Ciuman Pertama Aruna

Hipotesis



Hipotesis

0"Bagaimana perasaan anda sekarang?".      

"Ya.. lebih mendingan".      

"Jika anda membutuhkan sesuatu yang lain silahkan sebutkan saja!. Aku memang tidak seahli dokter Diana tapi aku juga psikiater, walau pemula aku lulusan terbaik dengan nilai cumlaude cukup menjanjikan untuk mendeteksi keluhan anda. Hehe". Perempuan itu tersenyum.      

"Apa kandungan obat ku? Apakah didalamnya mengandung benzodiazepine (obat tidur)?". Tanya Hendra.      

"Tentu saja tidak. Kami mempelajari kepribadian anda tiap saat, kami tahu anda tidak berkenan dengan obat-obatan yang mengandung benzodiazepine. Anda bisa baca sendiri, obat yang saya berikan adalah Amitriptyline". Jelas dokter muda, tim Diana.      

Hendra hanya mengangguk mendengar penjelasannya.      

(Amitriptyline adalah obat anti-depresan yang bermanfaat untuk mengatasi depresi. Obat ini membantu memperbaiki suasana hati (mood) dan meringankan kecemasan, sehingga dapat meningkatkan energi dan membuat orang tersebut lebih mudah beristirahat.      

Selain penderita depresi, amitriptyline juga digunakan untuk mengatasi gangguan makan, nyeri akibat infeksi herpes zoster, dan mencegah migrain.     

Amitriptyline bekerja dengan menjaga keseimbangan kadar serotonin dan norepinephrine dalam sistem saraf pusat. Dengan demikian, kinerja otak akan membaik dan gejala depresi secara berangsur akan berkurang).     

"Jika tidak ada lagi yang anda butuhkan saya pamit terlebih dahulu".      

"Boleh aku tahu kenapa kamu dan teman-teman mu tertawa saat aku meminta resep tentang rasa sakit didada ku, bukankah kalian bisa memberikan obat ini!!"     

Perempuan itu tersenyum, dia sudah berusaha menyembunyikan rasa gelinya. Tapi tidak sanggup. Dengan terpaksa menutup mata dan melipat mulutnya erat-erat. Tanpa sengaja senyum kecil masih tergambar.      

Tapi tuan muda didepannya memasang wajah dingin tanpa ekspresi.      

"Karena hal-hal semacam itu memang tidak ada obatnya. Aku saja sudah tahu sejak SD. Itu namanya cemburu. Hehe".      

"Sejak SD??". Hendra terkejut.      

"Mungkin karena anda berusaha menghindari kontak dengan perempuan karena sindrom yang anda derita, itu sebabnya anda terlambat memahami perasaan anda".      

"Artinya kau sudah dekat dengan lawan jenis sejak SD". Hendra menggerakkan tangannya, dia mengangkatnya dan memprediksi tinggi anak-anak Sekolah Dasar. Bermakna 'kau pacaran dengan tinggi badan segini'. CEO DM Grup tercengang.     

"hehe iya..". Wajahnya memerah, malu.      

"Tapi aku sekarang malah jomblo. Walau sudah banyak pacaran kisah cintaku sering berakhir berantakan. Sepertinya aku kena karma".      

"Bagaimana kamu tahu kalau kamu sedang jatuh cinta pada lawan jenis?".      

"Mudah saja.. seberapa banyak kita memikirkannya?!. Walau anda sulit memahaminya, dengan mendengar sesi konsultasi singkat anda bersama dokter Diana, saya sudah tahu anda benar-benar jatuh cinta pada calon istri anda".      

"Apa kau bisa membuktikan bahwa aku jatuh cinta?". Otak Hendra cenderung ilmiah. Seandainya obrolan ini adalah bagian dari sesi konsultasi dengan psikiater maka ucapan junior Diana adalah sebuah hipotesis. Hipotesis harus dibuktikan biar tidak berakhir sebagai omong kosong.     

(Hipotesis atau anggapan dasar adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena harus dibuktikan kebenarannya. Dugaan jawaban tersebut merupakan kebenaran yang sifatnya sementara, yang akan diuji kebenarannya dengan penelitian.     

Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang terjadi. Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut. Dalam upaya pembuktian Uji hipotesis, Peneliti dapat dengan sengaja menciptakan gejala, Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Hipotesis yang teruji kebenarannya disebut teori).     

(^_^ Dikutip dari : Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Hal.10 dan Uma Sakaran, Research Methods for Business: A Skill Building Approach, New York: John Wiley& Sons, 1992, page.7-19)     

Hendra butuh teori yang pasti dari pada omong kosong psikiater. Jika kasus Hendra adalah Hipotesis Komparatif maka tim Diana bisa memunculkan pertanyaan pembanding. Dan hendra akan menggunakan perasaan dihatinya sebagai data.     

"Anda terlalu cerdas, tepat seperti yang diungkapkan dokter Diana. Bilang saja anda ingin saya membuktikannya dengan cara bagaimana?". Tatapan mata biru itu penuh telisik. Perempuan ini tahu tuan muda tidak mau menerima pernyataannya begitu saja.      

"Baiklah kita mulai!".      

"Kau bilang dirimu lulus dengan nilai cumlaude bukan? Mari kita buktikan Hipotesis mu!".      

_Gila! Orang ini. Ah' pantas saja dia pernah terlibat eksperimen yang berbuntut panjang_     

_Tunggu!, post-traumatic disorder juga bagian dari gangguan stress kan?. Ah' anggap saja dia stress. Membuktikan cinta pakai analisis hipotesis segala_ dokter muda ini sedang menghibur dirinya sendiri, dia merasa tertekan dengan permintaan aneh Hendra.        

"Kita gunakan cara paling mudah saja. Hipotesis Komparatif!. Beri aku pertanyaan pembanding, tidak susah kan? Data yang kau butuhkan ada pada pernyataan ku. Aku akan jujur kali ini".      

Dokter yang baru selesai menempuh strata 2 tersenyum getir.      

"Hehe' ya.. ya.. mari kita coba".      

"Silahkan duduk!". Hendra mempersilahkannya duduk setelah berdiri cukup lama.      

"Emm…". Mata anak asuh Diana berputar-putar, giliran dokter ini yang terserang stress. Otaknya terkuras kering menuruti pasien spesial seniornya.     

"Komparatif' huuh... Okey.. kita mulai!. Hipotesis nol-nya (Ho) adalah Perasaan yang dirasakan Mahendra terhadap calon istrinya merupakan jatuh cinta. Hipotesis satu (H1) adalah Perasaan yang dirasakan Mahendra terhadap calon istrinya bukan merupakan jatuh cinta       

_Sumpah ini benar-benar gila_ Junior Diana mulai berkeringat.      

"Tidak! aku tidak setuju! Ho dan H1 yang kamu paparkan masih tergolong Hipotesis Diskriptif. Kau benar-benar cumlaude?". Hendra menguasai banyak hal dengan detail.     

_Mati aku!!, dia sedetail itu_ Perempuan ini tampak kacau.     

"Jika saya menggunkan Hipotesis komparatif, misalnya Ho : Perasaan yang dirasakan Mahendra memiliki kadar cinta yang sama dengan perasaan yang dirasakan calon istrinya. Lalu menggunakan persepsi anda sebagai data untuk mengukur perasaan calon istri anda, saya rasa data yang anda sajikan tergolong data subjektif. Walau para psikiater cenderung bermain-main dengan data subjektif, namun data subjektif dari sudut pandang pihak kedua adalah data yang sangat lemah".     

(Data Subjektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak bisa ditentukan oleh perawat, mencakup persepsi, perasaan, ide klien tentang status kesehatannya. Misalnya tentang nyeri, perasaan lemah, ketakutan, kecemasan, frustrasi, mual, perasaan malu).     

Hendra terdiam sejenak. Lalu mengangguk mengiyakan penjelasan lulusan S2 cumlaude.      

"Kali ini aku setuju denganmu".     

_Huuh, untung dia setuju. Padahal aku-nya yang enggak kuat seandainya uji hipotesis spontan ini adalah Hipotesis Komparatif. Haduuh, berasa ujian skripsi_ beberapa kali menghela nafas dan kepalanya mulai migren.     

"Anda cukup menjawabnya 'Ya! Ragu-ragu! Tidak!' pada setiap pertanyaan ku". Perempuan berbaju putih ini mulai membuat tabel sederhana pada buku catatannya.      

"Hati anda tidak bisa dikendalikan ketika berada didekatnya?"     

"Ya"     

"Anda merasa tidak nyaman ketika dia dekat dengan pria lain?"     

"Ya"     

"Anda tidak bisa mengabaikannya ketika dia butuh pertolongan?".     

"Ya"     

"Anda tidak mampu mengendalikan naluri anda sebagai laki-laki untuk mendekatinya".     

"Seperti apa itu?? Aku tidak paham". Hendra menyela.     

_Haduuh?! Dia lola lagi_ Perempuan ini menggaruk sudut lehernya, sambil senyam-senyum menyembunyikan rasa ingin menepuk jidatnya sendiri.     

"Maksudnya ketika anda berada didekat calon istri anda, anda merasa dia memicu adrenalin anda. Selalu ingin memeluknya, mencium pipinya kalau perlu menghisap bibirnya". Dokter muda berapi-api menjelaskan, karena dia jengkel.     

"Sangat IYA". Hendra bersemangat menjawabnya.      

"Ha' apa??". Psikiater ini sempat ternganga.      

_Giliran dijelaskan ngerti banget dia_     

_Edian… (stress)_ Umpatan anak Surabaya tiba-tiba tidak terkendali.      

 .     

5 Pertanyaan     

.     

10 Pertanyaan     

.     

20 Pertanyaan     

.     

Dan berakhir diangka 27 Pertanyaan, setelah otak junior Diana menyerah. Hendra tidak mau hipotesis tersebut hanya diuji dengan 5 sampai 10 konfirmasi. Dia butuh sebanyak-banyaknya.      

"Aku suka caramu". Puji Hendra. Perempuan itu tersenyum, senyum getir sebab dia akhirnya bisa bernafas normal.      

"Tapi sebenarnya aku juga punya masalah lain? Kau bisa membantuku?". Hendra merasa anak ini bisa dijadikan tutor untuk mendekati Aruna.      

"Ya tentu saja!".      

_Tapi tidak sekarang juga kali, aku butuh tidur keles_ menggerutu pada diri sendiri.     

"Em'.. Begini saja. Karena anda juga butuh istirahat bagaimana kalau anda menghubungi saya lain kali". Menyerahkan kartu nama.      

"Dr. Nathasya M Triyuono Sp.Kj, itu nama mu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.