Ciuman Pertama Aruna

Kotak Menyakitkan



Kotak Menyakitkan

0"Aruna heandphone mu dimana?". Damar penasaran, ada panggilan masuk di handphonenya tapi panggilan tersebut atas nama 'Rona Kemerahan'.     

"Eh' Dimana ya??".     

"Oo.. tertinggal di outlet, aku saja nggak bawa apa-apa. Dompet juga enggak. Aku pikir cuma nemuin kamu di depan".     

"WA temen-temen bilang aku main sama kamu". Pinta Aruna.     

"Ya ya ok". Damar segera mengatur mode hening pada handphonenya. Ada 5 panggilan masuk dari nomor Aruna. Damar mengabaikannya. Namun pria itu cukup pengertian dengan mengirimkan foto Aruna sedang asyik makan ke Dea, Dea sempat menulis pesan menanyakan apakah Aruna bersama mu (Damar).     

***     

"Emm... Pak Surya kayaknya Aruna aman dech". Dea tampak hati-hati mendekati sekertaris calon suami Aruna. Sedangkan Hendra sendiri tampak kacau, bermuka masam mengerikan. Dia jelas-jelas sedang kesal, menelepon berulang-ulang nomor Damar dengan handphone Aruna.     

Ruang kerja lantai 2 outlet Surat Ajaib menjadi begitu mencekam setelah ditemukannya handphone Aruna. Empat puluh lima menit sebelumnya beberapa pengawal masuk dan melakukan pemeriksaan. Walaupun berusaha sangat sopan, namun kehadiran mereka membuat teman-teman Aruna merinding sendiri.     

Bukankah menghilangkan sekejap atau main sebentar adalah aktivitas yang biasa untuk anak muda sekarang. Mungkin dia boring lalu makan enak di kafe. Atau nongkrong cari suasana baru. Termasuk kegiatan yang lumrah dilakukan.     

Teman-teman Aruna sedikit bingung mengapa semuanya tampak demikian serius dan heboh. CEO Djoyo Makmur Grup kabarnya sampai meninggalkan rapat penting hanya karena sebuah pesan singkat yang mengabarkan handphone Aruna ditemukan.     

Agus, Lili, Tito dan Laras saling memandang satu sama lain. Mereka bahkan tergelitik untuk berbalas chatting.     

*Mereka terlalu over mengawasi Aruna (Lili)     

*Kasian ya kak Aruna (Laras)     

*Bukan over itu posesif (Agus)     

*Bagaimana kalau mereka menikah? Suami pengekang istri! (Lili)     

*Aku rasa kak Aruna akan dijadikan ibu rumahtangga (Tito)     

*Masa muda mu tak seindah masa muda ku (Agus)     

*Itu mah.. judul FTV Indosi*r Gus (Lili)      

*Haha kak Agus lucu (Laras)     

*Bagaimana kalau judulnya, CEO galak pengekang istri muda (Tito)     

*Kwkwkw gila lo Ndro (Agus)     

Chatting tersebut membuat mereka menahan tawa sembari melempar lirikan geli.     

Berbeda dengan Dea gadis itu semakin gugup ketika tahu Aruna bersama Damar, sedangkan gadis sumber kehebohan begitu asyik menikmati makanannya. Andai CEO itu tahu bagaimana cara Damar mengejar Aruna dia pasti akan sangat marah. Dea hanya belum mengerti bahwa sang CEO sudah menangkap banyak hal sejak awal.     

Surya terlihat berbisik kepada Hendra, meminta Dea mengirim foto itu padanya, kemudian dia forward ke nomor Hendra.     

"Maafkan saya sudah mengganggu kalian semua". Hendra tampak menunduk sesaat diikuti Surya, sebelum berpamitan meninggalkan teman-teman Aruna.     

*Jaga baik-baik milik ku. Ingat seorang peminjam harus mengembalikan pinjamannya dalam keadaan baik seperti semula.     

Damar sempat terperanjat membaca pesan singkat dari 'Rona Kemerahan'. Merasa aneh dengan sudut pandang lelaki itu. Bagaimana bisa dia memposisikan dirinya sebagai pemilik dan tentu saja secara tidak langsung Aruna adalah barang kesayangannya.     

Mata Damar melihat gadis mungil didepannya tampak bersinar menyenangkan, dia seperti separuh jiwa yang melukis dirinya. Sungguh keadaan ini tidak adil, bagaimana cara dia melupakan perjalanan panjang yang sudah dia lalui bersama Aruna. Dia ingin pergi, sangat ingin. Andai dia mampu, andai saja. Sayangnya ketidakrelaan itu menjadi-jadi tiap kali Damar mengingat kemana sang pemilik hatinya akan melangkah.     

Laki-laki itu tidak layak mendapatkannya, walau dirinya bukan pria sempurna minimal dia selalu punya cara membuat Aruna bahagia. Membuatnya tersenyum tanpa harap memiliki karena rasa bahagia di hati Aruna adalah rasa bahagia bagi dirinya. Damar telah luluh, seluluh-luluhnya. Dia sudah menyerah untuk melawan perasaannya. Pemuda itu pernah menghilang dalam keheningan, mati-matian melupakan Aruna. Namun yang dia dapati dirinya semakin gila. Jadi biarkan saja keadaan seperti ini.     

Sampai salah satu antara dirinya atau suami Aruna yang akan menyerah. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Namun bagi anak-anak muda yang baru menginjak usia 20 tahun, 2 tahun serasa sebuah oase yang pernah dikunjungi dalam perjalanan panjang menyusuri padang pasir tanpa batas.     

Damar akan bertahan, selama Aruna membutuhkan tempat untuk bersandar dan penguat untuk menegakkan bahunya, dia tidak akan lelah menanti hingga gadis itu benar-benar memilih tanpa belenggu perjanjian orang tuanya. Meskipun nanti ternyata sang rona kemerahan memilih pergi, Damar tidak akan menyesal sebab dia sudah pernah mencoba.     

"Siapa yang bersihkan ini".     

"Ayo kita suit...". Damar mengangkat tangannya siap-siap untuk suit.     

"Nggak.. nggak.. aku pasti kalah suit sama kamu". Protes Aruna.     

"Ma...in". Seru Damar.     

"Game!". Tangkap Aruna. Cepat-cepat berebut stik game.     

"Bola ya..". Pinta Damar.     

"Males kamu yang menang".     

"Balap mobil".     

"Gran Turismo 4 (GT4)". Aruna memberi ide.     

"Baik.. tidak ada yang mengalahkan keahlian ku soal main game". Damar menyombongkan diri.     

"Yang benar saja?!. Untuk mobil balap kita petarung yang seimbang". Ejek Aruna.     

"Jangan ambil mobil itu Damar, itu mobil kesayangan ku".     

"Ok, aku yang kuning aja biar lebih unyu".     

Lama keduanya terlalu asyik bermain game, kadang saling melempar ejekan pengganggu konsentrasi.     

"Damar mau gak jadi nomor 1?". Canda Aruna.     

"Lo kalah dong!".     

"Bukaan, maksudnya jadi nomor 1 diurutan kartu keluarga kita nanti".     

"Weh.. ?! Apa?". Damar tertegun sesaat.     

"Ah' kamu bikin aku tertinggal.. sialan!". Damar baru sadar bahwa Aruna sengaja mengganggunya.     

"Konsentrasi lah bung.. hahaha". Aruna tertawa lepas, akhirnya bisa menyusul dan mendahului mobil Damar.     

"Kotak, kotak apa yang sangat menyakitkan?!". Balas Damar.     

"Apa?".     

"Ko Tak sadar bahwa selama ini aku masih suka kamu". Jawab Damar.     

"Ah' basi aku sudah sering dengar gombalan itu".     

"Bentar.. apa ya..". Damar menggali-gali keahliannya.     

"Apa bedanya tanggal 28 sama 29 Oktober??". Damar melempar pertanyaan.     

"Apa? nggak lucu gue jitak".     

"28 Oktober sumpah pemuda".     

"29 Oktober.. ". Aruna tak sadar Damar mendekati dirinya.     

"Sumpah aku sayang kamu". Pemuda Padang benar-benar berbisik tepat ditelinga Aruna. Membuat gadis itu gelagapan dan mendorong tubuh Damar.     

"Hahaha". Damar tertawa terpingkal-pingkal melihat mobil Aruna menabrak dinding. Aruna membuang stiknya marah karena dia harus kalah dengan cara curang.     

"Hai.. tukang ngambek. Jangan marah aku bantu". Maksudnya membantu cuci piring dan beres-beres.     

"Minggir aku bisa sendiri". Aruna jengkel dan gengsi mendapatkan bantuan.     

"Bener nich.. g mau di bantu". Tapi Damar masih saja gigih membantunya.     

"Damar tangan ku basah". Tangan Aruna berlumuran sabun ketika pita rambutnya mulai kundur.     

"Tolong rapikan kuncit rambut ku!".     

"Ya nyonya!". Dulu mereka dan sahabat-sahabatnya di Surat Ajaib sudah terbiasa dengan hal-hal menyenangkan seperti ini. Bekerja dan bermain bersama lebih dari dua tahun membuat mereka bukan lagi sekedar persahabatan, hubungan mereka menjelma layaknya keluarga.     

"Aruna baju mu basah semua".     

"Iya.. bau ketek lagi". Tambah Aruna.     

"Hehe aku nggak bilang ya.. ".     

"Aku pengen mandi dulu sebelum pulang.. apa bisa?". Tanya Aruna yang mulai risih dengan keringat lengket di tubuhnya.     

"Ikut aku!". Damar menaiki tangga menuju lantai 2.     

"Waaah.. ". Aruna terbelalak dengan ruangan besar yang difungsikan sebagai kamar terbuka dengan berbagai jenis alat music tersusun rapi disana. Termasuk meja dilengkapi satu set komputer dan music elektronik.     

"Keren.. kamu benar-benar berubah haluan jadi musisi dari pada penulis?".     

"Aku masih belajar..". Jelas Damar.     

"Makanya butuh banyak alat untuk berlatih".     

"Aruna lihat sini.. ada yang lebih keren.. kamu pasti suka". Aruna mengikuti permintaan Damar. Pada sisi sebelah kiri ranjang tidur terbuka terdapat gorden panjang dan menjulang. Ketika Damar membukanya, hamparan pantai dan lautan tertangkap sempurna dari dinding kaca lantai 2 rumah Damar.     

Aruna menempel di dinding kaca itu sangking terpesonanya.     

"Aku segera menandatangani kontrak iklannya setelah tahu mereka akan memberikan rumah ini untuk ku".     

"Emangnya iklan apa?".     

"Deodorant". Damar ragu menyebutnya.     

"Ha. Ha. Ha". Aruna tertawa ngakak mendengarnya.     

"Mandi sana!. Ketek mu butuh deodorant". Damar jengkel ditertawakan. Pemuda itu mendorong tubuh Aruna memasuki pintu di samping ruangan.     

"Gunakan deodorant ini.. jeng jeng maka ketiak mu akan wangi".     

"Hahaha". Aruna nongol kembali untuk mengganggunya.     

"Hais sialan. Mandi sana!".     

"Jangan marah.. mana baju ganti ku? Handuknya juga?".     

"Ting tong... Ting tong...". Suara bel pintu berbunyi.     

"Ambil sendiri!. Pintu disebelah kanan adalah display bajuku".     

"Handuknya sudah ada di kamar mandi".     

Damar berlari kebawah melihat siapa tamu yang datang. Dia sedikit curiga, hanya Pandu dan sopir mereka yang mengetahui rumah barunya. Sedangkan keduanya sedang terjebak dalam masalah karena Damar melarikan diri. Situs-situs di internet menyebutkan Danu Umar sakit sehingga tidak bisa hadir dalam fanmeeting hari ini. Harusnya Pandu masih jadi tameng yang di wawancarai dalam acara tersebut, termasuk di buru oleh para wartawan.     

***     

Seseorang mengetuk-ngetukan jarinya. Sebuah gerakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi menunggu. Pria dibalik mobil Blentley terlihat suram dan mencekam, menanti bel pintu yang di pencet pengawalnya di sambut oleh pemilik rumah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.