Ciuman Pertama Aruna

Fiksi Romance



Fiksi Romance

0"Huuh'.. ". Diana terlihat menghela nafas. Dia lupa yang dia ajak bicara adalah Mahendra. Bocah kecilnya yang selalu sok tahu tapi sering salah kaprah.     

"Baiklah aku ganti pertanyaan ku".     

"Apa yang anda rasakan ketika berada di dekat Aruna". Diana memperhatikan ekspresi Hendra.     

"Em.. kadang aku merasa sangat senang.. tapi kadang-kadang dia membuat ku sangat sakit". Jawab Hendra.     

Diana menyatukan alisnya dan berkata : "sakit??".     

"Iya.. kadang sakit sekali disini". Hendra memegangi dadanya dengan polos. Ketiga tim Diana tidak lagi bisa konsentrasi bekerja mereka benar-benar fokus menguping. Tuan muda Djoyodiningrat ini sangatlah lucu, dibalik sikapnya yang terkenal dingin dan keras kepala.     

"Sebenarnya aku ingin menemui mu beberapa waktu yang lalu. Sayangnya jadwalku padat. Karena kita sudah bersama.. bisakah aku minta kau tuliskan resep obat untuk sakit ku ini?". Pinta Hendra.     

"Tunggu.. sakit yang seperti apa?". Diana terlihat bingung.     

"Ya.. Yang aku ceritakan".     

"Sakit karena Aruna??". Diana memejamkan mata sesaat setelah melihat Hendra mengangguk, dia tahu pasiennya terlalu unik. Sedangkan ketiga timnya mulai menahan geli diperut.     

"Sakit yang seperti apa Hendra?!?". Dokter itu tak lagi memanggil anda, entah mengapa pasiennya terlihat kembali seperti anak-anak.     

"Aruna memiliki teman laki-laki yang begitu dekat, ketika mereka bersama tiba-tiba dada ku sangat kesakitan dan nafasku sesekali berat. Kau pasti punya obat peredam rasa sakit itu". Menjelaskan dengan percaya diri.     

"Jangan lupa tuliskan diresep ku!". Masih percaya diri.     

"Tidak ada obat seperti itu HENDRAAAAA!!". Dokter Diana jengkel dan menghela nafas "huuuh".     

"Bwahahaha". Ketiga asisten Diana tidak bisa menahan tawa mereka. Mereka terpingkal-pingkal dan cekikikan. Tio salah satu dari mereka sampai memukuli bahu Firman saking gelinya.     

"Hai kalian! Hentikan tertawanya!!". Sang CEO mulai jengkel.     

"Apa yang salah?!". Dia juga terlihat bingung.     

"Diana dimana profesionalitas mu. Kau meneriaki ku?!". Wajah Hendra perlahan mengerut menunjukkan ekspresi marah.     

"Kalian bertiga keluar!". Diana mengusir anak asuhnya. Ketiganya tampak keberatan tapi tak bisa melawan perintah dokter senior yang mereka kagumi.     

Seiring langkah ketiganya terdengar sayup-sayup obrolan :     

Tio : "Hai bagaimana bisa dia tidak tahu kalau itu patah hati? Hehe".     

Natasya : "Aku saja sudah mengalaminya sejak SD, aku tahu sakit hati memang menyakitkan".     

Firman : "Andaikan kalian tahu bagaimana kehidupannya sehari-hari, kalian tidak akan banyak bicara". Satu-satunya tim Diana yang telah ditugaskan mengikuti aktivitas Hendra.     

Firman : "Dia sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Aku bahkan tidak tahu kapan dia sempat makan dan bersantai".     

Tio : "Ceritakan lagi aku penasaran"     

Natasya : "iya-iya lanjutkan".     

Ketiganya menghilang dan Diana kembali fokus pada Hendra. Sayangnya ekspresi tuan muda menjadi jutek.     

"Apa yang salah dengan yang aku keluhkan. Mengapa itu tampak aneh di mata orang lain?". Hendra benar-benar ingin tahu.     

"Sesekali bacalah bacaan fiksi, memang.. hal semacam itu terlihat tidak bermanfaat untuk pengetahuan mu. Apalagi cerita romance atau sejenisnya. Minimal buku-buku itu bisa memberi tahu mu tentang berbagai macam kisah cinta dan perasaan didalamnya". Jelas Diana. Dokter itu sadar dia bukan orang yang akan bisa mengajari Hendra tentang cinta dan berbagai dampak yang dirasakan karena butuh pemahaman tersendiri.     

"Oh' pantas saja novelis Ruang Hampa itu berhasil mengalahkan ku". Hendra spontan berapi-api. (Ruang Hampa novel indie Damar sebelum menjadi musisi pendatang baru Chapter 11, Detak jantung)     

_Apa lagi sekarang?_ Diana menemukan perubahan ekspresi Hendra yang melompat keluar jalur secara tiba-tiba. Mungkin karena bayi besarnya ini baru merasakan jatuh cinta. Makanya emosi bergerak kesana-kemari tak bisa terbaca.     

"Sudah-sudah sampai disini dulu sesi konsultasinya"     

_Aku bisa tambah pusing sekarang_ Diana menyerah.     

"Mulai sekarang datang pada ku dua hari sekali".     

"Ah' tidak bisa jadwalku sangat padat. Kalau seperti itu aku jadi mirip tahanan wajib lapor". Hendra tidak setuju.     

"Bagaimana kalau satu Minggu sekali". Saran Hendra.     

Diana menatapnya sambil melotot.     

"Baiklah dua Minggu sekali". Rayu Hendra.     

"Huuh'..". Dokter itu menghela nafas untuk kesekian kalinya.     

"Kita sedang berkejaran dengan hari pernikahan mu".     

"Ya.. kecuali kamu tidak ingin tidur dengan istri mu setelah menikah". Pancing Diana.     

"Apa itu mungkin??". Mendadak mata Hendra berbinar.     

"Tergantung usahamu.. ". Ledek Diana.     

"Baiklah..!! Akan aku usahakan datang tiap saat. Haah.. walau itu sangat sulit". Kini ekspresi Hendra lebih lucu lagi. CEO itu terlihat senyam-senyum sendiri dengan wajah memerah. Seperti bayi yang kegirangan mendapatkan mainan kesukaannya.     

"Oh iya... Kamu belum boleh pulang. Rawat inap nya aku tambah satu hari lagi". Diana menginformasikan.     

"Kenapa?? Konsultasinya kan sudah selesai?".     

"Kamu butuh istirahat!. Tidak ada yang peduli dengan waktu istirahat mu ketika kau kembali beraktivitas. Jadi nikmati waktu libur mu kali ini".     

Hendra terlihat merenung.     

"Tidak buruk. Bisa ku manfaatkan untuk membaca bacaan fiksi". Hendra benar-benar bertekad.     

Diana tersenyum lebar menyadari pasien kecilnya terlambat menikmati masa remaja.     

"Jangan lupa fiksi romance". Gurau Diana. Tapi Hendra menangkapnya dengan serius. Pria itu segera menghubungi sekertarisnya untuk membelikan puluhan novel romance termasuk novel pesaingnya.      

***     

Sekertaris Hendra meletakan 20 novel berikutnya. Sejak selesai konsultasi dengan Diana, atasannya ini berubah semakin aneh. Dia yang dulu menganggap cerita-cerita fiksi adalah sampah karena tidak berdampak pada pekerjaan dan pengetahuan.     

Namun tiba-tiba menjadi penggila. Surya sudah 3 kali bolak-balik ke toko buku untuk berburu permintaannya. Hendra memang memiliki kecepatan membaca luar biasa. CEO itu menghabiskan novel seperti makan Snack.     

"Hen.. ini buku terakhir!. Aku tak mau terlihat seperti orang bodoh bolak-balik ke toko buku". Gerutu Surya.     

"Berisik pergi sana!?".     

"Mengganggu!". Hendra mengusir sekertarisnya.     

"Lama-lama kau ini semakin aneh.. ". Surya perlahan pergi.     

"Tunggu-tunggu..". Panggil Hendra.     

"Kenapa bahasa di novel ini sulit di pahami ya?". Hendra meminta Surya mendengarkannya.     

"Apa itu 'perempuan pembawa pisau bermata dua'??".     

"Mana aku tahu?! Kau yang baca aku yang diminta jawab". Surya memasang wajah enek.     

"Ah' kenapa bahasa sastra rumit sekali. Lebih baik aku mengerjakan indefinite integral". Pelajaran yang disukai Hendra semasa sekolah, Science and Math.     

(indefinite integral atau Integral tak tentu adalah bentuk operasi pengintegralan suatu fungsi yang menghasilkan fungsi baru. Fungsi ini belum memiliki nilai pasti (berupa variabel) proses memecahkan hitungannya membutuhkan 'Teorema dasar kalkulus' yang cukup rumit)     

Hendra melempar buku itu karena menyerah.     

"Semakin aku membacanya semakin otak ku terasa bebal". Ungkapan Hendra membuat sekertarisnya tertawa.     

"Itu sebabnya aku pernah bilang saingan mu memiliki 'Strategi diluar ekspektasi' ". Surya merendahkan suaranya, membakar api cemburu Hendra.     

"Hah.. sepertinya kau benar". Dan dua orang sahabat mulai berbicara dengan bahasa absrud.     

***     

"Aruna kenapa berhenti?". Tanya ayah Lesmana.     

"Ayo nak.. ". Ayah Lesmana meminta Aruna berjalan lebih cepat menyusuri lorong VIP rumah sakit. Gadis itu terlihat sangat ketakutan, apalagi saat berhenti pada salah satu pintu kamar yang dijaga dua orang bodyguard.     

Bodyguard tersebut terlihat sopan, segera membuka pintu kamar untuk ayah Lesmana dan putrinya. Aruna memegangi kedua tangannya, gemetaran untuk sekedar masuk. Wajahnya tertunduk dia tidak mau melihat para pengawal Hendra. Mereka menjadi mengerikan semenjak kejadian dirumah Damar.     

"Oh ayah..??".     

"Aruna??". Hendra sangat terkejut. Darimana calon istri dan mertuanya tahu kalau dia sakit. Bukankah kejadian ini harus disembunyikan.     

Sempat terbengong sesaat. Setelahnya terperanjat ketika menyadari tangannya membawa novel romance. Hendra segera menyelipkan bacaan absurdnya dibalik bantal.     

"Bagaimana lengannya? Apa sudah baikan?". Tanya ayah Lesmana.     

"Oh iya.. ya.. sudah oke". Bicara Hendra belepotan karena dia belum yakin dengan apa yang dilihat. CEO itu sempat melirik Aruna yang bersembunyi dibalik tubuh ayahnya. Untung saja ayah Aruna bertanya tentang lengan artinya mereka mengira bahwa sakit Hendra seputar Fraktur tulang.     

"Ayah harus mengangkat telepon sebentar, kamu tidak apa-apa aku tinggal". Lesmana meminta ijin putrinya.     

"Ayah.. ". Gadis itu terlihat memegangi baju ayahnya. Memohon seperti anak kecil yang tak mau ditinggal.     

"Sebentar Aruna". Lesmana menunjukan handphonenya.     

Aruna berdiri pasrah tanpa kata. Pandanganya mengarah kesudut lain, tidak ingin melihat Hendra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.