Ciuman Pertama Aruna

Tanpa Alasan



Tanpa Alasan

0Aruna berdiri pasrah tanpa kata. Pandanganya mengarah ke sudut lain, tidak ingin melihat Hendra.     

"Em.. kau tak ingin duduk". Hendra memberi saran, Hendra mengerti Aruna tidak begitu tertarik dengannya.     

Secara mengejutkan pria itu melepas infus ditangannya. Turun dari ranjang pasien.     

Hendra bergegas merapikan buku-buku fiksi-nya. Pria itu tampak kelabakan, membebalkan kumpulan benda segi empat pada nakas dan almari diruang VIP. Sesekali bukunya jatuh berserakan dan dia punguti kembali.     

Kali ini Hendra terlihat sedikit manusiawi dibandingkan biasanya. Bahkan dia sempat nyengir mendekati Aruna lalu menyapa: "Em.. silahkan duduk.. kamu bisa pakai sofa itu". Hendra menunjukan sofa terima tamu pasien ruang VIP. Satu sofa sudut berwarna abu-abu dan tiga sofa tambahan berbentuk kubus diletakkan mengelilingi meja kaca.     

Aruna berjalan perlahan memenuhi arahan Hendra tanpa melihatnya.     

"Aku tidak punya makanan atau minuman yang berarti. Jika kau menginginkan sesuatu bilang saja, akan aku minta pengawalku menyiapkannya".     

"Tidak usah". Akhirnya Aruna bersuara.     

"Ini untuk mu". Aruna meletakan bungkusan yang dia bawa pada meja kaca. Sedangkan Hendra, pria itu dari tadi sibuk mencari gelas untuk membuat secangkir teh. Setelah terlihat ribet memencet alat pemanas akhirnya sang CEO datang menuju tempat duduk Aruna dengan teh hangat ditangannya.     

"Kau tak perlu repot-repot". Ucap Aruna.     

"Tak apa hanya sesekali". Balas Hendra.     

"Boleh aku membukanya". Hendra berusaha lebih hangat. Pria itu membuka dengan hati-hati bungkusan yang dibawa Aruna. Ternyata didalamnya adalah bekal makan siang. Walaupun saat ini sudah mulai sore.     

"Wao, sepertinya enak. Kau yang membuatnya?". Tanya Hendra memancing calon istrinya agar lebih banyak bicara.     

"Aku hanya bantu-bantu, ibuku yang lebih sibuk menyiapkan". Ungkapan Aruna disambut anggukan calon suaminya. Hendra segera meraih sendok dan mulai mencicipi. Sesungguhnya CEO ini sudah makan, namun dia sedang berusaha membuat Aruna lebih nyaman jadi diabaikan semua kehendaknya. Perilaku yang mustahil dia lakukan sebelum mengenal putri Lesmana.     

"Ini enak sekali". Pria ini basa-basi. Hendra terbiasa makan masakan koki bintang 5 dari menu premium Jaya Rizt Hotel.     

"Kau tidak ingin makan bersamaku?".     

"Tidak". Jawab Aruna singkat.     

"Oh iya, mumpung ayahku belum datang aku ingin menyampaikan sesuatu padamu". Kini Aruna mau menatapnya. Hendra membalasnya sembari menikmati makanan untuk perutnya yang telah kenyang.     

"Bisakah kau hentikan pernikahan kita?". Kata-kata Aruna sungguh mengejutkan. Membuat Hendra tersedak dan terbatuk-batuk. Aruna menggeser teh yang disajikan Hendra kearah pembuatnya sendiri. Hendra sedikit ragu meminumnya, namun dia terpaksa.     

"Aku tidak bisa". Jawab Hendra menahan rasa nyeri yang menyengat amat dalam didadanya.     

"Bukan kah kau memiliki kekuasaan tanpa batas?!".     

"Kenapa kau tak bisa?". Aruna sedikit menuntut.     

"Kekuasaan ku tidak lebih dari kakekku". Pria itu meletakkan makanan serta minuman yang dia pegang. Dia telah berusaha dengan sangat untuk melawan syndrome yang diderita demi mempersiapkan pernikahan bersama perempuan dihadapannya. Tapi gadis ini secara mendadak berubah pikiran. Andai Hendra masih orang yang sama seperti dirinya yang dulu, bisa jadi Aruna dia seret dan dilempar keluar.     

Hendra yang sekarang tidak memiliki kemampuan untuk itu, dia tersandera oleh rasa sayang yang menjalar diseluruh tubuhnya kepada gadis mungil calon istrinya.     

"Mengapa kau berubah pikiran?".     

"Apa karena pemuda itu?". Tatapan Hendra berubah tajam.     

"Tidak ada hubungannya dengan dia". Sanggah Aruna.     

"Oh.. lalu?". Hendra meminta alasan dari pernyataan Aruna.     

"Aku hanya ingin mengakhirinya. Itu saja".     

"Itu tidak mungkin. Selalu ada alasan untuk semua tindakan kecuali jatuh cinta".     

"Pemahaman yang baru ku pelajari dari bacaanku akhir-akhir ini". Hendra tidak terima dengan jawaban Aruna.     

"Jadi kau jatuh cinta padanya?". Sebuah pertanyaan menusuk Aruna.     

"Sudah ku katakan tidak ada hubunganya dengan Damar!!". Tegas Aruna.     

"Jangan sebut nama itu dihadapan ku!!". Suara Hendra meninggi berpadu dengan rasa sakit didada.     

"Baiklah aku akan jujur. Aku takut padamu!".     

"Sangat takut, Kau membuntutiku tiap saat dan menjadikanku seperti buronan". Jelas Aruna.     

Hendra memegangi pelipisnya, andai gadis ini tahu betapa pentingnya keamanan dirinya sehingga membuat orang-orang Hendra terpaksa berperilaku posesif padanya. Sayang Aruna tidak tahu apa-apa dan tidak diijinkan tahu.     

"Jika aku menghentikan orang-orangku untuk membuntuti dan mengawasimu. Apa kau masih ingin meneruskan pernikahan ini?". Hendra ingin mengetahui lebih detail. Sebuah pernyataan negasi dia lontarkan.     

(Negasi dalam logic Math atau dikenal ingkaran didefinisikan sebagai sebuah pernyataan yang memiliki nilai kebenaran yang berlawanan dengan pernyataan semula. Dalam kehidupan sehari-hari dimanfaatkan untuk membangun logika terbalik)     

Aruna terlihat diam sesaat.     

"Seandainya masih bisa menghentikan pernikahan. Apapun itu lebih baik". Balas Aruna.     

"Oh!. Artinya kau tak memiliki alasan yang pasti". Pria itu menangkap Aruna dalam ruang pikirannya.     

"Beritahu aku alasannya sebelum aku benar-benar marah!". Hendra menekan Aruna.     

Sekali lagi putri Lesmana terdiam tanpa kata. Dia hanya ingin pergi jauh dari Hendra, pewaris tunggal Djoyodiningrat yang membuat kehidupannya bertambah suram.     

"Jangan bilang kau hanya membenciku dan ingin pergi dariku".     

"Itu artinya kau membenciku tanpa alasan karena kau menyukainya tanpa alasan". Hendra memadu padankan nalar berfikir-nya yang kuat dengan pengetahuan baru dari novel-novel yang dia baca.     

"Apa maksudmu, kesimpulan macam apa itu". Aruna terhenyak dengan pernyataan Hendra. Dirinya sendiri tak mampu menyimpulkan perasaannya dan kondisinya. Tapi pria dihadapannya sangat enteng merumuskan kesimpulan tanpa basa-basi.     

Pria itu menangkap tangan Aruna dan memojokkannya : "Kau tahu, apa yang aku genggam tidak mungkin aku lepaskan".     

Aruna berusaha menarik tangannya sekuat tenaga. Namun nihil.     

"Lepaskan aku Hendra, kelakuanmu yang seperti ini yang membuatku muak". Aruna menatapnya marah. Tapi Hendra tidak bergeming.     

"Lepas!". Aruna kembali menarik tangannya tapi tidak bisa. Gadis ini mengangkat tangan lainnya berniat untuk melawan Hendra. Tapi pria itu lebih tangkas menangkapnya.     

"Lepaskan aku.. kau membuatku takut..". Mata Aruna mulai memerah dan kembali merasakan seolah dijadikan boneka mainan tuan muda Djoyodiningrat. Dia menangis.     

Mendengar suara pintu dibuka. Hendra meringsek mundur merelakan tangan Aruna. Putri Lesmana segera menghapus air matanya, dan berlari ke kamar mandi tidak ingin ditemukan ayahnya dalam kondisi kacau.     

"Apa ayah sibuk?". Hendra basa-basi. Dia perlu menyelesaikan pertengkarannya dengan Aruna.     

"Ya.. seperti yang kau lihat". Lesmana menjawab.     

"Biar saya yang mengantar Aruna, ayah bisa kembali ke bekerja dengan tenang".     

"Tidak usah. Kamu sakit, istirahatlah yang cukup".     

"Ada yang perlu aku bahas dengan Aruna. Jika ayah mengijinkan, saya butuh waktu lebih panjang bersama Aruna". Hendra terlihat serius.     

"Baiklah, sampaikan pada Aruna ayah kembali ke kantor. Aku senang kalian berusaha saling mengenal". Lesmana pergi tanpa menemui putrinya.     

.     

.     

"Kemana ayahku?".     

"Sudah pergi". Hendra terlihat berdiri, mengambil sepasang baju dan Coat navi di almari. Aruna menyadari pria ini sengaja mengusir ayahnya dan berniat berganti pakaian untuk mengantarnya.     

"Aku tidak mau merepotkan mu aku bisa pulang sendiri". Aruna mengambil tasnya dan melangkah keluar.     

Hendra melempar bajunya dan bergegas menuju Aruna, pria itu menghentikan Aruna dan berkata: "bisakah kau memberiku kesempatan untuk melakukan kebaikan pada mu?".     

"Kau sedang sakit bukan? Aku hanya tak ingin merepotkan mu?!".     

"Tapi aku masih bisa, kalau sekedar mengantar mu pulang". Hendra memaksakan kehendaknya. 'Selalu demikian' kumpulan pemahaman dalam benak Aruna.     

"Kembalilah ke ranjang mu, mari kita bicara dengan benar". Aruna mengalah. Gadis ini terganggu dengan darah yang terlihat dari bekas infus Hendra. Tangan lelaki bermata biru ini menegang karena pertengkaran mereka. Mengakibatkan pembuluh nadi yang tertusuk jarum infus meneteskan darah. Aruna bahkan sempat mengambil tisu dan membersihkan pergelangan tangan Hendra tepat setelah pria itu terduduk di ranjang pasien.     

Perilaku sederhana seperti ini yang membuat pewaris tunggal Djoyodiningrat takut kehilangan calon istrinya.     

Gadis ini masih bisa menenangkan hatinya disaat mereka bertengkar.     

"Dulu hidupku sangat sederhana, aku mengejar impian bersama sahabat-sahabat ku melalui Surat Ajaib. Sesekali merasa bangga pada diri sendiri ketika diminta menjadi pemateri pada seminar teman-teman sesama startup. Masa-masa itu membuatku sangat bahagia. Aku merindukannya". Aruna menceritakan dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.