Ciuman Pertama Aruna

Omong Kosong



Omong Kosong

0Sang CEO mengetuk-ngetukkan tangannya dipipi, minta sesuatu.     

Spontan Aruna menyingkir menjauh ditepi mobil. Dia mulai diserang rasa muak. Laki-laki semua sama. Ya, sama-sama tidak tahu diri. Terutama yang berada disampingnya.     

Hendra menoleh mengamatinya. Mengetahui si dia menatap jalanan dan tidak peduli dengan dirinya, Pria ini menjadi lesu dan pasrah tidak berdaya.     

"em.. Aruna?".     

Detik berikutnya gadis ini tidak bisa diajak bicara.     

_Apa aku terlalu memaksanya?_     

_Bukankah seharusnya aku yang marah? mengapa sekarang aku yang malah merasa bersalah?_     

CEO DM Grub jadi serba salah dan salah tingkah.     

.     

.     

"Turunkan aku disini!. Perempatan didepan dekat dengan rumahku. Aku tinggal pesan OkJek".     

"Tidak!. Aku antar kau sampai rumah. Tidak ada pulang sendiri, apa lagi berhenti dipinggir jalan!".      

Aruna berbalik menatapnya. Tatapan jutek tidak mau diajak kompromi.       

"Ingat.. Jangan akhiri pertemuan kita hari ini dengan pertengkaran!, besok kita harus prewedding jaga emosi kita masing-masing".     

_Ah bijak sekali dia kali ini_ Aruna masih tidak mau bicara.     

.     

.     

Gadis ini akhirnya keluar dari mobil sambil berlari menyusup ke dalam gerbang rumahnya. Tidak berpamitan, padahal Hendra paling senang kalau mendapatkan sesi pamintan dengan Aruna.     

"Menurut kalian mengapa calon istri ku marah?". Hendra masih payah.      

"Mungkin dia lagi PMS tuan?". Jawab ngasal, tidak tahu apa yang terjadi dikursi belakang.     

"Apa itu?". Pertanyaan paling pelik ketika harus dijawab sesama lelaki.     

Apa itu PMS? dan mengapa berbahaya? sama-sama tidak ada tahu. Namun, langganan menjadi kambing hitam.     

"Lain kali anda harus menanyakannya kepada perempuan, karena kita pun juga tidak tahu. Hanya saja kalau ada perempuan marah biasanya karena PMS?". Jawaban yang membingungkan. Karena si pemberi informasi juga bingung.     

"Istilah yang menarik, coba aku cari tahu lain kali". Mata biru penasaran dalam ruang pikirnya yang lugu.     

***     

Hari ini, H-9 pernikahan akan dilangsungkan. Tidak ada kesibukan berarti dikeluarga Lesmana. Belakangan putri bungsu keluarga ini menyadari. Anggota keluarganya tidak ingin menambahkan beban pada putri kecil keluarga Lesmana.      

Pernikahan ini bukan kehendak dari Aruna, termasuk kehendak seluruh anggota keluarga. Dicukupkan saja gadis kecil mereka menghadapi akad dan pesta pernikahan yang diselenggarakan keluarga mempelai pria.     

Hari-hari yang hening, tidak hanya untuk Aruna. Namun telah menyerang seluruh anggota keluarganya. Ayahnya bahkan kesulitan menyapa dirinya. Bundanya lebih banyak memeluk dan beberapa kali menghindar. Mereka terjebak rasa bersalah.     

"Jika pernikahan sudah dilangsungkan, jangan sekali-kali memaksa putri ku melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan". Kalimat tersebut terus saja dilayangkan pada komunikasi antara calon mertua dan menantu.     

Hendra memberi jawaban konsisten, bahwa dia tidak akan menjaganya dengan baik dan tidak akan memaksakan apapun. Hendra menyadari Lesmana begitu khawatir.     

"Sekarang aku masih terikat perjanjian, Setelahnya akan ku awasi kamu dengan benar". Ancaman ini juga sering dia layangkan. Dan Hendra cukup mendengar saja. Berusaha melihat dari sudut pandang Lesmana. Dia kini lebih pandai bersabar.     

***     

Di hari prewedding mereka, Aruna sempat ternganga dengan apa yang dia dapatkan. Mereka mengambil sesi foto cukup dirumah induk Djoyodiningrat. Taman yang pernah dia tangkap dari jendela menjulang pada ruangan hangat keluarga ini.     

Terdapat danau indah dan pohon-pohon berdiri kokoh. Beberapa sisi mulai dirapikan. Hendra bilang disinilah akad akan dilangsungkan. Semacam prosesi out door dan hanya akan diikuti keluarga dekat serta teman-teman dekat saja.     

"Berapa yang akan kamu undang?". Pertanyaan itu tidak terjawab.     

Aruna lama berfikir karena tidak pernah memikirkannya.     

"Entahlah.. Tanya ayah saja". Jawab singkat tidak tahu harus ngomong apa.     

"Yang dari ayah mu sudah masuk list kami. Sekarang giliran mu!". Alis Hendra sedikit menyatu.     

"Teman-teman Surat Ajaib saja, 6 orang".     

"Oh maaf, 5 orang".     

Dia perlu meralat Damar, pemuda itu tidak akan sanggup datang. Aruna telah banyak mengabaikan telephon dan pesan WhatsApp darinya. Sedikit menyiksa, tapi demikianlah jalan terbaik saat ini.     

.     

.     

Raut muka Aruna tertangkap murung.     

"Tersenyumlah nona". Para fotografer mulai kesusahan.     

Aruna berada ditengah-tengah danau dengan perahu rakit berisikan bunga-bunga putih berpadu dengan nuansa kemerah-merahan. Warna yang menghangat, termasuk gaun yang dia kenakan. Lebar, ringan mengembang seperti bunga yang baru mekar menutupi seluruh rakit. Indah, mirip peri yang baru keluar dari setangkai bunga atau malaikat yang diturunkan dari langit oleh para dewa.     

Selera Hendra memang tidak bisa biasa saja. Sayangnya semua kru terganggu dengan wajah murung yang disuguhkan pemeran utama.     

"Tepi kan rakitnya, biar aku bicara!". Hendra mencari celah meredam kepayahan para fotografer dan kru-nya.     

"Lihat aku!. Kenapa? Ada apa? Bilang saja!".     

"Kalau kamu tidak suka kita ganti konsepnya". Hendra berusaha membujuknya dengan caranya yang to the point'.     

"Huuh". Gadis ini hanya membuang nafas. Tidak ada yang  tidak disukai, hanya gundah hati yang menyiksa demikian dalam. Dia tidak menginginkan pernikahan kontrak ini. Mata biru sama sekali tidak menyadari.     

"Aku mau minum". Pintanya.     

"Tolong ambilkan minum!".     

Ketika minuman telah sampai ditangan dia meneguknya perlahan. Memukul ringan dadanya yang demikian sesak.     

"Huuh.. Ini konsekuensi yang harus aku jalani bukan?! Baiklah aku harus bekerja dengan benar". Meminta kembali kepada posisi semula. Dia benar-benar tersenyum. Namun senyum yang dipaksakan pada semua sesi pemotretan.     

"Tuan, anda harus puas dengan hasilnya, tidak cukup buruk tapi juga tak bisa memuaskan".     

_Ah' dia tertekan lagi_ Hendra baru menyadari pernikahan ini menjadi beban berat untuk gadis itu setelah menatap tiap moment yang tertangkap kamera.     

Hendra mendekati gadis yang duduk melamun pada kursi portabel, terletak dibawah pohon.     

"Kamu memikirkan apa?". Dia memecah kekosongan Aruna.     

"Kau takut dengan ku atau dengan pernikahan ini?". Pria ini menanyakan sesuatu yang tidak pantas dipertanyakan secara lugas.     

Aruna hanya diam.     

"Jawab saja. Kita jarang punya kesempatan saling bertukar pikiran bukan?!".     

Aruna menatapnya sesaat.     

"Keduanya". Jawaban gadis itu lirih hampir tidak terdengar.     

"Sudah ku duga, Maaf mungkin aku sudah banyak berbuat salah padamu. Tenanglah, aku akan berusaha baik setelah ini".     

"Apa yang kau takutkan?". Dia penasaran.      

"Semuanya".     

"he..". Sempat tersenyum dalam sesal.     

"Diskripsi tentang diriku diotak mu sangat buruk sepertinya. Bisa kau sebutkan". Pria ini pandai sekali mencari celah untuk mengungkap detail sesuatu yang tersembunyi. Hampir sama dengan caranya mengintrogasi karyawan-karyawannya.     

"Em.. apa aku harus jujur?".     

"Ya!". Mata biru meletakkan siku tangan pada pegangan kursi. Dan tangan itu menyangga kepalanya dengan sempurna. Mengarahkan pandangan serta wajah rupawan kepada korban pencurian ciuman pertama.     

Aruna terlihat ragu, melirik sebentar mengumpulkan keberanian.     

"em.. kamu.. Kasar, pemarah, suka semaunya sendiri, ane..". Belum selesai penjalasan gadis ini. Bibir mungil merah bergerak-gerak itu, menggoda seseorang.     

Mata biru meringsek meraih apa yang dia inginkan dan mulai lupa diri.     

"Uh' hen..". Meraih kepalanya, menjambak dan memukul-mukul Hendra. Lelaki ini tidak bergeming. Membenamkan Aruna dalam pelukannya. Membuat orang-orang yang tersisa tertegun melihat perilaku mereka.     

"Haah.. haah..". Aruna merah menyala dalam kemarahan, dia diperlakukan buruk sampai detik-detik terakhir mendekati hari pernikahan mereka.     

"Plak!". Hendra mendapat tamparan kasar, membekas kemerehan dipipi.     

Tidak bisa marah menyadari dia pantas menerimanya.     

"Aku membencimu.. sangat sangat benci..!!". Tidak bisa mentoleransi perilaku absurd CEO gila kali ini. Mendorong, meminta ruang untuk pergi.     

"Bagaimana jika diskripsi diotakku, kau adalah gadis naif pencuri hatiku yang membuatku tergila-gila".     

"Kau sudah gila sejak awal!". Aruna membuat dorongan kasar pada dada pria didepannya. Terlanjur marah, perempuan ini menganggap omongan yang keluar dari mulut mata biru ialah sampah.     

"Minggi..r!!". Aruna memukul dadanya lebih kasar.     

"Apa aku bisa mendapat kesempatan?". Terlalu fokus dengan keinginannya sendiri.     

"Mengingkirlah dari hadapanku!!". Aruna membuat pukulan lebih kasar, beberapa kali, berpadu dengan kemarahan dan air mata.     

Dia tidak terkendali menumpahkan semua rasa lelahnya mengisak dan memukul lebih kejam. Terlalu lelah menghadapi lelaki bermata biru perebut impian-impian masa mudanya. Tiga bulan lalu dia datang membawa perjanjian pernikahan kontrak dan hari ini dia mengutarakan omong kosong bersama perilaku kasar yang dipaksakan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.