Ciuman Pertama Aruna

Persekian Detik



Persekian Detik

_Dasar Aneh!!, sepenting apa tidur lebih dahulu dari yang lain?!_     

"Baca ulang poin 3, 21 dan 47". Pinta Aruna. Beranjak dari duduknya mendekati Hendra. Menyerahkan lembaran MOU kepada Hendra.     

*Pernikahan minimal berlangsung selama dua tahun, tetapi jika perpisahan dirasa masih sulit dilaksanakan maka dapat diperpanjang hingga keadaan memungkinkan (3)     

*Berciuman jika diperlukan (21)     

*Tidak ada kontak fisik (47)     

Hendra tampaknya sudah membaca sesuai perintah Aruna, pria itu mendongak kepada Aruna yang berdiri di depannya.     

"Poin 47 dan 21 keduanya saling tumpang tindih, artinya salah satu harus di hapus". Jelas Aruna.     

"Kau tahu, setiap poin yang aku ajukan sudah ku pertimbangkan dengan matang. 21 tidak mungkin di hapus!". Entah mengapa semenjak mencuri ciuman pertama Aruna, lelaki bermata biru selalu tertarik dengan rona kemerahan yang merekah pada bibir Aruna.     

"Ketika prosesi pernikahan berlangsung dan para undangan ingin menyaksikan moment French Kiss. Tentu saja sebagai mempelai pria aku perlu memastikan pasangan ku tidak akan menolaknya. Ada banyak kolega keluarga yang hadir. Tidak lucu kan kalau itu terjadi". Alasan Hendra cukup masuk akal.     

"Baiklah.. baik, aku tidak berencana menghapus poin 21. Tapi poin 47 juga telah kita sepakati artinya poin itu memiliki kekuatan yang sama legalnya dalam perjanjian kita". Aruna memiliki tujuan lain. Sesuatu yang lebih penting.     

"Aku akan menghapus poin 47". (Poin yang berasal dari Aruna) Hendra tersenyum sumringah mendengar ucapan Aruna. Lekas-lekas disembunyikan supaya tidak berlebih.     

"Sebagai gantinya aku minta kamu menghapus kalimat terakhir di poin 3. (tetapi jika perpisahan dirasa masih sulit dilaksanakan maka dapat diperpanjang hingga keadaan memungkinkan)". Aruna butuh kepastian, 2 tahun. Tidak lebih.     

Kekuasaan pewaris Djoyodiningrat tidak bisa di prediksi. Jika kalimat itu masih tertera Aruna bisa dijadikan bonekanya seumur hidup.     

Hendra terdiam sesaat, mata mereka saling bertemu.     

"Kalau aku tidak mau?!". Hendra melempar kata-katanya sembari menatap Aruna dengan lekat.     

"Poin 47 akan tetap berlaku!". Tegas Aruna. (47 = tidak ada kontak fisik artinya 21 tidak bisa diberlakukan)     

"Aku sedang memberi penawaran. Aku rela menghapus poin pengajuan ku. Kamu juga harus menghapus poin yang kamu ajukan. Silahkan dipilih 21 atau kalimat terakhir dari poin 3". Ucapan Aruna membuat Hendra berfikir jeli. Kalau toh dia tidak menghapus kalimat terakhir dari poin 3. Gadis itu akan tetap berusaha keras pergi darinya setelah dua tahun. Kecuali dia bisa membuatnya jatuh cinta.     

Pria itu melirik bibir Aruna lebih dalam.     

_Ah' aku bisa merasakannya sekali lagi_ Hendra berdiri mengambil bolpoin dan mencoret kalimat terakhir pada poin 3.     

Aruna terlihat lega. Perempuan itu kembali duduk dan menenggelamkan dirinya pada lembar MOU. Dia sedang mencari cara membuat negosiasi berikutnya.     

"Percuma kau membacanya berulang-ulang, penawaran mu hanya sisa 2 poin sederhana. Tidak ditulis dalam MOU pun, aku bersedia melakukannya". Hendra tahu poin yang di ajukan Aruna hanya 3 dan sangat sederhana.     

*Menghargai orang tua dari kedua belah pihak selayaknya sebuah keluarga (46) (hal semacam ini pasti dilakukan Hendra bahkan ketika di rundung kakak-kakak Aruna, pria itu berusaha menjaga logikanya)     

*Tidak ada kontak fisik (47) (baru saja di coret)     

*Tidak tidur dalam satu ranjang (48) (Hendra tidak yakin post-traumatic disorder yang dia derita bisa dikendalikan, perlu treatment panjang untuk sekedar tidur dalam satu ranjang dengan Aruna).     

"Jangan menggangguku!!". Protes Aruna.     

"Apa-apaan ini?". Tambah Aruna.     

"Tidak diijinkan menyimpan dan mengonsumsi golongan obat benzodiazepine (obat tidur) antara lain Alprazolam, Lorazepam, Diazepam, Zolpidem, Temazepam, Estazolam (obat tidur dosis tinggi). Bagaimana seandainya obat-obat itu di butuhkan dalam tindakan medis. Sakit bisa datang kapan saja bukan!?". Aruna tidak habis pikir dengan poin-poin perjanjian yang begitu aneh.     

"Walau sekarat, aku tidak akan meminumnya. Termasuk istriku, tidak akan ku biarkan mengonsumsi benzodiazepine". Ucapan Hendra dingin dan menakutkan.     

Aruna mengamatinya, sedikit merinding.     

Tapi dirinya tidak tahan untuk membaca poin lain yang semakin nggak masuk akal.     

"Tidak di ijinkan menuntut, meminta dan berharap dirawat ketika sakit. Ah' ini tidak manusiawi??". Aruna geleng-geleng kepala. Tidak percaya dengan permintaan Hendra.     

"Kau bisa merawat ku, ketika aku sakit. Tapi aku belum tentu bisa melakukannya untuk mu". Ekspresi Hendra dari menakutkan berubah jadi sedikit gelisah. Aruna sama sekali tidak tahu. Hendra tidak punya kemampuan menghadapi kondisi tertentu, terutama perempuan yang terbaring sakit.     

"Mengapa kau tidak menuliskan hal-hal wajar, umumnya perjanjian pernikahan. Dilarang selingkuh. Tidak boleh chatting dengan pria lain. Atau keluar rumah harus atas ijin suami". Poin perjanjian Hendra terlalu unik. Bahkan Aruna tidak sanggup melanjutkan pembahasan isi kontrak pernikahan mereka.     

"Yang seperti itu tidak lebih penting dari yang aku ajukan sebagai poin perjanjian".     

"Apa?? Kau bisa terima istri mu jalan dengan orang lain, tetapi tidak tahan saat dia tidur lebih awal dari mu??".     

"Ya. Tentu saja!".     

"Ada masalah??". Hendra sadar dirinya berbeda.     

"Aku mengerti sekarang!!".     

"Kamu bukan lelaki bermata biru misterius, itu terlalu bagus". Gerutu Aruna. Kesan pertama yang pernah dia bangun.     

"lebih cocok sebagai pria mesum dengan pemikiran aneh". Ejek Aruna.     

"Aah... Kau berani menghinaku".     

"Itu bukan hinaan, tapi realita. Ya kan!?". Rumor Tania dan ciumannya. Sesuatu yang sempurna untuk disimpulkan.     

"Dengan status ku yang begitu menarik, aku masih perjaka. Dan kau berani menyebut ku pria mesum!!?". Hendra mendekati Aruna. Menemukan tali sepatu Aruna terlepas, menjuntai di lantai. Dengan sedikit kejahilan, Hendra sengaja menginjak tali sepatu Aruna diam-diam.     

"Aaaaaa.. ". Sesuai prediksi gadis itu berbalik, melangkah pergi namun sepatu kirinya tersangkut sesuatu dan kehilangan keseimbangan. Hendra segera meraihnya, menghukum hinaan yang baru dia lontarkan dengan mendekap erat seolah-olah sedang menolong.     

Mata Aruna terbelalak dalam pelukan Hendra. Dia tidak ingin ditolong apa lagi di peluk erat seperti ini. Tersungkur lebih berharga dari pada berakhir dalam dekapan pria menyebalkan.     

Aruna mencoba melepaskan diri. Mendorong tubuh pria itu sekuat mungkin. Dan persekian detik. Keduanya terlempar ke lantai. Untung saja Hendra masih awas untuk menopang tubuhnya dengan siku dan tangan. Dia tidak benar-benar menindih Aruna. Walau pun terlihat seperti itu.     

Aruna masih syok dengan tubuhnya yang terjatuh. Ketika mata pria diatasnya menggelap dan terlalu fokus mengamati bibir merah merona yang dia damba. Neuron diotak telah lumpuh tak sanggup melawan keinginan yang membuncah di hatinya. Ciuman pertama begitu membekas, mendorongnya ingin merasakan sekali lagi dan lagi.     

Pria itu Mendekat, menghirup harum nafas Aruna. Sebelum akhirnya tendangan keras menyakitkan mendarat tepat pada sesuatu berharga dibawah sana.     

"Au.. KAU.. !!".     

"Berani-beraninya menyentuh itu.. !!".     

"Sialan... Aargh... Sakit sekali... !!".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.