Ciuman Pertama Aruna

Kepompong Baik



Kepompong Baik

0"Sebenarnya keputusan kakek anda melepas perusahaan ini sudah cukup tepat, anak perusahaan yang dulu bernama Djoyo oil company (DIC) sulit berkembang. Karena prinsip Djoyo Makmur group yang tidak ingin bekerjasama dengan pemerintah".     

"Orde dimana pemerintahan kala itu dihuni orang-orang yang begitu suka mengambil keuntungan untuk kepentingan sendiri".     

"Jadi perusahaan ini terbelenggu tidak bisa menanjak sama sekali". Panjang lebar Vian menjelaskan.     

"Ketika dilepas sepertinya kumpulan dewan penghianat bermain aman dengan menuruti orang-orang rakus itu". Thomas kembali dengan emosinya yang masih belum setabil. Pria dengan kesan maskulin ini ternyata bisa marah juga. Hendra sempat meliriknya. Orang-orang dalam rapat terbatas ini begitu serius memikirkan masalah yang di hadapi Djoyo Makmur Grup.     

Bagaimana cara kakeknya melahirkan orang-orang semacam ini?. Hendra tidak habis fikri, dirinya yang asli pewaris Djoyodiningrat beberapa kali berfikir untuk untuk pergi jauh. Sejauh mungkin, andai dia bisa lakukan itu.     

"Mereka berkembang pesat diluar ekspektasi. Dan pimpinan mereka tidak terdeteksi siapa. Sepertinya masih berupa koalisi". Vian memberikan penjelasan tambahan.     

"Jadi apakah mereka para pengancam keselamatan keluarga ku?". Hendra mengkonfirmasi, tujuan untama rapat ini.     

"Sepertinya demikian, namun kita tidak punya bukti yang cukup kuat untuk mengungkapnya". Raka menyela.     

"Apa tujuan mereka yang utama?". Hendra kembali melempar pertanyaan.     

"Tentu, menghentikan generasi penerus Djoyodiningrat yang jumlahnya terbatas". Andos     

"Mengancam keluarga anda sama dengan mengancam seluruh Djoyo Makmur group". Pradita ikut menambahkan.     

"Begitulah kelemahan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga tunggal. Ketika generasi penerus tidak dilahirkan dan berhenti, atau tidak  produktif, sama dengan kehancuran". Suara Andos     

"Kakek anda memahami itu dengan sangat detail makanya kami dilahirkan sebagai anak angkat yang jumlahnya tidak sedikit". Pradita kembali bersuara.     

Deg'     

Sesaat Hendra mengingat kondisi pernikahannya dengan Aruna. Gadis muda itu tidak akan mungkin melahirkan bayi dalam pernikahan mereka, karena kontrak yang dia buat sendiri.     

Kuncinya hanya dua menaklukkan hati Aruna dan membuatnya berkenan menerima Hendra sebagai suami seutuhnya, lalu menanggalkan perjanjian pernikahan mereka. Atau yang terburuk adalah mereka harus mengakhiri pernikahan kontrak ini sesuai jadwal yang telah ditentukan. Kemudian Hendra mencari perempuan lain yang berkenan melahirkan bayi-bayi untuk keberlangsungan keluarganya.     

Sang pewaris tunggal terdiam sejenak meratapi kegundahan hatinya sendiri, dia benar-benar berada di titik paling menyesal. Mengapa dulu ketika pertama kali bertemu dengan calon istrinya dia sodorkan secara paksa draft kontrak pernikahan.     

Andai waktu bisa diulang kembali atau dia mendengarkan ocehan Surya mungkin sekarang ceritanya akan berbeda. Bisa jadi sekarang Aruna akan menerima dia dengan cara lebih baik. Bahkan dirinya bisa menceritakan kondisi psychologist nya. Termasuk, bisa mengekang Aruna agar tidak berjumpa dengan pemuda itu karena mereka sudah menikah secara wajar.     

Nyatanya nasi sudah menjadi bubur, yang dia hadapi sekarang adalah Aruan. Gadis hangat dan penurut yang kini menjelma sebagai perempuan keras kepala. Kokoh pada pendiriannya, menuruti Mou yang telah mereka sepakati.     

***     

"Nona bisakah Anda duduk saja". Para asisten rumah tangga merasa bingung antara terkesan dan terganggu karena istri tuan muda keluarga ini turut hadir di dapur mereka.     

Dia begitu santai mengupas bawang merah, memotong sayuran dan ikut serta mencuci apapun yang dibutuhkan. Kepala asisten disana tampak kacau, karena dia takut seandainya Oma Sukma mengetahui keadaan ini.     

"Jalan cuci! Aku mohon jangan cuci!". Seorang asisten berlarian mengambil barang-barang yang dipengangi Aruna di dekat wastafel.     

"Haduh.. Kenapa semua orang disini ribet. Aku cuman ingin membantu menyiapkan makanan untuk suami ku. Apa aku tidak boleh? Aku kan istrinya?".     

"Hee..". Laki-laki berdasi kupu-kupu mendehem dalam beban, sembari mendekat kepada Aruna.     

"Masalahnya, yang Anda lakukan diluar kebiasaan keluarga Djoyodiningrat". Dia kepala asisten.     

"Apa aku harus duduk diam baru kalian merasa lega". Aruan mundur dengan raut muka pasrah.     

"Mohon maaf nona sepertinya itu lebih baik".     

Aruan mengamati mereka, mencoba membandingkan kondisinya dulu : Jika ini di rumah ayah Lesmana, ibunya akan sangat senang bahkan terkejut karena Aruna mau meluangkan waktu untuk membantunya di dapur bersama mbak Linda. Apalagi kalau kakaknya Aliana,ang manajer muda itu mau menengok dapur saja. Bundanya akan langsung memeluk perempuan itu.     

"Apa yang harus aku lakukan supaya aku boleh membantu kalian atau sebaliknya kalian membantu ku". Aruna gadis yang tangkas, dia memiliki aktivitas banyak diluar sana. Kuliah desain dengan tugas menumpuk, menjalankan Surat Ajaib bersama teman-temannya, masih aktif dalam kegiatan sosial termasuk diminta hadir dalam kegiatan coworking space kelompok-kelompok startup.     

Dan kini dia dicukupkan untuk berdiam diri dalam rumah induk yang sunyi. Sunyi karena sebagian besar penghuninya hanya tersenyum padanya. Oma dan mommy keluarga ini hanya sepintas terlihat.     

Aruna bahkan hafal kapan dia bisa melihat mommy Hendra. Perempuan pendiam itu akan berjalan-jalan ditaman dekat danau pada pukul 08.00 sekitar 30 sampai 45 menit, kemudian menghilang kembali. Nanti pada jam makan siang mereka akan terlihat sekilas, makan dengan cara sangat sopan kemudian menghilang lagi. Lalu disore hari ketika Aruan naik ke lantai 3, perempuan itu akan banyak menghabiskan diri dengan yoga dan meditasi atau berenang dilantai dasar.     

Ritmenya tidak banyak berubah, raut mukanya selalu datar dan dia sangat jarang berbicara. Seperti perempuan yang hidup dalam ruang pikirnya sendiri. Aruan beberpa kali ingin mendatanginya untuk sekedar bertegur sapa. Namun tiap kali langkah kakinya ingin mendekat, seorang ajudan perempuan selalu memperingatkannya : "Tolong jangan ganggu nyonya".     

Ah' ternyata selalu ada ajudan perempuan yang mengawasinya dari kejauhan. Dunia macam apa ini?  Dia harus memikirkan cara keluar dari rumah ini.     

"Bagaimana kalau aku dapat ijin membantu kalian? apakah kalian akan merasa lebih baik?". Tanya Aruna.     

"Mungkin".     

"Baiklah akan aku coba".     

Aruna mencoba mencari-cari perempuan yang mereka panggil Nyonya besar, dan itu oma Sukma. Aruna berharap lebih banyak berinteraksi dengan oma ramah ini. Sayangnya nenek keluarga ini juga punya kesibukan di luar rumah. Kabarnya oma Sukma mengelola foundation keluarga Djoyodiningrat. Untuk itu dia memiliki jadwal pada hari-hari tertentu.     

Takut-takut Aruna mengetuk pintu kamar utama rumah induk. Kamar pintu ukir yang sama besarnya dengan kamar dia dan Hendra. Bedanya lapisanya sedikit lebih mengkilat kuat. Yang Aruna takutkan adalah kamar ini juga kamar tetua yang semua orang tunduk kepadanya.     

"Tok tok tok".     

_Wah ternyata aku memang apes_     

Lelaki tua yang dia takuti muncul dari balik pintu ukir menjulang tinggi.     

"Em.. kakek. Apakah Oma ada di dalam?". Lelaki tua itu membuka lebih lebar pintu, kemudian suaranya yang serak menyapa istrinya.     

"Ada yang mencarimu". Lalu tetua keluarga itu menyingkir ke sisi lain.     

"Oh Aruna, Ada apa Sayang? Apa yang bisa Oma bantu?".     

"Masuk masuk ayo masuk saja". Perempuan tua yang anggun itu mendadak tangkas menarik tangan Aruna, memintanya memasuki kamar.     

_Bukankah ini tempat yang sangat privasi? Bagaimana bisa dia diijinkan masuk ke tempat ini?_     

Aruna sempat menolaknya tapi nenek Hendra sangat pandai merayu. Ketika sampai di dalam kamar utama keluarga Djoyodiningrat.     

Putri Lesmana lebih terkejut lagi. Desain kamar ini seperti copy paste dari desain kamarnya dengan Hendra. Dan Wiryo duduk ditempat favorite Hendra. Meja kerja menghadap ke ranjang.     

Sedikit gila karena benar-benar sama. Bedanya hanyalah tempat ini lebih luas dan terkesan lebih klasik. Dengan interior yang cenderung lebih kuno.      

Perempuan anggun itu ternyata sedang asyik menonton televisi.      

Sesekali Aruna melirik ke belakang, kakek Hendra terlihat tidak peduli dengan keberadaannya. Sikap itu mirip sekali dengan Hendra yang suka mengabaikan orang-orang di sekitarnya kecuali dia sedang butuh.     

"Katakan apa yang kau inginkan sampai mengetuk pintu kamar Oma?".     

"Saya dilarang membantu para asisten di dapur, padahal saya ingin menyiapkan sesuatu".     

"Maksudnya? kau ingin menyiapkan apa?".     

"Hari ini Hendra janji akan pulang lebih awal. Aku pikir aku ingin masak untuknya, walaupun aku sebenarnya tidak bisa masak juga".     

"Wah manisnya istri cucuku. Baik kalau begitu aku juga akan ikut andil membantu".     

"Betulkah Oma?".     

"Ya! tentu saja karena tawaran seperti ini sangat mahal terjadi di keluarga kami, Ah bukan kaimi tapi kita". Oma Sukma lebih tangkas melebihi Aruna, berjalan menarik tangannya mengarah pantry utama keluarga Djoyodiningrat     

Sore ini Aruna tak lagi menatap pemandangan dari dalam jendela, hari-harinya hanya dihabiskan seperti itu tiap saat. Kadang dia pernah menangis sendirian karena kesepian. Dan kali ini dia sedang bertekat mencari cara untuk segera keluar dari rumah induk yang dulu dia kagumi. Sayang rumah induk itu sekarang bermetamorfosis kearah yang berbeda, Aruna berharap kondisi saat ini merepakan bagian dari tahapan metamorfosis sempurna. Semacam tahapan ulat menjadi kepompong kemudian suatu saat dia bisa keluar sebagai kupu-kupu. Jika dirinya tidak mampu melewati fase ini dia akan terus bersemayam didalamnya selamanya.     

_Untuk itu aku perlu menjadi kepompong yang baik_     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.