Ciuman Pertama Aruna

Tidak Untuk Dipakai



Tidak Untuk Dipakai

0"Anak ku sangat membutuhkannya, karena aku tidak bisa menjadi ibu yang sempurna. Ku harap, istrinya membantunya mengenal kasih sayang".     

Aruna terbelalak dia tidak pernah berfikir memberikan apa pun untuk mata biru selain ketetapan yang ada dalam kontrak.     

Melihat ibu Gayatri yang berharap dengan penuh ketulusan. Gadis ini hanya bisa mengangguk, anggukan yang menenangkan. Sebuah cara dan kebiasaan yang sering dia berikan kepada keluarganya. Kini mereka, para anggota keluarga Djoyodiningrat juga bagian dari keluarganya.     

.     

.     

"Hendra.. apa kau tidak mengangkat telepon dari oma mu?". Surya menyusup tergesah-gesah setelah berulang kali mendapatkan pesan singkat dari nenek atasannya.     

"Tidak ada yang penting abaikan saja..".     

"Abaikan kau bilang?". Surya mengambil paksa Handphone atasannya, membuka pesan dari oma Sukma dan meletakkannya di hadapan cucu tunggal pemilik Djoyo Makmur Grup.      

Masih tidak peduli, lebih asik melihat jurnal-jurnal Achievement progres perusahaan. Kemarin, karena kesibukan persiapan pernikahan dirinya tidak ikut andil dalam final tutup buku seluruh anak perusahaan DM Grup. Hari ini dia perlu memeriksa semuanya.     

"Istri mu belum mau makan hingga sekarang, dia masih mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar dan tidak mau makan".     

"Aku bahkan baru pertama kali mendapat ancaman dari nenek mu, mendesak ku supaya bisa membujuk mu menemui nona Aruna. Nenek mu takut dia akan sakit".     

Hendra spontan menghentikan pekerjaannya dan mulai memegangi kepala.     

"Apa orang-orang Wiryo masih ribut diluar sana".      

"Ya, tentu saja. Mereka keras kepala seperti tuannya".     

Hendra menanyakan para ajudan kakeknya yang masih mencoba dan berusaha menangkapnya. Keributan tidak terelakkan di Lobby lantai 5 Djaya Ritz Hotel. Lobby kantor pusat DM Grup antara satpam termasuk para pengawal yang setia pada Hendra dengan orang-orang Wiryo.     

"Suruh mereka bubar aku akan kembali ke rumah induk!". Seorang laki-laki dengan status barunya berdiri mengais handphone dan merapikan diri.     

"Apa yang terjadi pada nona??. Aku tidak ingin ikut campur. Tapi melihat ekspresi mu seperti ini aku jadi makin khawatir". Sekertaris ini mengiringi langkah tuannya, meminta seseorang segera menyiapkan mobil untuk mereka.     

"Andai aku bisa mengendalikan diri ku, oh' aku sangat menyesal".     

"Tunggu?! Apa yang kau lakukan padanya?". Surya bahkan menarik lengan Hendra meminta keterangan.     

"Kau tahu setiap hal yang berhubungan dengan Aruna membuat ku gila".     

"Jangan menatap ku, seolah aku seorang penjahat". Hendra menarik tangannya dan mulai berjalan kembali.     

"Hendra aku tidak ingin ikut campur, sungguh!. Tapi gadis itu sangat polos dan dia terlalu baik untuk mendapatkan perilaku buruk, aku sudah memperingatkan mu berulang kali".     

"Aku lebih tahu dari mu". Hendra berhenti menatap sekertarisnya. Layaknya dua orang kakak adik yang sedang berdebat.     

"Kau bisa bertahan dingin kepada Tania yang menempel terus-menerus pada mu atau perempuan-perempuan bule yang sering menjebak mu. Apa bedanya dengan anak kecil itu??".     

"Bagaimana pun juga aku adalah laki-laki normal secara biologis. Apa yang aku harapkan di malam pertama ku selain menyentuh istri ku??".     

"Dan dia.. ah' entahlah.. aku lebih menyesal dari mu Surya". Laki-laki ini memegangi pelipisnya, terlihat kacau.     

"Buatkan aku jadwal bertemu Diana hari ini, sepertinya orang tua kaku itu marah karena dia tahu aku mengabaikan jadwal konsultasi Diana". Hendra melirik jam di tangannya. Memijat pelipisnya menyadari Aruna belum makan hingga mendekati pukul 6 sore.     

"Kau ingin dia menemui mu di jam berapa?".     

"Entah lah aku pun tidak tahu.. aku perlu memastikan aku bisa berjumpa Diana atau timnya sebelum tidur malam".     

Hendra merebahkan dirinya pada kursi Bentley continental, sesaat setelah meminta supir di depan bergerak lebih capat.     

.     

.     

"Hendra?!". Oma-nya berjalan mendekat.     

"Aku belum ingin bicara dengan anda oma.. biar aku menemuinya terlebih dahulu". Hendra tergesah-gesah menaiki tangga lantai dua. Menuju kamar besar miliknya dengan Aruna.     

"Kalian, masuk dan pastikan dia tidak tidur atau berbaring". Meminta pelayan memenuhi permintaannya.     

.     

Pelayan yang menyusup menggerakkan tubuh mungil Aruna. Gadis ini mulai lemas dan bergerak lambat.     

"Tuan muda ada di depan pintu, duduklah nona dia akan segera masuk jika nona berkenan duduk". Aruna tidak banyak bicara, dia nurut saja.     

Dua buah daun pintu besar dengan ukiran khas Jawa membuka perlahan memperlihatkan suaminya yang melangkah masuk dan pintu ditutup kembali.     

"Argh!!".     

Aruna mengernyit mendapati Hendra sempat tersentak mundur melihat dirinya.     

"Baju siapa yang kau gunakan?!". Pernyataan pria itu di sambut perilaku datar, Aruna memegangi dan melihat baju yang menempel pada dirinya sendiri. Tidak banyak tenaga yang tersisa untuk menjawab.     

"Ah' lupakan itu tidak penting". Mata biru meraih kursi dan nampan makanan. Menggeser-nya kursi dan meletakan nampan pada nakas dekat ranjang, dan memastikan dia duduk di posisi yang cukup untuk mendekati Aruna. Perempuan itu sedang duduk bersender di tepian bed.     

"Bisakah kau menyiksa ku dengan cara lain selain tidak mau makan?".     

"Aku tidak punya banyak cara supaya kau datang menemui ku".     

"Kau pasti mengabaikan panggilan dan pesan ku kan? Seandainya aku melakukannya?!".     

"Aku tahu kau orang yang seperti itu". Suara Aruna lambat, tapi tidak berani menatap wajah lawan bicaranya.     

"Baiklah aku sudah ada disini, buka mulut mu. Ayo makan!". Hendra mengambil mangkuk di atas nakas, membuat Gerakan kecil menyendok secukupnya bubur yang disiapkan untuk Aruna.     

"Aku menginginkan sesuatu lain". Aruna belum berniat makan. Gadis ini menatap Hendra membuat permohonan.     

"Sebutkan!".     

"Aku ingin pulang sehari…".     

"Prak!". Hendra meletakkan dengan kasar mangkuk yang tadi dia pegang.     

"Tidak!".      

"Hanya sehari Hendra".     

"Tidak! Aku bilang tidak!".      

"Aku hanya ingin mengambil baju dan barang-barang ku di rumah ayah".      

"Aku bilang tidak! Baju atau apalah itu bisa aku beli puluhan kali lebih banyak".     

"Kenapa? Kenapa kau begini". Mata Aruna memerah.     

"Apalagi?!". Suara Hendra meninggi.     

"Tentu saja aku takut kau pergi dan tidak kembali kepada ku!". Memekikkan telinga.     

_Ah' dia ngomong apa?_ Aruna lamat-lamat menemukan wajah suram bercampur perasaan khawatir pada diri Hendra, teraduk jadi satu. Aruna menyadari dirinya lah yang harus lebih merendah, mengalah, mencoba menenangkan amarah pria yang meledak-ledak didepannya.     

"Kau bisa ikut dan mengawasi ku. Aku hanya ingin menginap sehari mengambil barang-barang ku".     

"Sepenting apa barang-barang itu, aku bisa membelinya". Tak mau ambil resiko.     

"Bukan masalah bisa beli atau tidak, aku ingin mengisi ruangan ini dengan benda-benda yang dekat dengan ku. Supaya aku merasa tidak asing di kamar ini".      

"Aku mohon Hendra, ijinkan aku". Suara Aruna lebih rendah, lembut berupaya mencairkan hati lelaki yang mengeras ini.     

"Kemarilah!". Pria ini mendekat memeluk Aruna.     

"Jangan menyiksa ku dengan tidak mau makan, minta pulang atau menangis lagi setelah ini. OK!"     

Aruna mengangguk dalam pelukan.     

"Pernikahan kita akan sangat sulit, bahkan lebih sulit dari semua hal yang kau pikirkan. Tapi ingat satu hal, tak akan pernah ku lepaskan sesuatu yang sudah ku genggam. Kau mengerti sekarang maksud kata-kata ku?!"     

Aruna mengangguk sekali lagi.     

"Aku bahkan akan memaksa mu tetap disisi ku walau kau memohon untuk pergi". Hendra mengelus rambut Aruna. Entah apa yang menyergap mereka, keduanya sempat melupakan perjanjian yang mereka sepakati.     

Lelaki bermata biru kembali meraih sendok dan meminta Aruna membuka mulutnya.     

"Kau dapatkan baju itu dari siapa?".      

"Ibu Gayatri yang memberinya untuk ku. Aku mendapat banyak dari beliau, ternyata baju-baju lamanya berukuran sama dengan ku".     

Hendra sempat berhenti menyuapi Aruna.     

"Em.. ada apa??".     

"Kau boleh menerimanya tapi tidak untuk memakainya. Kemas yang dia berikan, akan ku belikan baju yang lebih baik dan baru".      

"Tapi bajunya benar-benar masih bagus.. bahkan beberapa dia bawa dari USA, sangat cantik. Seperti selera mu".     

"Kamu ingin melawan perintah ku lagi??". Hendra memasang wajah suramnya kembali.     

Aruna tidak ingin bertengkar, mereka baru saja berdamai. Gadis ini menggelengkan kepalanya.     

"Hendra.. apa aku diijinkan tidur di kasur malam ini?".     

_Hari ini giliran ku tidur di sofa, masak dia tega?!_     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.