Ciuman Pertama Aruna

Payah vs Perfeksionis



Payah vs Perfeksionis

Wiryo segera menuju ruang tempat Hendra mendapatkan perawatan. Tetua Djoyodiningrat begitu emosional mendengar mobil yang ditumpangi oleh cucunya mengalami disfungsi rem. Andos dan timnya sedang mencari tahu apakah ini sekedar kecelakaan atau sabotase. Didalam benak Wiryo jelas kejadian tersebut adalah sebuah sabotase, hanya membutuhkan bukti sebagai penguat.     

Sesuatu yang membuatnya lebih emosional adalah kepulangan cucunya. Jujur dibalik kecelakaan ini tetua merasakan kebahagiaan mendalam. Sudah 5 tahun semenjak dirinya melakukan barter dengan Hendra (Hendra berkenan menjabat sebagai CEO dengan syarat diberikan kebebasan tinggal diluar rumah induk), cucu laki-lakinya tidak pernah datang ke rumah ini kecuali dipaksa atau terpaksa. Hari ini Hendra berinisiatif untuk pulang. Walaupun kepulangan tersebut dikarenakan kondisinya yang sedang mengalami musibah.     

Seorang pelayan tergesah-gesah membukakan pintu untuk Wiryo. Tetua memasuki rungan dan mendapati dokter dibantu susternya sedang mengopres memar di lengan kiri Hendra. Tangannya tampak memerah dan bengkak. Pria tua itu sempat menanyakan apakah perlu tindakan lebih lanjut. Misal CT (computerized tomography) scan atau MRI (magnetic resonance imaging) scan.     

Ternyata dokter telah berhasil memberikan diagnosa terbarunya, lengan Hendra mengalami Fraktur stres (retak kecil akibat tulang bekerja secara berlebihan atau melakukan gerakan yang sama secara terus-menerus). Perlu pemasangan gips untuk mengurangi kerja lengan kirinya termasuk penyangga tangan. Wiryo duduk disana menunggu cucunya selesai menerima perawatan.     

"Apa yang ingin kau katakan, sampaikan saja". Ya begitulah Hendra, lelaki ini tidak tahu cara berbicara dengan benar dihadapan orang tua. Tetapi hal tersebut bukanlah sertamerta kesalahannya. Dia tumbuh dan didik dengan mandiri serta pendekatan keras tanpa ampun, bahkan tidak ada waktu untuk berbicara menggunakan rasa. Pembiasaan yang dia terima adalah bagaimana menjadi kuat tanpa pertolongan. Termasuk menghilangnya kata-kata manis.     

Belum sempat tetua Djoyodiningrat menjawab pertanyaan Hendra. Seorang pengawal memasuki ruangan, membisikan sesuatu kepada Wiryo.     

"Jika kondisi mu telah pulih, besok datanglah ke lantai D. Sudah saatnya kau memimpin rapat disana". Wiryo memberikan instruksi.     

"Aku bukan kau, aku tidak perlu kesana. Itu bukan tempat ku".     

"Sekeras apapun kamu menghindarinya tempat itu akan menjadi bagian dari hidup mu, jika kau ingin menjaga orang-orang yang kau cintai tetap hidup".     

"Aku ditumbuhkan tanpa cinta. Jadi aku terbebas dari ancaman apapun".     

"Bisakah kau keluar". Hendra meminta dokter dan suster yang selesai memasang gips untuk segera pergi. Tidak baik pembicaraan cucu dan kakek ini didengar oleh orang lain.     

"Untunglah kau sekuat itu".     

"Namun ku harap kamu punya empati untuk menjaga pasangan mu". Wiryo menambahkan.     

"Maksudmu?".     

"Putri Lesmana".     

"Sudah aku peringatkan dia akan jadi taruhannya".     

"Taruhan?? Tunggu apa hubungannya Aruna dengan kejadian hari ini. Dan apa hubungannya Aruna dengan lantai D??". Hendra sama sekali tidak mengerti ungkapan yang dilontarkan kakeknya.     

"Setiap perempuan di keluarga ini adalah sasaran empuk untuk mereka yang mengincar posisi Presdir".     

"Mobil mu di sabotase. Mungkin mereka sudah mendengar rencana pernikahan mu. Apalagi jika tahu bahwa calon istri mu adalah putri Lesmana (mantan asisten terbaik ku). Mereka sadar betul kau penerus tahta ini berikutnya".     

"Mereka? siapa mereka?".     

"Seandainya kakek tahu. Kakek tidak perlu melibatkan mu dalam misi ini". Lelaki tua itu berdiri dan mulai meninggalkan cucunya.     

***     

"Dimana nona?". Hendra mencari Aruna. Namun yang dia dapati adalah Gayatri, sedang berdiri tidak jauh darinya. Ibu Hendra selalu memiliki ekspresi sama pada wajahnya kecuali dia berhadapan dengan putranya. Perempuan itu akan menatapnya tanpa henti. Dan Hendra sangat benci keadaan ini.     

Anak laki-laki yang dirindukan ibunya. Acuh, berbalik mengabaikan keadaan setelah mendapatkan informasi tempat Aruna merapikan diri dan bisa jadi tempatnya beristirahat.     

Sangat ragu, pria itu hampir putus asa untuk sekedar membuka pintu. Sempat melirik handphonenya, pukul 19.25, bukan jamnya tidur. Mungkin dia bisa menemukan gadis mungilnya sedang sibuk di dalam.     

Sayangnya ketika Hendra melangkah ke dalam, dia dapati selimut diatas ranjang tergulung. Pria itu langsung mudur dan menyelinap ke luar.     

_Bagaimana aku bisa melewati pernikahan ini, melihatnya tidur saja aku tidak sanggup_     

Hendra memerintahkan orang membangunkan Aruna. Ketika gadis itu sudah duduk diatas ranjang. Pelayannya dengan ramah mempersilahkan Hendra menemui calon istrinya.     

Wajah Aruna masih lebam, bahkan matanya belum benar-benar dibuka dia masih berusaha menemukan kesadarannya. Mengucek-ucek mata sambil sesekali menguap.     

"Ayo bangun sudah saatnya pulang". Hendra membantunya sadar.     

"Aku capek aku mau sedikit...". Gadis itu menjatuhkan kembali tubuhnya ke ranjang berniat merebahkan diri lebih lama.     

Hendra sangat terkejut berusaha menangkap tubuh Aruna, sedikit kaku. Tangannya hanya berfungsi salah satu. Pria itu menangkap Aruna menggunakan tangan kanannya. Dia tidak bisa membiarkan Aruna terbaring.     

"Kau akan mendapat ciuman ke dua dari ku. Kalau tak mau bangun". Hendra menarik tubuh Aruna, mendudukkannya kembali. Gadis itu sangat terkejut dengan tindakan Hendra. Caranya sungguh absrud, membuat mereka terlalu dekat.     

Hendra menatapnya lekat-lekat.     

"Masih mau tidur?".     

"Atau kita perlu ujicoba?". Pria itu tersenyum dalam kejahilan. Berniat menakut-nakuti Aruna yang masih linglung karena capek dan kantuk.     

"Ranjang ini akan menjadi tempat terpanas kita setelah resmi menikah. Kita bisa mencobanya sebagai latihan". Mata Aruna terbelalak mendengar ucapan Hendra. Sungguh tak punya urat malu.     

"Tak!!". Aruna membenturkan kepalanya kasar mengarah pada kening Hendra.     

"Au... Kau ini...!!".     

"Au.. sakit sekali!!". Hendra mengeluh mengusap-usap keningnya.     

"Ini sekedar pemanasan. jika kau berani menyentuh ku seujung rambut saja. Akan kau dapatkan perlawanan dari ku". Aruna sangat kesal.     

"Liat saja!! Aku akan belajar bela diri dan menghabisi mu!!". Aruna menghempaskan rambut sebelum turun dari ranjang. Rambut terurai gadis itu sempat mendarat di muka Hendra. Pria itu tersenyum, melihat kemarahannya.     

_Bela diri macam apa yang bisa melindungi mu dari ku?. Ah' sayangnya aku laki-laki baik, tidak akan memaksa perempuan. Lebih parah lagi aku tidak punya kemampuan melihat mu terbaring_     

Aruna terlihat tergesa-gesa keluar dari kamar.     

"Sisir rambut mu dulu sebelum keluar!".     

"Orang-orang akan berfikir kita baru saja bergulat jika kau ke luar kamar dengan rambut acak-acakan". Sebenarnya Hendra hanya risih dengan sesuatu yang tidak rapi.     

"Aargh....!!". Aruna berteriak jengkel. Tapi dia menuruti permintaan Hendra.     

"Jangan mendekat atau ku lempar sisir ini pada mu". Hendra terlihat bangkit dan bergerak menuju ke arah Aruna.     

"Siapa yang mendekati mu?? Aku cuma ingin merapikan nakas". Pria itu mengamati bekas minum dan kue kering yang berserakan.     

Dia terlihat menghela nafas sesaat.     

"Setelah menikah, tidak ada makanan didalam kamar".     

"Melihatnya saja aku sudah tahu, kau memiliki pribadi yang berantakan dan ceroboh".     

"Ih' sok tahu".     

"Kepribadian ku adalah telaten dan baik. Teman-teman juga bilang aku ramah daaa..n payah" . (ー_ー゛)     

"Tapi...? Aku tak tahu?!, kira-kira aku payah dalam hal apa ya...??". Aruna gadis sederhana yang terlalu polos dan naif.     

Hendra hanya tersenyum mendengar ucapan Aruna. Pria itu benar-benar memunguti pecahan biskuit yang tercecer di karpet. Hendra seorang CEO perfeksionis terutama soal kerapian dan kebersihan.     

"Tuan muda anda dan nona sudah ditunggu Oma untuk makan malam".     

_Huuuh aku benar-benar lapar tapi aku tidak akan tahan mendengar majas Eufemisme_     

"Kenapa murung.. ayo!!".     

Keduanya menyusuri lorong menuju ruang makan utama.     

"Hendra apa kita akan makan dengan punggung tegak lagi??".     

"Ungkapan macam apa itu?! Aku tidak paham?".     

"Hendra bagaimana kalau kita makan diluar?!. akan ku pilihkan menu hebat untuk mu".     

"Tidak!! Selera mu makanan sampah!!".     

Aruna menyenggol tubuh Hendra tidak terima dengan ucapan pria itu.     

"Hai tangan ku sakit".     

"Oh' maaf-maaf?! Aku tak sengaja".     

"Hendra apa tangan mu patah?".     

"Iya..!! Seharusnya kau berterimakasih padaku".     

"Begitu ya..".     

Mereka tidak menyadari tetua dan sekertarisnya mengamati mereka. Aruna-Hendra.     

"Andos mulai sekarang kau bertugas sebagai ajudan cucu ku".     

"Dan persiapan tim khusus untuk menjaga anak itu (Aruna)".     

"Oh iya, kabarnya Surya telah mengambil banyak potret kebersamaan mereka. Minta dia menemui ku dan membawanya. Diana pasti membutuhkan bahan untuk analisis".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.