Ciuman Pertama Aruna

Pembawa Pisau Bermata Dua



Pembawa Pisau Bermata Dua

0'Hendra, Aruna, Damar'     

Berdiri dalam satu garis lurus.     

Dimana sang gadis pembawa rona kemerahan berada tepat ditengah-tengah dua pria pada jarak yang sama.     

"Aruna sebaiknya kita masuk terlebih dahulu". (setelah itu terserah kamu) Hendra mencoba menghentikan langkah Aruna. Gadis itu menoleh sesaat, terlihat ragu.     

Sebelum akhirnya benar-benar pergi, berjalan menjauh, menuju laki-laki lain diujung sana.     

"Huh". Hembusan nafas berat menjelma menjadi rasa sakit yang lebih dalam. Pukulan-pukulan yang tadi dilayangkan sang penakluk hati kini mulai menimbulkan rasa sakit. Hendra baru menyadari ada rasa memar di bagian wajahnya dan matanya masih berair.     

Pria itu memejamkan mata sesaat. Bukan lagi rasa hangat yang menjalar di tubuhnya, ada ngilu yang berasal dari dada, sulit dijelaskan.     

"Damar maaf...". Aruna menyentuhkan jemarinya pada lengan Damar.     

Pemuda beraura khas itu tersenyum.     

"Pasti sudah lama menunggu". Aruna tidak berani menatapnya, gadis ini merasa bersalah.     

"Tak apa, tak masalah".     

_posisi ku hanya bisa menunggu mu_ Damar menyadari realita yang tergaris dalam jalan cintanya.     

"Apa kamu masih bisa menungguku lagi?, em.. aku harus masuk dahulu. Mungkin aku bisa keluar. Namun, butuh sedikit usaha". Aruna ingin membayar kesalahannya.     

"Tentu!. Bukankah aku selalu berada di tempat yang sama". Damar menyatakan konsistensinya.     

"Terimakasih Damar". Aruna tersenyum. Menumbuhkan rasa bahagia dalam diri pemuda itu, seperti kecambah yang tersiram air, merekah dan mengembang. Mendesak secara perlahan tanah gembur berserakan.     

Jika Hendra adalah kecambah yang tumbuh maka dia masih dalam tahap imbibisi (biji yang mengembang dan mulai pecah' karena menyerap air dari lingkungan sekitarnya)     

Sedangkan Damar, pria itu selangkah lebih cepat. Epikotil telah mencapai permukaan tanah tinggal menambahkan daun, memperbesar batang dan mendorongnya untuk segera berbunga kemudian berbuah. Hendra tertinggal cukup jauh.     

(Epikotil adalah ruas batang di atas daun lembaga (daun pertama) yang akan tumbuh menjadi batang dan dedaunan)     

***     

Hendra sedikit ragu memasuki pintu rumah keluarga Lesmana. Mengingat kejadian tadi pagi membuatnya menyadari betapa bencinya dua kakak Aruna kepadanya. Walau sejujurnya mereka bahkan tidak saling kenal. Sekedar menyimpulkan satu sama lain.     

"Oh' ya tuhan?". Seorang pelayan keluarga yang belakangan diketahui bernama Linda. Sempat tersentak ketika membukakan pintu rumah. Dia bertanya dengan serius kepada Aruna, apakah nonanya benar-benar akan membawa tuan muda Djoyodiningrat itu masuk?.     

Seminggu ini, keluarga majikannya lebih banyak bertengkar dan penyebab utamanya berasal dari laki-laki yang kini berdiri dibelakang si bungsu.     

"Ayah ada di rumah?".     

"Panggilkan ayah ya mbak". Putri bungsu keluarga Lesmana meminta Hendra masuk dan duduk di ruang tengah. Sebuah ruangan yang menjadi pusat aktivitas. Tangga lantai 2 berakhir di tengah-tengah ruangan ini. Bahkan kolam renang keluarga yang terletak di luar kaca besar. Berada lurus tepat disebelah kanan.     

Sesaat kemudian seseorang menuruni tangga. Tapi bukan Aruna atau Lesmana. Aruna baru saja pamit naik ke atas.     

Perempuan sebayanya berusaha mengamati Hendra. Hendra sadar akan datang hal tidak menyenangkan menghampirinya.     

"Wah' tuan muda. Besar sekali nyali anda berani ada disini". Alia menyapa.     

"Untung kakak laki-laki ku tidak ada".     

"Tunggu-tunggu atau aku perlu meneleponnya supaya suasana semakin seru".     

Hendra hanya tersenyum mendengar ucapan kakak Aruna. Bagaimana pun juga, mereka harus dihormati. Mereka akan jadi bagian dari keluarga.     

Hendra bangkit dan memberi hormat.     

"Terimakasih, mohon maaf jika anda terganggu dengan kehadiran saya". Pria ini sadar tidak ada ungkapan terbaik selain mengalah. Dan secara tersembunyi, dia bersyukur bukan perempuan dihadapannya yang menjadi calon istrinya.     

Alia adalah putri Lesmana yang pada mulanya direncanakan sebagai pemenuhan janji Lesmana kepada keluarga Djoyodiningrat.     

"Bagaimana kau bisa berada disini?". Ucapan Alia serius, bukan lagi sebuah sindiran.     

"Aku mengantarkan Aruna pulang. Dan sedang menunggu ayah anda". Hendra mencoba bersikap biasa saja.     

"Ah' adik ku selalu polos dan baik". Terlihat jelas dia sedang kecewa dengan kelebihan Aruna.     

"Kau tahu, kami tidak akan pernah menerimamu. Kami akan selalu mencari cara mengambil Aruna dari mu sampai kapanpun. Jadi bersiap-siaplah". Alia menunjukkan ekspresi reseknya. Gadis ini berbeda dengan Aruna. Auranya lebih dominan dibandingkan adik mungilnya yang cenderung ramah.     

"Mengapa kau biarkan dia menggantikan mu, jika akhirnya hal semacam ini yang kau lakukan".     

"Aliana".     

"Ah' kakak macam apa kamu?!. Menyedihkan!".     

Hendra terpancing menunjukkan jati dirinya.     

"Plak". Gadis itu menampar kasar Hendra.     

Hendra hanya tersenyum dan menatapnya datar.     

Sesaat kemudian terdengar langkah kaki. Kepala keluarga rumah ini datang, Alia terlihat jelas berusaha menutupi kejadian barusan. Dia bergegas pergi menghindari ayahnya.     

"Sudah lama menunggu?". Sapa Lesmana.     

"Belum om".     

"Panggil aku ayah, bukankah itu panggilan yang tepat?". Lesmana menggodanya. Hendra tersenyum.     

"Mana minumannya?".     

"Aruna!?". Pria itu berteriak. Memberikan instruksi.     

Putri bungsu turun dari tangga, berlarian kecil. Dia tampaknya baru mandi. Dan merubah tampilan sesuai outfit yang biasa dikenakan. Rambutnya bahkan sudah terikat kebelakang.     

Kemudian muncul dengan nampan ditangannya. Gadis yang Hendra tunggu berjalan berhati-hati meletakkan minum dihadapannya dengan manis dan beberapa biskuit didalam toples mini.     

"Ayah. Bolehkah setelah ini aku keluar sebentar?".     

"Dengan mas Hendra?".     

"Tidak, sendirian aja ayah".     

"Ini sudah malam lihat jam nya!".     

"Sebentar.. cuma beli makan sebentar".     

"Lho, bukankah di rumah ada banyak yang bisa dimakan".     

Wajah Aruna sedikit cemberut.     

Lesmana menangkap kekecewaan.     

"Mau beli apa?".     

"Aku cuma mau beli mie pedas, didepan sana. Gak jauh kok".     

"Ajak kakak mu ya.. tidak baik malam-malam sendirian".     

Aruna tersenyum senang.     

"Terimakasih ayah".     

Hendra tertegun. Dia begitu menikmati interaksi antara ayah dan anak yang tidak mungkin dia alami.     

Disisi lain dada pria ini sedikit sesak, menyadari Aruna akan keluar dengan lelaki lain yang menunggunya di depan.     

"Ayo silahkan di minum". Ucapan Lesmana menggugah Hendra dari lamunan.     

"Baik Ayah!". Entah mengapa ada perasaan bahagia dalam diri Hendra bisa menyebutkan kata 'ayah' kepada seseorang.     

***     

Hendra keluar dari pintu rumah gadis mungilnya, diantar oleh Lesmana dan Aruna. Bersamaan dengan datangnya mobil lain melintasi gerbang.     

Pria bernama Anantha keluar dari sana. Hendra berjalan menuju mobilnya. Dan kakak lelaki Aruna dengan sengaja menabrakkan sebagian tubuhnya kasar pada dada Hendra. Pria itu sedang menunjukkan kebenciannya.     

Hanya Aruna yang menangkap kejadian itu. Ayahnya sudah mundur terlebih dahulu.     

"Hai si kecil". Sapa Anantha, tidak menyadari Aruna tahu kelakuannya pada Hendra. Kakak lelakinya punya kebiasaan mencium rambut Aruna, sebelum akhirnya menyusup kedalam rumah.     

Setelah memastikan kakaknya menghilang. Aruna berlari, mengetuk jendela mobil Hendra yang perlahan mulai mundur. Pria itu menurunkan kaca mobilnya.     

"Hendra maaf".     

"Maafkan kakak ku ya.. mereka hanya terlalu sayang pada ku, dan begitu tersiksa harus menyerahkan adiknya pada keluarga mu".     

Hendra mengangguk ringan.     

Mungkin sikapnya yang seperti ini, yang telah memikat hati banyak orang. Lembut dan menenangkan.     

"Hati-hati dijalan, semoga matanya segera sembuh".     

"Kau tidak ingin minta maaf untuk ini". Hendra menyentuh sudut matanya.     

"Enggak".     

"Karena kau terlalu jahat padaku hari ini". Imbuh Aruna.     

"Hehe". Pria itu tertawa kecil, menangkap kepolosan Aruna.     

"Baiklah aku minta maaf". Kalimat yang langka dari mulut pewaris Djoyodiningrat. Kata 'minta maaf' adalah ungkapan yang hampir hilang dari kosakata Hendra.     

"Ya.. jangan di ulangi, kita sudah impas". Tangan Aruna bergerak ringan bermakna 'dada, hati-hati'.     

Hendra mengucapkan kalimat terakhirnya.     

"Jangan pulang terlalu malam!". Disusul menghilangkannya mobil Rolls royce, tergeser oleh gerbang putih.     

***     

"Dek hati-hati, ingat kompensasi untuk kakak" (dibawakan camilan). Ungkapan Alia menghantarkan lari kecil Aruna menuju mobil Van Damar.     

"Jangan sampai bapak cerita ke ayah. Kalau ayah tahu, ku pastikan bapak menyesal". Ancam Alia kepada satpam keluarga.     

Mobil Damar melaju bersama perempuan pembawa pisau bermata dua. Perempuan penabur benih di hati dua anak manusia yang siap memperebutkannya. Tanpa dia sadari, benih itu tumbuh dan menuntut haknya.     

Mereka selalu berharap mendapatkan sinar paling dominan, atau air yang menyuburkan. Mengambil setiap waktu untuk merayunya, menemaninya dan meyakinkan bahwa si 'aku' lebih layak dari pada si 'dia'.     

Selama pembawa pisau bermata dua enggan untuk memilih, sekeras itu pula mereka akan saling mematahkan. Menjejalkan rasa sakit paling dalam, tanpa obat pereda.     

Keduanya bermunajat untuk terpilih, namun enggan mendesaknya segera memilih. Karena ketika perempuan itu mengangkat senjatanya. Jelas salah satu pasti terluka. Dan belum ada yang berani menyatakan dirinya siap kalah.     

Mobil Van tidak menyadari ada mobil lain mengekor dibelakang. Rolls royce belum benar-benar pulang, dia hanya menyelinap di tempat yang tepat. Kemudian memburu keinginannya.     

Logikanya berkecamuk, si penantang sungguh tak ingin melakukan ini lagi. Sayangnya rasa penasaran lebih kuat menuntut pemiliknya dari pada susunan teori etika yang terbenam di dalam otak.     

Mobil Van perlahan melambat, kemudian terhenti. Seorang yang baru keluar, tampak ditarik mundur kembali kedalam mobil oleh manajernya. Dan sesaat kemudian keluar dengan topi hitam serta syal melilit menutupi wajah. Tentu saja itu Damar.     

Terlihat dari kejauhan pria yang terbungkus syal sedang memegangi pintu mobil, seolah mempersilahkan yang didalam keluar. Dan mulailah kidung cinta berbisik menyerukan kehadirannya. Tersenyum merekah, sembari melambaikan tangan. Menghantarkan kepergian Van. Mereka kini berdua saja.     

Rolls royce merayap lebih dekat. Bukan untuk menyatakan perang. Pemiliknya sedang mencari jawaban dari teka teki yang terus menggelitik pikiran 'Strategi diluar ekspektasi'. Seperti apa itu?.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.