Ciuman Pertama Aruna

Pertanyaan Yang Sama



Pertanyaan Yang Sama

0"Mungkin kah? Aruna bisa hidup seperti nenek dan ibunya?".     

Lelaki bermata biru memegangi pelipisnya, dia tidak menemukan apapun yang salah dari biografi ini untuk sementara waktu. Tapi dia malah menemukan bahwa istrinya sebaiknya tidak banyak beraktivitas diluar. Pasti membuat Aruna tersiksa.     

.     

.     

"Hendra sudah waktunya istirahat kau belum juga keluar". Tiba-tiba Surya hadir dihadapannya menepuk pundaknya.     

"Ada bingkisan dari istrimu, anak ini semakin baik saja".     

Surya meletakkan makan siang Hendra dimeja.     

"Dia memintaku mengingatkanmu agar kau pulang tepat waktu".     

"Kelihatannya pernikahanmu menyenangkan".     

"Aku jadi ingin segera menikah tapi dengan siapa ya..?". Bingung sendiri.     

Ucapan Surya dibalas senyuman menggelitik Hendra.     

"Sebaiknya kau mencoba mencari perempuan". Hendra menyarankan.     

"Bagaimana caraku mencari perempuan kalau hidupku terus-terusan mengurusi lelaki keras kepala". Matanya menatap rese ke Hendra.     

"Kenapa jadi aku yang salah?".     

"Ya karena kau sumber masalah".     

"Sekali lagi kau katakan itu, ku pastikan dirimu menyesal!".     

"Mungkin karena habitsku terbentuk dari ucapan dan ancamanmu Jadi aku lupa membentuk diriku sendiri dan mengingat kebutuhanku".     

"Tak perlu mempersalahkan habit, cukup temukan perempuan yang membuatmu jatuh cinta, seluruh struktur dan fungsi otakmu akan kacau dan lupa dengan segala pola habit". Hendra seolah berkaca pada dirinya sendiri.     

"Wow kau sekarang sudah pandai bicara tentang cinta.. Rasanya aku jadi ingin tertawa".     

"hahaha". Sekertaris itu meledakkan tawanya tanpa basa basi. Ingatannya kembali kebeberapa bulan yang lalu. Hendra tidak begini, dia sedang berbicara sesuatu yang dulu disebut sampah.     

"Kau tahu aku pernah ilfil padamu gara-gara kau terbaring dirumah sakit hanya karena ditolak perempuan. Aku merasa itu adalah adegan paling tidak terhormat yang pernah aku temukan pada dirimu".     

"Hahaha". Dia kembali terpingkal-pingkal.     

"Jangan pernah bicara seperti itu atau kau akan merasakan yang lebih parah dariku".     

"Entahlah aku malah merasa ngeri". Surya merinding sesaat, mengingat bagaimana Hendra terpaksa disuntik obat penenang.     

"Segeralah menikah supaya kau tidak dikira gay, hahaha". Hendra membalas sekertarisnya dengan kata-kata bikin lebih ilfil.     

"Soalnya walikota sialan itu juga mengira aku gay dan pasanganku adalah kamu.. hahaha". Ucapan Hendra kali ini lebih sialan lagi.     

"Gila berarti aku harus segera mencari perempuan dong?!".     

"Tepat sekali sebelum kau menjadi bujang lapuk". Hendra menghina terang-terangan.     

"Andai Kau bukan atasanku, aku akan mengumpat: SIALAN!!".     

"Hei secara tidak langsung kau sudah mengumpatku, Dasar!! kau memang pandai bicara".     

"Ya.. kalau tidak begitu, aku sudah disingkirkan sejak dulu..".     

Obrolan absurd berikutnya berlangsung diiringi gerakan Hendra menikmati makan siang yang dikirim Aruna. Didalam kotak makan siang itu bahkan dituliskan dengan huruf kapital (HENDRA, KAMU HARUS PULANG TEPAT WAKTU!)     

Tulisan itu seolah menjelma menjadi ucapan Aruna dengan nada jengkelnya yang menggemaskan.     

***     

Bip bip bip     

Telepon dari sahabatnya di Surat Ajaib membuat Aruna begitu bahagia, gadis ini tangkas mengambil handphonenya.     

"Hallooo... Aruna Aku sudah mengirimkan beberapa hasil desain teman-teman yang mendaftar desain project".  Dea begitu riang menyapa Aruna.     

 jangan lupa pilih yang namanya Timi". Lily menyerobot percakapan.     

"Apa Desainnya bagus?". tanya Aruna.     

"Ah kalau masalah desain aku nol besar, tapi dia sangat tampaaaa...n, dan badannya atletis". Lily terlalu bersemangat     

"Gila! Hahaha.. kau selalu begitu".     

"Ayolah segera diperiksa!" Lily     

"Dea menurutmu apa dia bagus?".     

"Aku malah bingung dia seperti sudah pro (profesional)"     

"Tapi bukankah membuang-buang kesempatan, jika dia hanya berada di Surat Ajaib?!". Dea     

"Kau selalu kebanyakan berpikir Dea, dia sudah memilih daftar disini berarti dia ingin kita terima".  Lily konsisten heboh.     

"Kau tidak tahu betapa besarnya peluang untuk desain projet pro. Mereka bisa jadi komikus, bayarannya luar biasa atau bisa jadi pembuat karakter dan beberapa laboratorium branding maupun slide desain. Yang aku jelaskan ini cuman sebagian pekerjaan yang bisa mereka dapatkan". Dea serius merenungi.     

"Ah, entahlah.. pokoknya kalau dia diterima, aku akan semakin semangat bekerja". Lily aneh.     

"Ada lagi yang kalian butuhkan selain desain project? mungkin Lili butuh sesuatu? Maksudku, Kau butuh teman untuk administrasi dan admin akun kita?".  Aruna     

"Kalau administrasi Kak Andin akhir-akhir ini sangat membantu. Oh, Kau kan belum ketemu Kak Andin".     

"Sepertinya admin akun sosial media yang sangat kita butuhkan Aruna". Dea memangkas ucapan Lily.     

"Apalagi sekarang tugas kita dikampus semakin menggila.. jangan lupa dikerjakan!. aku sudah mengirimkan beberapa tugas untuk mengejar pelajaranmu,  sebaiknya kamu segera masuk!".     

"Kapan kau mulai masuk kuliah?". Dea.     

"Entahlah Hendra belum mengijinkanku". Suara Aruna melemah.     

"Dan aku benar-benar tidak bisa keluar dari sini sebelum orang itu memberikan ijin. Sekarang aku sedang berupaya semanis mungkin supaya dia segera membebaskanku dari kastilnya".     

"Em.. Apa kau tertekan disana?". Dea.     

"Hai tenang saja Dea.. jangan khawatir!!". Aruna menangkap kerutan cemas Dea.     

"Ada berapa pelamar? aku belum memeriksa berkasnya". Aruna mengalihkan topik pembicaraan.     

"Ya.. sekitar 6 dan Timi memang paling menjanjikan". Dea.     

"Tuh kan aku bilang juga apa". Lily.     

"Dimana Agus? aku tidak mendengar suaranya?".     

"Tuh dia..". Lily mengarahkan handphone Dea kepada Agus.     

"Gus.. aku pengen ngobrol..". Rayu Aruna.     

"Aku sedang sibuk jangan ganggu aku". Agus menunggui handphone Dea, menghindar.     

"Anak itu rese dari pagi, nggak tahu kenapa". Lily     

"Jadi kau tak ingin ngobrol sama aku Gus??".     

"Aku bilang aku sibuk".     

_Jangan sampai aku bicara dengan Aruna, aku takut keceplosan_. Agus berusaha menghindar untuk kebaikan.     

"Jahat banget..". Aruna mengeluh.     

"Ngobrol tuh sama Laras dan Tito". Agus menghindar.     

"Iya..  lama tak menyapa Laras dan Tito. Gimana kabar dua anak kecil itu?". Tanya Aruna.     

"Hem.. Kita cuman beda 1 angkatan kali".  Tito merasa keberatan dianggap kecil.     

"Hehe.     

"Jangan ganggu mereka Aruna, mereka sedang sibuk sekarang banyak banget orang lagi patah hati, dan mereka bikin surat patah hati berlembar-lembar tapi untuk orang lain. hahaha". Lily disusul Dea tertawa puas     

"Bisnis macam apa ini?! benar-benar menyiksa batin". Tito mengeluh.     

"Aku belum punya pacar, tapi selalu disuruh bikin surat cinta untuk orang lain, hahaha". Laras tertawa miris untuk dirinya sendiri.     

Percakapan mereka diwarnai canda tawa dan saling mengolok-olok satu sama lain hanya Agus yang tak bersuara.     

***     

Kau tahu kabar Aruna gus? Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja?". Agus mengunjungi Damar setelah anak teknologi informasi ini melakukan kegilaannya. Dia mengobok-obok leptop usang Damar yang tertinggal di Surat Ajaib. Mencari dan membobol email Damar. Memprediksi email mana yang digunakan Damar pada handphonenya. Dan siapa sangka anak gila kodding itu berhasil menemukan titik lokasi handphone Damar.     

"Kau dan dia sama saja.. membuatku harus menjawab pertanyaan yang sama?".     

_Aku enggan membahas Aruna_.     

Founder Surat Ajaib mereka bukan lagi gadis biasa yang bebas seperti dulu. Dia dimiliki seorang CEO misterius.     

Jadi dia khawatir padaku?". Damar menatap kosong hamparan taman rumah bang Bay     

"Aku juga khawatir denganmu?! kenapa kau tak peduli padaku?!"     

"Yang benar saja! kau ada disampingku. Dan kau memang tidak penting".     

"Hais! Sudah sangat menyedihkan begini, kata-katamu masih Damar yang rese".     

"Khawatirkan dirimu sendiri sekarang! jangan menghawatirkan orang lain. Kau lebih menyedihkan dari pada dia. Karena dia pasti dijaga suaminya".     

"Kau salah Gus". Damar melempar ungkapan yang dipahami keduanya.     

_Ya! aku tahu aku salah, tapi tidak seharusnya aku jujur_ hati Agus-pun mengiyakan.     

"Maksudnya?". Agus pura-pura tidak paham.     

"Terakhir kali aku bertemu Aruna, dia menangis menyakitkan. Dan dia seperti punya traumatis. Aku takut orang itu pelakunya".     

"Maksudmu". Kali ini agus benar-benar penasaran.     

"Itu tidak penting, yang penting sekarang bagaimana aku bisa berjumpa dengannya".     

"Sebaiknya kau urungkan niatmu Damar. Dia sudah menikah".     

"Aku tahu pernikahan itu tidak akan berlangsung lama, jadi aku berani mengambil keputusan ini".     

Aku..". Agus ragu-ragu ingin menyampaikan ancaman Hendra. Sudah sampai dimulutnya tapi tak jadi dia ungkapkan.     

"Tenang saja! Jangan lupa Damar selalu punya banyak akal"      

"Dan banyak kebodohan".     

"Kenapa kamu menghinaku bodoh".     

"Hanya karena perempuan kau ingin mati! Apalagi kalau bukan bodoh!".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.