Ciuman Pertama Aruna

Orang Ketiga



Orang Ketiga

0Damar menyadari seseorang ambruk dibelakang punggungnya. Pemuda itu segera berbalik menangkap tubuh Aruna namun terlambat. Aruna sudah tersungkur dilantai tak sadarkan diri.     

"Aruna.. Aruna..". Damar berusaha memanggil nama gadis pembawa pisau bermata dua. Menggoyangkan tubuh mungil tidak berdaya. Tak ada jawaban.     

Amarah Hendra semakin liar. Pria itu mendorong dan membanting tubuh Damar.     

"Aruna.. "     

"Bangun..". Hendra memanggil calon istrinya. Suaranya paruh ,kacau, bimbang.     

_Ah' aku tidak bisa_ kakinya melemas dan nafasnya mulai berat. Terduduk dihadapan Aruna. Tangan Hendra berusaha keras meraih wajah Aruna. Tapi semuanya sudah terlambat.     

_Sial! Aku tak sanggup melihatnya_ pewaris Djoyodiningrat sedang berjuang melawan dirinya sendiri. Nafasnya pendek-pendek dan semakin mencekik.     

Hery mendekat menyadari hal aneh terjadi pada tuannya. Hendra mencengkeram kuat baju hery. Sang tuan muda kehilangan suaranya untuk sekedar meminta pertolongan. Melihat keanehan berbalut suara sesak nafas, keringat basah dan wajah pucat sang CEO. Hery segera mencari pertolongan.     

Tentu saja orang-orang Hendra segera berlari menolong tuannya.     

Surya dengan seorang ajudan bernama firman yang sengaja disiapkan Diana untuk membuntuti pewaris Djoyodiningrat, tergesa-gesa membuka bagasi mencari alat bantu pernafasan. Tepat sebelum Hendra mulai tak berdaya dan nafasnya melemah. Firman terlihat sigap memasang alat bantu tersebut. Lalu bergantian dengan yang lain menekan dada Hendra.     

Damar tak mengerti apa yang sedang terjadi, beberapa pengawal Hendra juga turut kebingungan. Pemuda Padang itu mengalihkan perhatiannya pada tubuh gadis disamping kegaduhan. Damar mulai menyelipkan tangannya disela-sela leher dan kaki Aruna. Bermaksud menggendong tubuh mungil tak berdaya.     

Sebelum dia sempat mengangkatnya, pria yang dia kenal sebagai sekertaris calon suami Aruna mendekat.     

"Aku titipkan nona Aruna kepadamu".     

"Aku tahu kau pemuda yang baik, aku harap kau bisa menyimpan semua kejadian hari ini dari siapapun".     

"Termasuk nona Aruna, dia tidak boleh tahu bahwa Hendra kehilangan kesadaran karenanya". Surya dengan serius meminta pengertian Damar. Pemuda itu hanya mendengarkan dan berdiri mengangkat tubuh Aruna.     

"Aku tidak peduli dengan kelakuan kalian".     

"Aku juga tidak berminat membicarakan orang itu".     

"Jika dia sadar beritahu dia untuk berhenti menjadi penguntit, apalagi menjadikan Aruna tawanan". Damar melangkah pergi menaiki tangga.     

"Aku sangat berharap kita bisa bicara secara pribadi, situasi kami cukup buruk akhir-akhir ini. Mungkin kita bisa bekerjasama". Ucapan Surya diabaikan, Damar memilih meninggalkannya. Menyelinap ke dalam rumah seiring suara sirine ambulan datang membawa tubuh CEO dan segala keanehannya.     

***     

Hampir 30 menit sejak Aruna kehilangan kesadaran, musisi pendatang baru itu membaringkan founder Surat Ajaib pada ranjang terbuka lantai 2.     

Dengan sabar Damar mencoba membantu Aruna menemukan dirinya. Memberikan bau-bauan hangat di hidung dan membasuh keringat pada kening Aruna menggunakan kompres air segar.     

Dia hampir putus asa dan berniat menghubungi kakak perempuan Aruna, Alia. Untuk meminta pertolongan. Kak Alia salah satu anggota keluarga Aruna yang mengikuti sejak awal kerumitan diantara keduanya.     

Baru saja Damar berdiri meraih Handphonenya. Aruna terlihat bergerak dan perlahan membuka mata jernihnya. Damar segera meraih air putih untuk Aruna, membantunya duduk.     

"Minum dulu ya!". Pinta Damar. Gadis itu mencoba menatap sekeliling.     

"Kemana mereka?". Raut mukanya masih terlihat ketakutan.     

"Sudah pergi. Tenangkan dirimu.. lupakan saja kejadian tadi!". Pinta Damar menyerahkan gelas berisi air. Bukannya menyambut air minum, Aruna meraih Damar dan memeluknya. Isak tangis mulai terdengar, termasuk ucapan permintaan maaf yang dia sisipkan beberapa kali.     

Tangan kiri pemuda Padang mengelus halus rambut Aruna, menenangkannya.     

_Tenanglah Aruna, aku tidak akan melepasmu walau mereka mengacungkan pistol dikepalaku_     

"Hai kalau kau terus-terusan menangis matamu bisa bengkak". Damar mengintip Aruna. Gadis itu benar-benar sembab oleh air mata.     

"Orang akan berfikir ada lebah yang menyengat pelupuk matamu".     

"Berhentilah dan minum air ini". Pinta Damar sekali lagi. Gadis itu meneguk air sambil sesenggukan. Damar tidak pernah melihat Aruna separah ini. Founder Surat Ajaib yang dia kenal selalu bersinar tiap saat karena aura hangat dan senyum ceria diwajahnya. Kini meredup dan tampak tertekan sepanjang hari.     

"Aruna kamu ingin aku antar atau aku beritahu kak Alia untuk menjemputmu".     

***     

Mahendra tertidur sepanjang malam dan belum juga terbangun. Obat penenang yang diberikan melalui selang infus membuatnya beristirahat lebih lelap. Pria itu beberapa kali mengigau memanggil nama seseorang.     

Ketika matanya terbuka ditengah malam. Ruang VVIP tampak sepi, hanya sekertarisnya yang terlihat ketiduran dikursi dan pengawal yang tertangkap dari balik celah kaca pada pintu kamar, mereka berdiri didepan pintu menjaganya.     

Hendra mencoba duduk sendiri. Meraih air pada nakas dekat ranjang.     

"Prank". Suara pecahan gelas yang jatuh membuat Surya terbangun gelagapan. Termasuk para pengawal yang segera masuk menyalakan beberapa lampu agar lebih terang.     

"Kenapa kau tidak minta bantuan ku". Melihat gelas jatuh berhamburan, Surya segera merah gelas lain dan menuangkan minum untuk atasannya. Dan dua orang pengawal kembali ketempat.     

"Dimana Aruna? Apa dia baik-baik saja?". Pertanyaan yang terucap adalah nama gadis yang dia sebut disela-sela tidurnya.     

Surya menghela nafas menyadari kisah cinta pertama atasannya tidak seberuntung karirnya sebagai CEO.     

"Dia ada dirumahnya. Aku yakin dia baik-baik saja". Balas Surya.     

"Pasti Aruna semakin takut padaku setelah kejadian tadi".     

"Harusnya aku mendengar ucapanmu". (Tidak gegabah) Hendra kecewa pada dirinya sendiri.     

"Kau masih saja memikirkan hal-hal yang tidak penting. Istirahatlah".     

"Dia tidak tahu aku pingsan kan??". Hendra merasa perlu memastikan.     

"Tidak! Tenang saja".     

"Bagaimana dengan anak itu?".     

"Aku sempat bicara dengannya. Dia tidak tertarik sama sekali terhadap kondisimu. Sementara dapat disimpulkan anak itu tidak akan bercerita apapun pada Aruna".     

"Aku rasa dia tipe yang masa bodoh, namun bisa dipercaya". Jelas Surya.     

"Baguslah".     

"Sampai kapan kau akan menyembunyikan ini semua?". (Kau akan menikah dan hidup bersama, bagaimana bisa traumamu dapat disembunyikan)     

"Sampai aku menemukan cara untuk sembuh".     

"Kau tahu dulu aku merasa Tuhan terlalu baik padamu dan begitu tidak adil padaku. Sekarang terbalik. Aku merasa jauh lebih beruntung". Ucapan Surya berbalas senyum kecil dibibir Hendra.     

"Ah' kau bahkan bisa tersenyum dalam keadaan seperti ini".     

"Sepertinya kehadiran nona Aruna sudah banyak merubahmu".     

"Apa kau benar-benar jatuh hati padanya?". Tanya Surya penasaran.     

"Aku juga tidak tahu".     

"Hai.. kau bukan psikiater mengapa cara bicara mu mirip Diana?". Lelaki itu mendorong Surya dengan kakinya lalu memintanya menaikkan ranjang agar dia bisa berbaring lebih nyaman.     

"Akan aku bujuk nona Aruna untuk menjengukmu".     

"Jangan sampai kau lakukan!. Dia tidak boleh tahu aku berada dirumah sakit". Sekali lagi Hendra punya permintaan tidak masuk akal.     

"Aku rasa ide mu kali ini tidak akan berhasil!. Bagaimana caramu mengatasi traumamu jika dia saja tidak boleh tahu? Kalian akan tidur dalam satu kamar!". Surya kali ini kesulitan mengikuti pola pikir Hendra.     

"Aku membuat kontrak pernikahan bukan sekedar untuk menjaga kehidupan pribadi ku. Aku sudah menyusun strategi agar pasangan ku tidak tahu sindrom ini, walau kami hidup bersama". Jelas Hendra.     

"Ah' kalau kau sudah begini. Aku sadar kau benar-benar cucu Wiryo".     

"Sialan!!".     

"Hahaha". Surya tertawa. Dan merekapun tertawa.     

"Sekarang bagaimana strategi mu menyingkirkan anak itu!".     

"Aku tidak punya hak menyingkirkannya. Bagaimana pun juga aku adalah orang ketiga diantara mereka. Walau posisi ku adalah calon suami atau suami kontrak".     

"Kita lihat saja nanti, siapa yang akan bertahan".     

"Kau ada buku Surya, aku sudah banyak tidur. Aku takut otak ku melemah sekecil milik mu".     

"Hais' masih bisa sombong".     

"Baca online saja!". Pinta Surya, mulai merebahkan diri untuk tidur.     

"Aku malas buka Handphone, semua situs memberitakan anak itu sakit. Padahal aku yang terbaring disini". Ucapan Hendra tidak terbalas, sekertarisnya terlelap dalam kantuk.     

***     

Di sudut lain, seorang psikiater bersama timnya belum beristirahat semalaman. Tumpukan rekam medis dan lembaran foto berhamburan dimeja kerja. Mereka berburu waktu untuk menemukan diagnosa terbaru mengatasi PTSD yang di derita pewaris tunggal Djoyodiningrat. Mereka harus memecahkannya sebelum tetua keluarga itu datang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.