surya tidak dihiraukan sedikit pun. Hendra menariknya keluar dari kursi pengemudi. Mobil itu melaju kencang meninggalkan seseorang yang berteriak-teriak menumpahkan emosi dan rasa lelahnya di tepi jalan.     

***     

"Damar kita makan di situ yuk. mau??". Dua sahabat itu berjalan menuju resto cepat saji terdekat dari butik.     

"Apa kau lupa aku tidak suka ayam". Damar     

"Kau makan Beef Burger, aku ayam goreng. Mau ya...??". Aruna tahu bahwa Damar sangat tidak suka dengan makanan cepat saji. Baginya warteg rasa rumahan jauh lebih baik dibandingkan ini.     

"Aku sudah lapar". Aruna memasang ekspresi memohon sambil mengelus-elus perutnya.     

"Ya... baiklah". Damar pasrah dan tidak bisa menolak tiap kali Aruna menunjukkan ekspresi tersebut.     

Kini keduanya sedang asyik menyantap makanan sembari berbincang-bincang santai sesuai kebiasaan mereka. Tanpa menyadari seseorang telah mengambil beberapa foto dan video dari kejauhan. Pria misterius yang dikirim Hendra.     

"Apa aku pesan OkeCar sekarang juga". Damar memainkan Heandphone melihat santapan mereka sudah mulai habis.     

"Jangan, aku belum ingin pulang. Aku mau main dulu". Pinta Aruna. Ada guratan resah yang terukir pada raut muka gadis itu. Damar menangkapnya, pemuda itu lekas berdiri meraih tangan Aruna. Memintanya berjalan lebih cepat menunjuk halte bus Trans. Bus tersebut hampir berjalan meninggalkan halte ketika mereka tiba. Untung saja masih terkejar.     

Penuh sesak menyisakan satu Hand Holder, Damar yang lebih jangkung meraihnya dengan satu tangan dan tangan satunya mendekap tubuh Aruna memastikan gadis itu aman. Sekali lagi seorang penguntit memotret mereka.     

Tak biasanya gadis itu membiarkan Damar memegangi dirinya. Aruna selalu protes ketika Damar suka bercanda seolah-olah akan memeluknya atau sekedar menyandarkan tangannya di bahu Aruna. Namun kali ini Aruna mematung kosong.     

_Kenapa Aruna benar-benar gelisah, bukankan harusnya akulah yang hancur berkeping-keping hari ini_ Damar memerhatikan Aruna dengan seksama, Gadis itu menunduk saja dari tadi. Seperti sedang tertekan.     

Damar sendiri tidak memiliki ide harus turun dimana. Dan bagaimana menghiburnya. Dia melirik jalanan di luar. Beberapa gedung mall menghiasi jalanan.     

_Ah, Aruna tidak suka berkunjung ke Mall_ Damar menyadari jika umumnya perempuan seusia Aruna suka menghibur diri dengan main ke Mall, sayangnya hal itu tidak berlaku bagi Aruna.     

_Aku harus membawanya kemana??_ Damar mengamati sekeliling hingga menemukan gedung pencakar langit yang membuat matanya berbinar.     

_Sepertinya ini akan jadi ide bagus_     

Dengan suasana hati yang kalut Aruna pasrah ketika Damar menarik dirinya menyusuri trotoar dan berhenti di salah satu gedung pencakar langit. Pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan perkantoran jadi satu di sana.     

"Mau kemana kita?". Tanya Aruna bingung.     

"Ikut saja". Damar tersenyum manis meyakinkan sahabatnya. Namun Aruna enggan untuk masuk.     

"Tenang saja aku tahu apa yang kamu suka dan tidak". Tidak ada alasan bagi Aruna untuk menolak Damar. Dirinya juga enggan untuk pulang. Akhirnya dia putuskan mengikuti kehendak Damar.     

Keduanya menaiki lift menuju lantai teratas. Aruna tidak menduga pria itu membawanya ke kompleks perumahan mewah diatas gedung bertingkat. Aruna pernah mendengarnya namun belum pernah melihatnya. Dan itu menarik. Gadis itu segera berlari menyusuri indahnya pemandangan Jakarta dari atas. Beberapa kursi taman dan pepohonan minimalis menghiasi jalan setapak dihadapan mereka. Aruna berdiri disana menatap hamparan lampu kerlap kerlip, denyut kehidupan kota metropolitan.     

"Terimakasih Damar ini indah". Aruna melirik sahabatnya yang mendekat kearahnya.     

"Kau suka?". Tanya Damar. Aruna mengangguk disertai senyum getir.     

"Aku akan berdiri disini beberapa saat, aku harap kamu tak akan keberatan". Aruna menyampaikan permintaannya tanpa melihat Damar, tatapannya kosong kearah entah berantah.     

Detik itu juga Damar merasa waktu berhenti sesaat untuk dirinya. Nafasnya berat dan dadanya benar-benar sesak, seakan ada benda tajam yang menusuknya tepat di jantung.     

_Aku bahkan patah hati sebelum menyatakan cinta, Apa aku hanya akan berhenti disini?!_ Damar memandangi gadis yang dia puja selama 2 tahun. Tak ada harapan baginya untuk memiliki. Tapi tidakkah semua orang berhak menyuarakan isi hatinya. Berhak menyatakan cintanya.     

Lelaki itu tanpa sadar berjalan kearah Aruna memeluknya dari samping. Mengelus kepala Aruna, mendekapnya di dada.     

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ada aku disini semua akan baik-baik saja". Bisik Damar mencium harum rambut Aruna.     

Aruna terkejut matanya terbelalak tak percaya. _Apa yang dilakukan anak ini?!?_ Spontan sikunya terangkat dan mendarat di perut Damar.     

"Au... ". Damar mengeluh.     

"Perasaan ku sedang kacau dan kau masih saja menggodaku". Aruna protes, senyum pasrah dan jengkel jadi satu.     

"Apa aku terlihat sedang bercanda". Damar tidak tersenyum jenaka seperti biasanya. Dia benar-benar telah menata hati. Seburuk apapun yang akan dihadapi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.