Ciuman Pertama Aruna

Praktek



Praktek

0"Hendra lihat! Foto-foto ku cantik kan?".     

"Ya.. Sangat cantik".     

Tanpa disadari pipi gadis itu merona kemerahan seperti arti namanya.     

"Hendra apa kamu masih lama". Gadis ini berbisik lagi dengan suara rendah.     

"Sepertinya..".     

"Aku tadi dijemput terlalu pagi sama pak Surya, aku juga gugup saking senengnya. Trus' lupa, belum sempat sarapan".     

"Kamu lapar?".     

Aruna mengangguk mengiyakan pertanyaan Hendra. Hendra melihat jam ditangannya pukul 11.04, masih butuh satu jam lagi untuk jamuan makan siang. Toh, perbincangannya dengan Riswan belum usai. Hendra perlu membagi perhatiannya pada gadis yang merengek kelaparan.     

"Pergi temui pengawal ku, mereka akan membantu mu mencarikan sarapan".     

"Nggak mau!".     

"Lho kenapa??".     

"Pokoknya aku nggak mau menemui mereka sendirian"     

_Mereka menyembunyikan pistol di dalam jasnya, mengerikan_     

"Ayo lah.. masih ada pembahasan yang perlu kami selesaikan".     

"Aku bilang.. aku nggak mau..".     

_Mereka menatap ku dengan tatapan menyebalkan, sejak kejadian di rumah Damar_     

"Harus dengan ku nih?". Entah kerasukan apa lelaki ini, perlahan melemah berusaha untuk mengendalikan dirinya di hadapan Aruna. Dia sadar pesaingnya pasti sangat luar biasa memperlakukan Aruna. Jadi dirinya tidak boleh kalah sabar.     

"IYA!". Aruna bersih kukuh.     

"Merepotkan seperti anak kecil..". Hendra melempar ejekan jengkel. Kadang dia pun tidak tahan.     

"Siapa suruh mengajak ku".     

"Tapi kamu senang kan??".     

"Iya, iya.. aku senang., Tapi aku juga lapar..".     

Melihat muka masam yang dipasang Aruna, Lelaki ini tidak bisa lagi mengabaikan.     

_Ingat Hendra.. Ayo.. Memahami sudut pandang Aruna.. Sabar.. Sabar_ Meredam, dan mencoba mengingatkan diri sendiri. Sepertinya petuah tutor cinta dadakan dari Dr. Nathasya telah membawa pengaruh.     

Mata biru berdiri minta ijin kepada Riswan untuk undur diri sebentar.     

"Apakah ada yang kalian butuhkan?". Tapi walikota tersebut malah menawarkan bantuan. Cukup tidak sopan untuk mengutarakan maksud yang sesungguhnya. Keduanya saling bertatapan bingung harus bagiamana.     

"Emm.. my little darling menginginkan sesuatu, aku antar dia dulu".     

"APA??". Gadis itu terkejut bukan main. Dari mana CEO bermulut tajam belajar ngomong 'My Little Darling'. Diri Aruna tersentak dia merinding geli, segeli-gelinya. Sekujur tubuh rasanya baru digelitik. Andai dia bisa, gadis ini ingin mencekiknya, dia syok. Kalau perlu menggilingnya di blender, sekalian saja jadi segelas jus. Lumayan bisa untuk pengganjal rasa lapar.     

Detik berikutnya Aruna mencari celah supaya bisa mencubit Hendra. Cubitan tersembunyi agar tidak ditangkap Riswan.     

"Au.. A. a..". Hendra merintih lirih. Menangkap tangan Aruna yang bersembunyi di balik jas-nya.     

"Saya ijin sebentar saja". Mata biru tersenyum ramah, menyembunyikan pertikaian kecil mereka. Mengapit tubuh mungil Aruna dengan lengannya.     

"Beraninya mencubit ku?! Sudah bosan hidup..?! Seharian merengek minta ini itu.. Untung suasana hati ku sedang baik hari ini".     

_Kalau bukan karena petuah Nathasya tak mungkin aku sesabar ini_     

"Siapa suruh memanggil ku dengan sebutan menggelikan seperti itu!!". Suara Aruna meninggi.     

"Di depan walikota lagi!, Mulut mu benar-benar menakjubkan". Aruna jengkel berusaha melepaskan diri.     

"Katanya perempuan suka dengan kata-kata manis, terlebih panggilan sayang??.. aku kan cuma praktek". Hendra terlihat bingung karena Aruna malah marah-marah padanya. Lelaki ini terlampau payah.     

"Praktek?? Kau bilang kamu praktek? Ya.. tuhan aku atau kamu yang lebih tua.. kenapa kamu kayak anak ingusan!".     

"Hendra siapa yang mengajari mu ngomong aneh kayak gitu?!". Aruna memojokkan mata biru, dia sudah lupa lapar malah bersemangat membully CEO DM Grup yang mendadak lesu seperti kucing kecebur air.     

_Aku yakin kosa kata 'my little darling' tidak ada di otaknya. Atau jangan-jangan novel yang berjatuhan di rumah sakit kemarin sudah mencemari otaknya_     

"Hendra jangan baca novel lagi!, aku rasa kamu jadi aneh karena itu". Aruna terlihat berfikir keras dan itu imut dimata Hendra.     

"Baiklah sayang..". Lelaki itu tersenyum berharap maaf dari Aruna. Pujian cantik sudah berhasil tadi, mungkin saja sapaan sayang juga akan berhasil kali ini. Logikanya seolah sudah tersusun sempurna.     

"Kau? Hendra Kau!! Kau benar-benar menggelikan…!!"     

"Aargh.. Aku membenci mu…". Aruna benar-benar marah kali ini.     

"Kenapa kamu malah marah..??". Lagi-lagi dia payah. tidak tahu salahnya dimana dan harus bagaimana.     

"Aruna aku sudah minta ajudan ku membelikan mu makan.. ayo kita makan di mobil..".     

"Nggak! Aku nggak lapar!". Gadis itu cemberut, tak mau lagi mendengar kata-kata Hendra. Dia menutup telinganya setelah menyadari CEO gila merayunya agar mau makan.     

Terlalu merinding, telinganya tidak sanggup mendengar kata-kata pewaris tunggal Djoyodiningrat.     

***     

"Krieeek". Suara membuka pintu.     

Sesaat berikutnya tas terjatuh diatas sofa kemudian mencari-cari makan. Membuka pintu kulkas dan pintu-pintu lain disekitar pentry. Tidak menemukan apa-apa.     

Terdiam sesaat, lalu baru menyadari ada lemari kaca disisinya. Dia sadar disitu tempat makanan. Mengambil piring dan sendok termasuk beberapa makanan yang dia butuhkan kemudian mulai memakannya.     

"Sial!".     

_kenapa ada putung rokok disini, perempuan itu masih merokok?_ mendadak selera makannya menurun. Mengamati sekilas asbak dan mulai membuang putung rokok diatasnya.     

Pemuda itu mencuci tangan dan kembali makan.     

"Hah? Siapa.. siapa yang datang…??". Suara perempuan terdengar nyaring, sepertinya dia takut karena pintu depan terbuka tanpa konfirmasi pada pemiliknya serta terdengar suara samar di lantai bawah.     

Sedangkan pelakunya dengan santai menikmati makanan tidak peduli.     

Perempuan itu berjalan perlahan sambil mengendap-endap.     

"Pergilah..! pencuri..! atau kau akan ku pukul!". Sebuah sapu di acungkan kepada punggung lelaki jangkung.     

"Mituo (bibi) janganlah ganggu Uda makan..!". Pemuda ini sedikit berbalik menampakkan wajahnya lalu terlihat tidak peduli dengan wajah syok mai tuo (bibi) Maidah.     

"Uda…aa…". Perempuan itu melempar sapunya duduk dihadapan pemuda Padang yang asik makan.     

"Jangan melihat ku seperti itu, air liur mu sudah bisa aku minum". Lima menit terlewati, Mituo senyam senyum mengamati anak laki-lakinya yang menghilang cukup lama.     

"Aku akan telpun ibu HRD, dia pasti senang Uda datang..". Bibi Maida segera mengeluarkan handphone dari dalam kantong celemek yang dia kenakan. Terlihat jelas dia sedang bersih-bersih rumah.     

"Tak perlu, biar dia pulang sesuai jam kerjanya". Danu menyarankan.     

"Tidak.. ini adalah hari special yang dia nantikan berbulan-bulan".     

"Atau jangan-jangan Uda akan balik lagi setelah ini?? Ayolah.. beri kesempatan Amai mu menemui mu!". Perempuan itu mengharap.     

"Entahlah mungkin akan sedikit lama, aku sedang liburan". Pemuda ini kembali fokus makan.     

"Apa ibu HRD sudah berhenti bodoh??".     

"Tepat sekali. Uda harus memberinya apresiasi. Semenjak uda gak mau pulang, dia nyari-nyari kosan uda seperti orang gila.. eh tiba-tiba punya niat sembuh".     

"Kau tidak berbohong??". Kalimat mituo membuatnya terhenti dari aktivitas.     

"Tidak.. sama sekali tidak.. cek aja! Dirumah ini sudah tidak ada alkohol sama sekali, dia sudah sembuh kira-kira setahun".     

"Lalu apa itu?". Matanya mengarah pada asbak ditepian meja.     

"Hehe kalau itu sich dia masih belum bisa.. tapi seandainya uda mau pulang aku yakin rumah ini akan steril". Mituo bersemangat.     

"Aku harap dia kembali hidup normal". Pemuda ini sudah selesai makan. Dengan tangkas mituo mengambil dan membereskan mejanya.     

"Yach.. dia banyak berubah semenjak uda gak pulang kerumah.. banyak menangis dan menyesal.. tapi hidupnya lebih baik sich. Dia juga sangat bangga waktu uda sering muncul di Tv. Dia bilang sangat ingin menemui uda.. namun diurungkan.. takut mengganggu".     

"Aku rasa Danu kami terlalu jahat padanya..".     

Danu Umar terdiam mendengar ucapan mituo. Pemuda itu kembali meraih tasnya.     

"Tunggu! Tunggu!., Jangan.. jangan pergi!!". Maidah terlihat syok.     

_Ah' aku harus mengirim pesan lagi, biar dia cepet-cepet pulang. Ngebut tak masalah_ Mituo panik melihat Uda Danu mengambil tasnya.     

"Siapa yang mau pergi!. Aku Cuma mau mengambil ini buat Maidah". Menyerahkan kotak kecil berwarna hitam.     

"Apa ini?".     

"Buka saja..". Pinta Danu. Mata perempuan paruh baya itu berbinar melihat isinya. Perlahan air melintasi sudut kecil pelupuk mata.     

"Terima kasih sudah menjaga bu HRD dengan baik".     

"Ah' Uda kau membuatku menangis.. ini terlalu berlebih..".     

"Huuuh". Mengelap air mata.     

"Pulanglah kerumah.. kau boleh tidak percaya.. Perempuan itu sudah banyak berubah".        


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.