Ciuman Pertama Aruna

180 Derajat



180 Derajat

0"Em.. Hendra kunci apa ini? Terjatuh dari saku mu".     

Deg!     

"Oh tidak ada yang penting, berikan pada ku". Hendra memandangi kunci dengan serius dan segera menyerobot tangkas dari tangan Aruna.     

"Hai Aruna, sekarang aku punya cara untuk tidur dan berbaring bersama mu".     

"Maksudnya?".     

"Ya.. Kau tidak perlu lagi menunggu ku tertidur dahulu, baru bisa berbaring?".     

"Memangnya selama ini kamu benar-benar tidak bisa tidur dan berbaring bersama orang lain?". Aruna merasa penyataan Hendra, begitu sulit di pahami. Seperti informasi penting, padahal dia sedang  membicarakan perilaku sederhana.      

Hendra terdiam.     

Dia mengalihkan pembicaraan.     

"Ayo kita pasang baju-baju mu pada almari display". Hendra mencoba membawa kumpulan midi dress dan memeluknya. Dan Aruna ikut-ikutan.     

"Kau bawa aksesorisnya atau yang lain.. jangan bawa terlalu banyak".     

"Tenang saja aku sudah terbiasa bekerja tangguh seperti ini". Surat Ajaib lebih ekstrim.     

"Aruna letakkan!"     

"Aku tak suka melihat perempuan membawa barang berat seperti itu".     

"Ribet amat sich..". Gadis ini cemberut, dan Hendra benar-benar menurunkan barang yang dia bawa. Meminta Aruna membawa kumpulan aksesoris pelengkap sekitar tiga tas jinjing ringan.     

"Sedangkan Hendra terbenam dalam tumpukan midi dress hampir tidak terlihat". Dua anak manusia saling bekerja sama membantu satu sama lain. Menata baju pada deretan lamari gantung yang membentang di salah satu Lorong.     

Tiap kali sang istri berjinjit meletakkan midi dress ber-hanger pada display baju yang lebih tinggi darinya. Hendra selalu terhenti sesaat untuk meliriknya. Bulatan menarik di dada Aruna akan membentuk sudut paling special.     

"Hendra sepertinya almari ini terlalu tinggi untuk ku".     

"Apa yang kau lihat??". Aruna menangkap tatapan Aneh mata biru.     

"Kamu mengajak ku bicara, tentu saja aku menatap mu".     

"Huuh.. kau mencurigakan dari tadi".     

"Tapi ngomong-ngomong apa kamu tidak bisa meminta pelayan untuk membelikan ku dalaman, sekarang".     

"Ini sudah terlalu malam, kasian di merekanya".     

Aruna cemberut memehami ungkapan Hendra.     

"Em.. sebenarnya aku punya sesuatu yang cukup berharga untuk mu saat ini". Pria ini mulai tidak tega.     

Alis Aruna perlahan menyatu.     

"Kau cukup memeluk ku saat tidur malam ini, seperti yang kamu lakukan semalam".     

"Aku tidak memelukmu..".     

_Semalam aku terbawa susana karena jadi stalker hendphone Ceo gila ini_       

"Wah.. wah.. wah.. ada yang mecoba amnesia".     

Aruna kikuk, canggung dan malu jadi satu.     

"Wajah mu tidak bisa berbohong".     

"Peluk aku dan akan ku berikan benda-benda berharga itu". Hendra mengeluarkan kunci dari dalam sakunya, wajah jahil itu tersenyum sumringah sambal menggoyang-goyangkan kunci berharga.     

"Kau mencurigakan.. kunci apa itu?".     

"Yach, sekumpulan perusak estetika di kamar mandi. Aku rapikan ke dalam laci, supaya kamar mandi ku elegan lagi".     

"Aargh… KAU PENGUTIL!!".     

"Berikan pada ku..". Gadis ini melompat-lompat dan berjinjit meraih kunci di tangan Hendra. Mudah saja menjauhkan kunci itu dari Aruna. Tangan Hendra cukup terangkat ke atas.     

"Hendra berikan pada ku!!".     

"Berjanji dulu, aku mendapatkan pelukan malam ini".     

"Dasar Ceo gila.. apa kau tidak malu menyandang predikat Si Penguntit, Pengintip dan sekarang kau jadi Pengutil?!".     

"Enggak"     

"Sama sekali enggak.. karena melihat dua lingkaran melompat-lompat lebih mengasyikan".     

"Aaaargggghhhhhh.... Hendra ku bunuh kau!!". Aruna mengejar suaminya yang berlari menghidar sambil tertawa cekikikan keluar dari lorong display baju.     

"hahaha". Pria ini tertawa riang. Sembari meledek si mungil Aruna yang sedang terbakar amarah. Melompat ke atas ranjang dan menuruninya ketika Aruna sudah hampir mendekat.     

Aruna meraih apa saja di dekatnya, karena dia selalu kalah cepat dia perlu membuat Hendra terkena lemparannya. Bantal-bantal melayang ke arah Ceo gila.     

Tapi Hendra terlalu ahli menghindar, Gadis ini meraih leptop diatas meja kerja.     

"Ingat harga leptop itu 100 juta!? Kalau sampai rusak kau harus menggantinya".     

"Mana ada leptop semahal itu!".     

"Ada! Karena didalamnya ada berkas-berkas penting perusahaan".     

Gadis ini menciut dan menanggalkan niatnya.     

"Hendra berikan pada ku". Gadis ini mulai mendekat perlahan ketika si pria berdiri disana tidak jauh dari pintu ukir menjulang. Kalau dia tersudut, tidak mungkin kehebohan ini akan di bawa keluar dari kamar. Kecuali dia tidak tahu malu.     

"Tidak kecuali aku mendapatkan pelukan seperti semalam".     

"Apa kau tidak malu meminta terang-terangan seperti itu". Perlahan dan semakin dekat, Hendra tidak sadar Aruna mengajaknya bicara dengan maksud tertentu.     

"Memangnya aku perlu malu dihadapan istri ku, kita sudah resmi menikah, sah dihadapan semua orang".     

"Tapi pernikahan kita kan berbeda dari..".     

"Ssreek". Aruna mengais tangkas kunci yang dipegang Hendra.     

Namun tarikan Aruna tidak kalah kuat dari genggaman Hendra. Pria itu tersenyum menyeringai, dia menaikkan tangannya sedikit keatas mendapati jemari diiringi tangan Aruna ikut naik, mengait kunci tak mau terlepas.     

Melihat gadis itu begitu dekat dengannya, dan masih saja tak ingin melepaskan kunci.     

"Muah". Hendra mengecup permukaan bibirnya. Gadis ini memerah bersama rasa jengkel dan marah.     

"Apa-apaan kamu!!".     

"Kebiasaan ya.." Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan     

"Oh aku melupakan satu keahlian mu selain penguntit, pengintip, pengutil, kau paling ahli sebagai pencuri"     

"Hahaha". Pria dihadapannya malah tertawa girang     

Karena tidak tahan untuk membiarkan dia begitu saja. Gadis ini mulai menarik bajunya dan memukulinya. Hendra merasa sudah terpojok, membuka pintu kamar mereka melarikan diri keluar.     

"Hahaha". Pria itu berlari menyusuri tangga menuju lantai 1 disusul dengan lari gesit Aruna, tidak terima.     

"Akan kubunuh kau! lihat saja".     

"Dasar pengutil sialan.. Aaaaarrrgh"     

Mereka mulai menghancurkan ruang tengah, rumah induk keluarga joyodiningrat. Beberapa bantal sofa terlempar kemana-mana bahkan Aruna sempat melempar vas bunga.     

"Prak".     

"Hai vas itu vas kristal, kau tahu berapa harganya? Itu benda special milik Oma"     

"Emang berapa harga sebuah vas"     

"100, kau bisa menggantinya?? Oma.. pasti marah padamu".     

"Rp.100.000 baik aku belikan".     

"Mana ada kristal 100.000 itu 100 juta!"     

"Apa? Apa? Yang benar saja harganya segitu?!".     

"Aku tidak berbohong".     

"Ah. Bagaimana ini….??"     

"Berikan pelukan mu nanti malam, akan ku belikan benda serupa agar kamu tidak kena marah Oma".     

"Tapi oma sangat baik".     

"Kau sedang menjahili ku, aku tak percaya".     

"Terserah".     

"Ayolah Hendra berikan kuncinya padaku".     

"Tidak.. aku harus dapatkan pelukanmu"     

"Sialan..!!". Gadis itu mulai mengejar lagi lebih berani, beberapa buku yang terletak dimeja ikut terlempar.     

Ruang tengah Joyodiningrat mulai hancur berantakan karena kelakuan cucu dan penghuni baru rumah ini.     

Suara tawa dan lemparan membuat orang-orang berdatangan.     

Mereka tidak sadar bahwa Oma, Ibu Gayatri termasuk tetua keluarga ini sudah hadir disana. Rumah ini terlalu hening bertahun-tahun, terutama dari suara tawa. Mereka penasaran dan semakin tercengang-cengang mengamati perilaku pasangan pengantin baru.     

Sejujurnya mereka lebih tercengang dengan sikap Hendra yang berubah 180 derajat.     

Mereka tidak yakin yang tertawa dan berlarian itu adalah pewaris tunggal keluarga ini. Hendra selalu dingin, angkuh dan jarang bicara sejak kejadian buruk menimpanya.     

Hendra melempar kuncinya pada permukaan lantai karena dia terjatuh. Aruna tangkas mengambil peluang itu. Dia berlari dan berhasil mencapai kunci impiannya, menggenggam erat.     

Tanpa sadar, sang pengutil memeluknya dari belakang berusaha dengan keras mengambil kembali kunci itu dari tangan kecil Aruna.     

"Kau curang.. Hendra kau curang".     

Hendra berhasil membuka tangan mungil itu dengan paksa lalu mengambil kuncinya dan Gadis ini menangis meraung ngambek. Seperti anak kecil yang tak terima dijahili.     

"Kau jahat, kunci itu sudah jadi milikku". Dan dia mulai menjambak rambut suaminya sendiri.     

"Hai.. kau tak boleh melukai kepala pewaris tunggal keluarga ini".     

"Aw.. sakit.. Aruna! lepaskan rambutku".     

"Nggak mau kembalikan kunciku".     

Orang-orang yang mengamati mereka benar-benar sangat terkejut. Hendra terlalu diluar ekspektasi.     

"Akan ku bilang pada Ayah, kau menganiaya ku disini".     

"Perhatikan! siapa yang menganiaya siapa".     

Ketika gadis ini mulai memperhatikan sekeliling.     

_Ah' apa yang sudah aku lakukan_     

"HAH!"     

_Orang-orang itu memperhatikanku_     

"APA?? Oma.. opa.. ibu..".     

_MATI AKU!_     

Tiba-tiba gadis ini tersimpuh, kakinya lemas dan tak berdaya melihat hancurnya ruangan dan beberapa benda yang kata Hendra harganya fantastis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.