Ciuman Pertama Aruna

Membayar Lunas



Membayar Lunas

0"Huuh'". Lelah dengan kekonyolannya sendiri yang terpejam mencari-cari anak kecil bernama Aruna. Ini seperti permainan anak-anak. Dia lupa namanya apa, namun dirinya sadar seorang CEO yang di hormati ribuan karyawan berakhir menyedihkan pada malam pertama.     

_Ah' iya bukankah ini malam pertama ku.. Yah kalau aku normal_ Menyadari syndrom memuakkan yang dia derita, pria ini kembali meraba-raba dimana istrinya berada.     

"Aruna.. Tolonglah aku..". Beberapa benda dia tabrak menimbulkan bunyi nyaring sudah, jatuh bersuara keras sudah, memanggil sudah. Sayang istri mungilnya terlanjur kelelahan dengan pesta tadi pagi jadi dia terlelap.     

_Oh, ini bukankah pintu keluar?_ Hendra menyadari arahnya membelok terlalu jauh. Nah, tinggal menyusuri dinding lalu berbalik saat mendapati tv LCD.     

Dengan konyolnya dia benar-benar menuruti instingnya.     

Akhirnya selimut tebal dari ranjang yang dia inginkan sampai juga di telapak tangannya.     

_Sial.. Sial.._ Merasa sebal dengan diri sendiri. Menarik selimut sebanyak yang dia bisa, merangkak mencari-cari tubuh gadis mungil yang perlu dia bangunkan.     

"Pluk". Memegang sesuatu.     

_Eh apa ya ini?_ bulat, sekepal, kenyal dan lembut?. Dia berfikir keras. Menekannya beberapa kali dan mencoba membuat sketsa dari diskripsi benda yang dia pegangi dalam mata terpejam.     

_Aku tidak punya bagian tubuh seperti ini??_     

"AAAARGH…..!"     

"Aaaargh…!!". Aruna berteriak sejadi-jadinya.     

Ketika mata Hendra terbuka dia sudah mendapat pukulan membabi buta yang dilayangkan oleh gadis mungil yang baru tadi pagi bersetatus sebagai istrinya.     

Bantal di tangan istrinya sempat robek menghamburkan bulu angsa berjatuhan menerpa seluruh sisi permukaan ranjang.     

"Pria mesum pergilah sejauh-jauhnya". Gadis mungil ini bahkan berani menendang bokong Hendra.     

Sang lola sungguh tak tahu salahnya dimana.     

Aruna mengambil bantal lain.     

"Hais!". Hendra mengamankan bantal yang akan digunakan untuk menyerangnya.     

"Hentikan Aruna!".     

"Beraninya kau meneriaki ku!". (Aruna)     

"Kau..?! beraninya kau memukuli ku!". (Hendra)     

"Kau.. yang mulai!". (Aruna)     

"Aku?.. Aku, kau bilang?!. Bukankah kau yang melanggar aturan".     

"HAH!! Aturan tidur ya…?!! Aku sudah menunggui mu 30 menit. Kalau aku tidak sengaja tertidur apa itu masuk dalam pelanggaran!".     

"Ya tentu saja!".     

"Kau manusia yang tidak manusiawi..!!".     

"Yach! Tepat! aku memang begitu!".     

"Apa kau tidak sadar pelanggaran yang barusan kau lakukan lebih besar!". Aruna memasang wajah mengancam. Tidak menakutkan sich, cuma mirip anak kecil marah karena snecknya di curi teman. Begitulah benak Hendra melukiskannya.     

"Memang aku ngapain?". Hendra merasa tidak bersalah.     

Dalam benak Aruna manusia didepannya terlukiskan sebagai laki-laki : berkepribadian ganda, iblis dengan visual malaikat, manusia paling aneh di muka bumi, atau jangan-jangan Hendra benar-benar alien yang terdampar.     

"Kau memegangi ini ku (menunjuk benda bulat di dada) dan memasang tampang malaikat! Wao.. wao.. kau memang iblis terhebat!". Aruna masih berdiri di atas ranjang mengancam lelaki bermata biru yang tersungkur karena dia pukuli bahkan sempat di tendang beberapa kali.     

"Oh jadi benda itu yang tadi ku pegang". Bicara sendiri.     

"36D memang besar ya.. sedikit kenyal hehe". Mukanya memerah seperti tomat, bahkan telinga Jawa-England ikut memerah.     

Melihat ekspresi manusia aneh senyam-senyum tak jelas, membuat Aruna risih. Gadis ini melangkah mengambil guling berniat menghajarnya lebih kejam.     

"Berhenti". (Hendra)     

Aruna sudah mengangkat guling dan siap menghajarnya.     

"Ingat.. aturan memegang bulatan itu, tidak ada dalam MOU".     

"Hehe". Pria ini menyembunyikan wajahnya tertawa cengengesan sendiri. Menggelikan dan tidak tahu diri, di saat sang istri menyusut kalud seperti balon bocor lalu kempes.     

Gadis mungil ini menjatuhkan gulingnya, terduduk pasrah merasa seluruh hidupnya akan suram.     

"Harusnya aku memperjuangkan tambahan poin 21 lebih awal". Aruna menyesali keterlambatannya.     

"Baiklah..". Dia bersemangat, merapikan kuncir kudanya. Menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, seperti akan berperang.     

Hendra menatapnya lekat. Aruna menjelma menjadi cobaan luar biasa. Dia terduduk dengan hem putih lengan panjang miliknya. Dan baru menyadari sesuatu di balik kain putih itu demikian menggoda. Boxer hitam hampir menghilang tersikap karena perbedaan ukuran yang mencolok, tinggal.. Ah' Hendra menelan ludah betapa menariknya paha gadis didepannya. Beberapa kali menghembuskan nafas menjaga gejolak hormon testosteron pada posisi standar sehingga libido-nya terjaga. Pria normal secara naluri biologis, walau pun sedang bermasalah dalam psikologis.     

_Gila! jika terus begini. Bisa-bisa aku menerkamnya_     

"Kemarilah!. Akan ku bayar lunas KOM PEN SA SI tambahan poin 21". Kata kompensasi dia patah-patahkan agar pria didepannya tidak pura-pura lupa. Bahwa seorang CEO gila pernah mengendusnya di kamar hotel pribadi untuk kompensasi tambahan poin 21. Atau hidungnya berdarah karena mendesak kompensasi tambahan poin 21.     

Hendra memejamkan matanya _Kalau aku tak bisa menahan diri jangan salahkan aku_     

"Apa?? Jangan bilang kompensasinya berubah.. masih ciuman di bibir kan?!". Aruna memastikan setelah melihat suami kontraknya memejamkan mata terlihat berfikir.     

"Ya..ya.. Ya!". Hendra menjawab ngasal, antara takut kebablasan dan dia tak bisa menolak tawaran menggiurkan itu.     

"Kemarilah…". Aruna tampak berapi-api karena dia jengkel dengan sentuhan aneh tadi dan siap membentengi diri menggunakan MOU terbaru. Sayang perempuan belum genap 20 tahun ini terlalu polos memahami libido laki-laki dewasa. Menggerakkan telapak tangan kanannya 'sini' menantang meminta Hendra mendekat.     

"Sebentar.. aku perlu mempertimbangkannya". Hendra mulai jahil.     

"Apa??". Aruna syok. Masih saja perlu berfikir.     

"Sederhana.. berikan aku bonus tambahan, hehe. Karena kamu mengolor-ngolor pelunasan kompensasi mu". Pernyataan pria ini seperti perbincangan bisnis.     

"Bonus?? Apa lagi sekarang".     

"Setelah ini panggil aku mas Hendra, atau sayang ku, Ee.. cinta ku juga boleh, atau my Bebeb".      

"Hii.. ngeri.. NGGAK MAU!".     

"Yach.. terserah.. aku juga nggak mau". Dia tersenyum jahil.     

"Kalau di depan orang saja ya..".     

"Baik.. my litte darling..". (Hendra)     

"Hendra sumpah jangan panggil aku begitu..". Pria itu merangkak mendekati istrinya.     

"Panggil saja aku Aruna.. itu sudah cukup". Hendra mulai menyentuhkan jemarinya pada pipi Aruna. Memandangi gadis yang membuatnya tergila-gila, penuh Hasrat. Sungguh lawan bicaranya tidak mengerti. Entah kondisi ini sebuah keberuntungan atau kerugian.     

"Kalau kau memanggil ku aneh-aneh.. serasa bulu kuduk ku berdiri.. ngeri tahu!, bikin merinding saja". Pria ini bahkan telah memeluk Aruna. Menarik, mendekap tubuh gadis yang terduduk di tengah-tengah ranjang lebih dekat pada tubuhnya. Kaki Hendra mengapit kedua paha bersimpuh milik Aruna.     

"Kau akan memanggil ku apa??".     

"Mas Hendra saja ya..".     

"Apa? Aku nggak dengar". Jemarinya menyusup kedalam sela-sela rambut, melepas kuncir kuda Aruna. Aruna paling mempesona ketika rambutnya yang bergelombang itu jatuh terurai dan bergerak-gerak.     

"Mas Hendra".     

"Boleh ditambahkan sedikit agar aku mau menuruti keinginan mu". Menatap lekat wajah Aruna, mengelus pipi dengan ibu jari, bahkan ibu jarinya sempat beberapa kali mengusap bibir Aruna.     

Aruna menyatukan alisnya.     

"Aku harus menahan diri ku selama pernikahan tanpa sentuhan fisik, bukan kah aku boleh meminta lagi bonus tambahan yang menjanjikan". Hendra perlahan menyadari dirinya akan kehilangan kendali.     

"Sebut.. Mas Hendra ku sayang".     

Bibir Aruna manyun tidak mau.     

"Sekali kau sebut, aku akan memberikan keinginan mu".     

Membuang muka, tidak mau menatap suaminya.     

Berfikir sejenak. Menimang sesuatu, menimbulkan gejolak menyiksa bagi lawan bicaranya.     

"Baiklah..". Akhirnya kalimat yang terdengar seperti mantra dari surga terhembus dari mulut merah memabukkan.     

"Lihat aku..".     

Gadis pembawa kegilaan sempat menatap dengan mata mengancam.     

"Mas Hendra ku Sayaaa.. ah'.. Hen.."     

CEO dingin dan terlegitimasi arogan. Terlena, hanyut dan hilang kendali.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.