Ciuman Pertama Aruna

Kursi Spesial



Kursi Spesial

0Hendra mulai mengangkat tubuhnya dan menatapnya lekat Aruna yang setengah berada di bawahnya. Pria itu bahkan masih memakai masker pink.     

"Hendra jangan begini!".     

"Mengapa tak boleh?! ".     

"Aku pun juga perempuan yang punya naluri".     

"Oh ternyata kau tidak naif.. Kau juga punya naluri.. aku tertegun". Hendra semakin bersemangat.     

Mata mereka saling bertemu dan dua wajah pasangan pernikahan kontrak ini memerah satu sama lain.     

"Andai Aku diijinkan, Aku ingin mencium bibir mu".     

Aruna hanya terdiam cukup lama. Isi otak Hendra ialah: menyiksa, tersiksa, menyiksa, tersiksa, tapi dia tidak ingin memaksa seperti sebelum-sebelumnya.     

"Asal hanya sampai di situ, dan tidak lebih!". Gadis ini pun sepertinya sudah terbiasa dengan habits barunya, menerima sentuhan Hendra.      

Sedangkan Hendra, andai ada space melompat dia akan melompat girang bukan main.     

Namun lelaki bermata biru mengurungkan niatnya, dia akan kesulitan mengendalikan diri. Kembali merebahkan badannya di kasur shabby chic, meredam kuat keinginannya.     

"Tumben ada apa ini??". Aruna sedikit terkejut. Cucu Wiryo biasanya tidak begini.     

"Kau terlalu harum.. aku takut, aku melanggar janji ku".     

"Kau bisa baik juga ya..".     

"Aku tidak jahat.. hanya saja kau tak tahu kehidupan yang aku hadapi".      

Aruna merasa pernah mendengar ungkapan tersebut. Entah dari siapa?, Apa mungkin percakapan opa Wiryo dengan oma Sukma.     

"Siapa perempuan yang menemui mu tadi?".     

"Nathasya maksudmu?! dia dokter pribadiku".     

"Apa kau sakit?".     

"Tidak.. Aku hanya lupa membawa obat ku dan dia mengantarkannya untuk ku".      

"Obat apa? Boleh aku lihat obatnya".      

_jangan sampai kau berbohong lagi_ Aruna mulai curiga.      

"Suatu saat akan ku beritahu, tapi tidak untuk saat ini".     

"Hai.. Kalau kau tidak memberitahu ku, mana bisa aku menyiapkannya untuk mu".     

"Tenang saja lain kali aku akan lebih hati-hati"     

_Apa yang terjadi padanya. Kenapa terlalu banyak hal yang dia sembunyikan, dia juga suka berbohong_     

_Sebenarnya seperti apa kehidupan Hendra?. semakin dekat dengannya, semakin tidak tahu apa-apa_     

"Aruna Apa penawaran mu masih berlaku??"     

"Penawaran apa??".      

Lelaki bermata biru melepas maskernya, bergegas mendaratkan bibirnya ke bibir Istrinya, tanpa minta izin seperti tadi.     

Dia lebih lembut saat ini. Sangat lembut sampai Aruna tersentuh.     

Sempat terlepas sesaat, dia membisikkan sesuatu yang ambigu : "Aku sekarang punya impian. Mendapatkan ciuman setiap saat, kalau tak bisa  setiap saat, sehari sekali sudah cukup, kalau tak bisa lagi seminggu sekali tak masalah, kalau tak bisa lagi sebulan sekali apa boleh buat. Asalkan aku mendapatkannya".     

Pernyataan Hendra membuat pipi Aruna merah.     

"Kau mengerikan". Walau kata-katanya masih berupa umpatan.     

"Lebih mengerikan lagi kecanduan..".     

Entah mulai kapan dia menjadi begitu berani berkata-kata seperti ini.      

Ungkapannya menghilang lalu menyusup lagi, lebih dalam tapi tak sekasar sebelum-sebelumnya.     

Dia sempat melepas, memberi Aruna kesempatan untuk bernafas, laki-laki ini berbisik untuk kedua kalinya : "Kau tak ingin membalas ku, cobalah sekali saja".     

"Aku akan menyamakan ritmenya dengan mu".     

Aruna menggeleng, gadis ini masih tidak menginginkannya. Namun sejujurnya sudah ada perubahan, dia berkenan memegang lengan Hendra tanpa memukulnya, meronta atau menjambaknya.      

Hendra meraih salah satu tangan mungil itu kemudian menempelkan pada dadanya, Hendra tahu Aruna tadi menyukainya.      

Istrinya mulai mengerut dan perlahan menghindar.      

Sebelum dia benar-benar menghentikan keinginannya, tidak mau.      

Hendra menyusup kembali. Lebih berani memainkan sesuatu di dalam mulut Aruna, membuat gadis ini sempat bergetar.     

Ketika Aruna memilih mundur, Hendra sigap rela berhenti.     

"Kenapa?? apa aku terlalu memaksamu?!".     

"Tidak..( menggelengkan kepala) aku rasa ini sudah cukup".     

Lalu dia, Aruna menyukur memunggungi lelaki bermata biru.     

.     

.     

CEO DM group membisikan ungkapan hati lebih lirih, sembari memeluknya dari belakang, menghisap rambut istrinya : "Kau tahu betapa menyakitkannya tidak terbalas, rasanya ada yang remuk di dalam dada ku".      

Dan sekali lagi Gadis itu pura-pura tertidur, tidak mendengar ungkapan keberanian yang susah payah dikumpulkan suaminya, Mahendra.      

***     

"Surya?! kenapa kau datang sepagi ini?".     

Hari Minggu, hari ke-2 Hendra berada di rumah Ayah Lesmana. Pria itu sudah mendapati sekretaris menjemput pagi-pagi.     

Hendra hanya sempat berpamitan sekilas dengan Aruna. Rolls Royce membawanya melesat cepat menemui tetua yang secara mengejutkan menginstruksikan untuk segera hadir dalam rapat terbatas.     

"Apalagi sekarang?! kakek tua itu sungguh keterlaluan. Aku bahkan tak bisa menikmati hari minggu ku. Apa dia tak tahu aku sedang berada di rumah siapa?!".     

"Bukankah kau dulu juga sama. Tidak memberikan ku hari Minggu, mungkin ini adalah karma untukmu". Surya mencoba memecahkan suasana buruk yang ditunjukkan secara terang-terangan oleh Hendra.     

Hendra mulai menggerutu sendiri.     

"Sepertinya karena kau menerima kerjasama walikota, dalam project baru DM Construction". Surya memberikan sedikit informasi.     

"Ah' sudah ku duga akan seperti ini. Ya.. baiklah, aku terima resikonya".     

"Apa dia sangat marah??". Hendra menambahkan pertanyaan pada akhirnya ucapannya.     

"Karena dia selalu memasang wajah kaku. Aku tak tahu kapan dia marah atau senang".      

"Surya, siapa saja yang berada dalam rapat terbatas kali ini?".     

"Orang-orang lantai D". Jawab sekertarisnya singkat.     

"Haha... Mereka lagi". Hendra tertawa menyeringai.      

"Apa yang sebenarnya kalian bahasa? Hendra". Raut muka Surya tertangkap begitu penasaran.     

"Sebaiknya, kau memang tidak perlu tahu. Supaya dirimu fokus pada pengembangan bisnis DM grup dari pada yang lainnya.. Apalagi masalah seperti ini".     

"Jika suatu saat aku terlalu sibuk dengan hal lain. Aku berharap kau bisa melakukan take over terhadap pekerjaan ku, kapan pun dan dimana pun". Ucapan Hendra seolah terlihat ringan dan datar, tapi sang sekretaris terlampau hafal bahwa kata-katanya bukanlah sesuatu yang biasa.     

.     

.     

Lelaki tua di hiasi raut muka kaku, mengetuk-ngetukkan tongkatnya. Setelah mendapati Hendra datang dan mulai duduk di kursinya.     

Kursi spesial ruang D yang diperuntukkan bagi pimpinan baru. Siapa lagi kalau bukan CEO yang akan dinobatkan sebagai presdir pengganti, Mahendra Hadyan Djoyodiningrat.     

"Siapa yang menyuruhmu menerima tawaran bersinergi dengan pemerintah?". Suaranya dingin menyerap. Sebenarnya tidak ada bedanya dengan suara Hendra ketika memojokkan orang lain.     

"Walaupun sebenarnya keputusan tersebut berawal dari desakan semua orang. Aku akui aku sendiri yang menyetujuinya".      

"Kau tahu itu artinya apa?".     

"Ya. Aku baru mengerti beberapa hari kemarin, tapi aku tidak akan minta maaf karena aku baru mengerti". (Tentang masa lalu keluarga Djoyodiningrat)     

"Kalau kau sudah bermain-main sampai di titik ini. Artinya Kau sudah siap dengan segala resikonya. Sungguh, aku yakin kau belum mengerti sejauh mana resiko yang akan kita hadapi!?".     

"Seandainya suatu saat mereka menghianati mu pastikan untuk sekalian membersihkan nama baik keluarga kita, terkait kasus di masa lalu".     

"Aku rasa kali ini pengaruh kita sudah lebih dari cukup, Apalagi kekuatan kita".      

"Lakukan yang terbaik atau mundur sekarang juga!!". Panjang lebar presdir DM groups yang lebih akrab disebut tetua menghujam Hendra dengan pernyataan-pernyataan tajamnya.     

"Aku sudah ingin mundur sejak awal, tapi bukankah kakek sendiri yang mendukungnya sampai menjadi walikota". Hendra sengaja mengambilnya dengan sebutan 'Kakek', supaya lelaki tua itu ingat bahwa dirinya adalah manusia.     

Dulu kalau sudah begini Hendra akan menyebutnya dengan ungkapan 'kau'. Banyak hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini, semenjak dirinya mendapati seseorang yang bisa dipeluk tiap malam. Dia merasa hidupnya semakin berarti. Dan memahami bagaimana cara memaknai hidup.     

"Ha-ha, dia sudah bercerita banyak sepertinya". Wiryo terlihat berpikir keras.     

"Asal kau tahu, ancaman terhadap dirimu akan meningkat. Itu resiko awal yang bisa aku prediksi".     

Hendra menelisik dan mencoba menangkap ungkapan dari kakeknya.     

"Jadi kau tahu siapa sebenarnya yang mengancam kita. Bisa memprediksi!? berarti tahu siapa dalangnya!?". Mata biru memang memiliki keahlian lebih dalam menangkap umpan lawan bicaranya.     

"Apa gunanya kita tahu, kalau kita tak pernah punya bukti. Semuanya hanya akan jadi omong kosong".     

"Baiklah kita ambil resiko itu. Dan mari kita bertarung dengan wujud lebih nyata". Kata-kata Hendra kali ini mengejutkan orang-orang disekitarnya.      

Wiryo terlihat tersenyum, baru kali ini laki-laki tua itu tersenyum padanya.     

Hendra tidak menyadari bahwa senyum itu bermakna: sang presdir begitu senang melihat cucunya peduli pada perusahaan yang diturunkan untuknya.     

Cucu keluarga Djoyodiningrat, tidak pernah menunjukkan kepeduliannya. Walau dia seorang CEO yang berhasil meningkatkan profit perusahaan. Sejujurnya beberapa orang sudah tahu, dia hanya memposisikan dirinya sebagai pekerja.     

Tidak lebih, pekerja yang handal di bidangnya. Bukan seorang pewaris yang perlu memikirkan masa depan perusahaan yang diwariskan untuk dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.