Ciuman Pertama Aruna

Tambahan Kompensasi



Tambahan Kompensasi

0"Au.. KAU.. !!".     

"Berani-beraninya menyentuh itu.. !!".     

"Sialan... Aargh... Sakit sekali... !!".     

Aruna mendorong tubuh Hendra dan segera menjauh ketika pria itu meringkuk kesakitan.     

"Hendra apa sangat sakit?". Aruna tampak khawatir melihat wajah pewaris Djoyodiningrat mulai memerah seperti kepiting.     

Akhirnya pria itu bisa duduk selonjoran dengan satu kaki ditekuk dan satunya lurus santai. Kaki kiri yang dia tekuk menopang sikunya, masih asyik memegangi kepala. Tampak tersiksa.     

"Hendra aku panggilkan pengawal mu ya??".     

_Apa mungkin dia cidera?!_ Aruna merasa bersalah.     

"Jangan..! jangan!.. kau tidak tahu hal semacam ini memalukan untuk diketahui sesama lelaki". Hendra mulai bisa menemukan dirinya.     

"Bagaimana kalau benda itu benar-benar cidera dan butuh penanganan dokter?!". Aruna manyun, bingung jadi satu.     

Hendra hanya meliriknya.     

"Mendekatlah!".     

"Kau ingin aku sembuh kan?". Pinta Hendra merasa butuh menghukum Aruna lagi.     

"Tidak aku tidak mau". Gadis itu semakin mundur.     

"Aku cuma ingin kau mengipasi ku, apa itu sangat sulit?!". Permintaan Hendra disambut Aruna. Putri Lesmana bersimpuh dilantai, mendekat dan mulai mengipasi wajah tomat Hendra menggunakan lembaran MOU.     

Sesaat Aruna merasa ada poin yang harus diajukan kepada pria mesum ini.     

"Kenapa berhenti". Hendra melihat Aruna yang sedang mengamati 'itu'.     

"Mengondisikan benda itu belum ada di kontrak!". Aruna terlalu polos.     

"Bwa hahaha". Hendra tidak tahan untuk tidak tertawa.     

"Apa kau takut aku menumbuhkan benih di perutmu".     

_Hal semacam itu akan aku lakukan, andai aku bisa. Sayangnya, Aku saja tidak yakin bisa tidur di samping mu_ Hendra mulai kalut.     

"Benih??". Aruna menyusun pemahamannya.     

"Ka..kau.. ?? Kau tidak berencana membuatku punya bayi kan?!!". Aruna ngeri membayangkan dirinya punya bayi dengan CEO gila.     

Hendra mendekat dan berbisik, suara rendah menggoda.     

" 'itu' sudah cidera. Aku tak yakin bisa berfungsi dengan baik. Apa kita perlu mencobanya..?? Supaya tahu si 'itu' bisa dipakai atau tidak?!!". Canda Hendra.     

Aruna kelabakan dan mundur menjauh dari lelaki aneh. Sekali lagi Hendra melempar senyum kemenangan, bahagia. Lesung pipinya yang mahal terlihat demikian jelas.     

Putri Lesmana segera merapikan lembaran MOU. Menemukan dirinya perlu membuat benteng terkuat dari ke absrud'tan cucu Wiryo. Menyodorkannya lembar MOU kepada Hendra dari jarak jauh.     

"Aku mau poin 21 di tambah!!".     

"Harus ditambah!!". Aruna bersih keras.     

Hendra hanya mengernyitkan dahi. Lalu menggelengkan kepala.     

"Berciuman jika diperlukan, dan tidak ada kontak fisik lainnya!!". Aruna mengajukan kalimat tambahan dengan serius.     

"Apa kompensasi untuk ku?". Hendra mulai berulah lagi.     

Aruna menerawang. Mencari-cari apa yang bisa dibarter dengan kalimat tambahan poin 21.     

"Kita bisa tidur dalam satu ranjang". Maksudnya Aruna bersedia menghapus poin 48.     

"Tapi..?? Apa ranjang di kamar kita nanti besar??".     

_Aku perlu memastikan bisa memberi pembatas ditengah-tengah dan tidur disisi paling tepi_ Aruna bersiasat.     

"Hai kau meremehkan keluarga ku ya.. standar bed di keluarga ku, Super King Size!!". Hendra mengarahkan telunjuknya pada ranjang abu-abu yang terhampar kokoh didekat mereka. Ranjang yang bisa muat untuk 4 orang sekaligus.     

Aruna manggut-manggut. Gadis itu berharap permintaannya segera di penuhi Hendra.     

"Sayangnya aku tidak tertarik. Sudah ku katakan, tanpa ditulis dalam MOU pun, aku bersedia melakukannya". Hendra mengangkat bahunya menunjukan dirinya tidak berminat.     

"Lalu apa yang kau inginkan dari ku, supaya kamu mau". Aruna terlihat memohon.     

Hendra tersenyum senang dalam kejahilan.     

"Selain mencoret 48, berikan aku si merah yang membuatmu menendang si 'itu' ".     

"Hehe". Lesung pipi Hendra menghiasi wajah tampannya sekali lagi.     

"Si merah??". Aruna tidak paham.     

"Hah.. Payah!". Keluh Hendra menemukan calon istrinya terlalu lugu.     

"Aku minta bibir merah mu sebagai tambahan kompensasi". Pinta Hendra terang-terangan. Jawa-England yang rupawan tapi menjengkelkan. Masih duduk dilantai, diujung sana tepat di depan Aruna. Dengan kaki selonjor salah satu dan di tekuk pada sisi satunya. Tangannya sudah tak lagi memegangi kepala. Santai menyandarkan diri pada bed abu-abu.     

Senyam-senyum sendiri, sesekali bulu mata lentik menyatu. Menangkap Aruna yang masih bimbang.     

"Punya bayi?! Sepertinya akan menyenangkan. Aku harap dia cerdas dan tampan seperti ku". Pria itu membanggakan dirinya sembari menakut-nakuti Aruna.     

Bagi Hendra hal ini hanya sebuah kejahilan yang menguntungkan. Bagi benak Aruna, poin tambahan sangat penting sebagai jaminan hidup bersama CEO aneh selama 2 tahun.     

Gadis itu berfikir keras. Sesaat setelahnya, runtuh dan terbujuk. Hendra sangat lihai melobi, insting dalam pekerjaannya sering menguntungkan bagi kehidupan pribadinya.     

Lutut gadis itu bergerak malu-malu mendekati Hendra. Matanya terpejam rapat-rapat. Sangat tak ingin melihat muka pria didepannya.     

"Huuuh". Kini Hendra yang kelabakan. Jantungnya berdetak kencang seakan mau copot dari wadahnya.     

Matanya berbinar menatap Aruna yang bergerak perlahan menuju kearahnya. Beberapa kali lelaki itu menelan ludah. Dadanya berdebar-debar, menyambut Aruna yang semakin dekat.     

Perempuan mungil terhenti sejenak dan mengintipnya. Ketika dia telah berada di antara kaki Hendra.     

Dunia sang CEO melambat, terfokus pada si merah merona indah didepannya. Naluri alamiah mengajarkan pada dirinya cara menemukan sudut ternyaman.     

Hendra meletakkan salah satu tangannya pada pinggang Aruna dan tangan lainnya menyusup di sela-sela rambut Aruna. Dia memegang sudut belakang leher Aruna.     

Perlahan menariknya mendekat, menenggelamkan tubuh mungil gadis kontraknya dalam dekapan hangat yang menjalar di seluruh tubuh. Bukan sekedar rasa hangat, memeluk tubuh Aruna begitu melegakan. Seluruh ototnya seakan kehilangan kekuatan, melemah menemukan tempat ternyaman.     

Dia beberapa kali dipeluk sembarang oleh perempuan. Namun belum pernah mempersembahkan pelukan kepada mereka. Mendekap Aruna merupakan inisiatif pertama dalam hidupnya.     

Aruna sempat membuka mata sesaat. Memukul kasar tangan nakal di pinggang. Dan segera menutupnya kembali ketika mata biru menerobos lekat padanya.     

Hendra siap mendapatkan yang dia inginkan. Nafas tersengal-sengal ketakutan milik Aruna begitu dekat dia rasakan.     

Mata biru semakin teduh, fokus dan perlahan menggelap. Bibirnya meraih. . .     

"Hendra! Kita sudah... ".     

"Ups?!... ".     

_Wow mereka sedang apa??_     

Dan gagal menyentuh.. (- _-'')     

"Hais!!...". Sekertarisnya datang di waktu tidak tepat. Terlalu bodoh!.     

"KELUAR KAU!!". Hendra berteriak jengkel.     

Mendengar suara Surya yang beradu dengan Hendra, Spontan Aruna mendorong kasar tubuh CEO dan bergegas bangkit merapikan diri. Gadis itu berdiri kikuk, linglung, tidak yakin apa yang barusan dia lakukan.     

"Ma.. maaf.. ". Surya membuat gerakan menenangkan, telapak tangannya di ayun-ayunkan mengarah pada Hendra, perlahan mundur dan berbalik melangkah keluar. Ingin lenyap dari tempat itu.     

Ternyata gerakan kakinya kalah cepat dari calon istri atasannya. Aruna berlari gesit menuju pintu. Menghilang dari kamar hotel pribadi milik Hendra.     

"Kau tahu, mengapa seorang sahabat bisa membunuh?!". Hendra berdiri dan mulai bergerak memberi ancaman.     

"Mati aku..". Sekertaris itu bergumam. Menundukkan kepala, pasrah menerima segala bentuk hukuman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.