Ciuman Pertama Aruna

Sumber Mata Air



Sumber Mata Air

0Sangat berhati-hati supaya tubuh mungil tidak menyadarinya. Dia mengendus berapa kali. Ada bau yang terlalu harum dan cenderung berbahaya untuk laki-laki normal dengan naluri biologisnya.     

.     

.     

Dia tidak tahan akhirnya terduduk membuat si perempuan terbangun.     

"Kenapa kau ada di sini?? tadi kan tidur di bawah?!".     

"Aku tidak bisa tidur". Hendra merengek.     

"Huuuh' kau ini selalu saja ribet".     

"Aruna badan mu baunya terlalu menyengat!".     

"Apa.. aku bauk?!".     

"Tidak.. tapi tolong carikan aku masker!. kau punya masker?!".     

Gadis itu benar-benar mencium ketiaknya sendiri, memeriksa apa dia terlalu bau. Karena laki-laki yang di sampingnya menutup hidungnya rapat-rapat.     

"Sungguh! Beritahu aku! Apakah aku bau??". Dia memeriksa lagi badannya beberapa kali.     

"Tidak.. kau hanya terlalu harum.. sangat harum.. itu berbahaya untuk ku. Lain kali tolong jangan pakai sabun itu lagi!". Hendra keberatan.     

"Ini kebiasaan sederhana ku, supaya bisa tidur nyenyak. Kenapa pakai lotion dan sabun yang aku sukai aja nggak boleh!!".     

"Kau tahu.. bau mu bisa meningkatkan libido ku sebagai pria. Dan itu berbahaya, kecuali kamu berkenan aku apa-apakan!".     

"Ah.. sebal, kata-kata mu membuatku takut". Aruna berdiri dan mencarikan masker untuk hidung cucu Wiryo. Dia tidak boleh menjelma menjadi CEO gila, apalagi setan berparas malaikat.     

"Apa ada masker selain warna pink".     

"Adanya itu jangan banyak protes!".     

Dan mereka pun berbagi ranjang kecil versi Hendra, ujung kepala dan ujung kakinya benar-benar mampat sepanjang ranjang Aruna.     

"Aruna..". Hendra bicara lagi.     

"Sekarang apalagi?? jangan mengganggu!".     

"Aku tidak bisa bergerak!".     

"Huuh.. aku mau tidur, terserah kamu bisa bergerak atau tidak".     

"Bolehkah aku menyingkirkan guling ini, dia memakan tempat yang banyak".     

"Asalkan kau tidak akan berbuat aneh-aneh padaku, kau bisa menyingkirkannya".     

Dalam tiga detik guling itu dilempar. Dan menit berikutnya sang perempuan tertidur, meninggalkan si pria yang kesulitan untuk memejamkan matanya. Kerlap-kerlip di langit-langit ranjang Aruna terlalu mengganggu. Unik sih.. tapi mengganggu mata.     

"Mengapa kau taruh benda-benda itu di atas ranjang".     

"Kamu seperti bayi yang sedang menikmati mainan berputar-putar di atas baby box". Keluhan Hendra bertambah.     

"Kamu itu berisik terus!?".     

Karena Aruna sudah kebanyakan diganggu gadis ini tak bisa lagi memejamkan mata.     

"Lihat itu..  (menggunakan tangan ke atas) sangat menyenangkan.. kalau aku menatapnya aku seakan diingatkan bahwa mimpi-mimpi ku seindah benda-benda cantik bersinar di atas ranjang ku"     

"Apa mimpi mu? Apa aku boleh tahu?".     

"Tak bisa lagi ku jawab.. toh semuanya sudah sirna sekarang".     

"Benarkah?! Mengapa apa mimpimu sirna?".     

"Ya.. karena aku mendapatkan sesuatu yang lebih besar secara tiba-tiba dan itu membuatku tidak lagi terlihat hebat".     

"Bisakah bercerita lebih jelas, aku kesulitan memahaminya. Kalau memang kamu tidak berkenan, coba analogikan dengan lebih detail". Hendra berupaya memahami perempuan yang bundanya bilang suka menyembunyikan keinginannya.     

"Kau tahu Hendra.. ketika kita mendaki gunung kita benar-benar menikmati indahnya perjuangan itu dan kita selalu berharap kita sampai di puncak dengan cara yang yang luar biasa".     

"Namun, sebelum kau sampai di puncak tiba-tiba ada helikopter yang turun membawamu terbang. Lalu dengan mudahnya kau tiba-tiba sampai pada titik tertinggi". Perlahan Aruna berkenan membuka dirinya walaupun sekedar analogi.     

"Artinya kau sampai di sana tanpa usaha, padahal Helikopter itu membuatmu tidak capek. Termasuk membuat mu menghemat waktu yang sangat banyak". Hendra menyangkal analogi Aruna, yang terkesan meraih sesuatu dengan cara konvensional.     

"Tapi kau tidak akan merasakan sensasi seperti menikmati pemandangan termasuk perjuangan sampai di tempat yang paling tinggi".     

"Aku termasuk orang yang meyakini menikmati proses adalah sesuatu yang paling indah, sehingga ketika sampai di atas kita bisa berbangga. Sudah berusaha dengan cara kita dan jerih payah kita sendiri".     

"Sedangkan ketika menggunakan helikopter, kita tak akan mendapatkan apapun. Kecuali orang berkata: 'tentu saja dia sudah sampai disana karena dia didukung oleh itu'".     

Hendra terdiam, dia tahu perempuan ini sedang menganalogikan kedatangannya dalam kehidupan sederhana yang dimiliki.     

"Mengapa kau tak mencoba membuat mimpi yang lebih besar lagi". Hendra membuat analogi baru agar Aruna membangun impian barunya.     

"Seperti apa?"     

"Jika kamu awalnya hanya ingin naik gunung, mengapa kamu tidak mencoba menemukan petualangan baru, lebih jauh lagi. Seperti berkeliling dunia dengan helikopter,  atau  menggapai puncak yang tak bisa lagi di jangkau helikopter".      

Mendengar arahan Hendra kali ini Aruna yang terdiam. Menata pernak-pernik yang ada diatas ranjangnya. Entah bagaimana ceritanya kepalanya sudah berada diatas lengan Hendra.     

"Selalu ada cara menemukan mimpi baru, masalahnya mau atau tidak". Pria itu berbisik mendekatkan kepalanya.     

Ungkapan Hendra menggiring sudut pandang Aruna.     

Gadis ini layaknya oase kosong yang perlahan menemukan sumber mata air, kemudian mata air itu mengisi cekungan lembah kering di atas gurun pasir.     

"Bagaimana dengan dirimu? Apa kau percaya dengan mimpi-mimpi mu?".     

"Aku bahkan tak memiliki apapun. Hidup ku sudah diatur sejak aku sampai di tempat ini. Maksud ku pulang ke negara ini".     

"Betulkah?". Aruna merasa ikut tertekan mendengar ungkapan hati Hendra. Sejujurnya mereka tidak pernah saling bicara. Apalagi sejauh ini. Aruna sungguh penasaran seperti apa laki-laki unik ini hidup. Dia terlalu berbeda bahkan seringkali menunjukkan ketidakmampuannya dalam beberapa hal sederhana.     

"Boleh aku tahu? Seperti apa hidupmu diatur?".     

"Aku punya jadwal yang harus ku tepati setiap saat".     

"Sejak kamu kecil??".     

"Sejak usia ku 6 tahun".     

Aruna mengarahkan dirinya kepada Hendra. Dia penasaran dengan ekspresi wajah lelaki bermata biru.     

"Apa kau tidak pernah nakal?? kemudian mengabaikan jadwal-jadwal mu?!".     

"Aku tidak menemukan hal lain yang membuat ku perlu mengabaikan jadwal yang diberikan, jadi ku ikuti saja semuanya".     

"Masak?... Sekecil itu kau tak ingin bermain atau melarikan diri dengan teman mu??. Aku dulu sering sekali melarikan diri ketika disuruh tidur siang dan Bunda akan marah besar. Tapi aku melakukannya setiap hari, tidak pernah kapok".     

"Aku kesulitan berteman sejak kecil dan tidak ada mainan yang membuat ku tergila-gila kecuali membaca buku".     

"Padahal Kau sangat menarik Hendra?!".     

"Apa yang menarik dari ku?".     

"Ya! Semua orang pasti tahu visual mu diatas rata-rata, belum lagi latar belakang keluarga mu. Aku malah berpikir mungkin waktu kecil sampai remaja kau adalah pembully yang ulung".     

"Kau menganggap aku pembully? dari mana kesimpulan itu?!"     

"Ya.. waktu aku dua kali datang ke hotel mu. Ku lihat beberapa orang begitu kaku dan canggung menghadapi mu pasti kau atasan yang galak dan jahat. Kau juga suka membully ku setiap saat".     

"Hahaha". Hendra tertawa melihat ekspresi Aruna yang berapi-api di atas lengannya.     

"Aku tidak sejahat itu. Mungkin karena aku sedikit protektif terhadap mereka dan cenderung perfeksionis. Kalau terhadap mu, itu hal lain karena kamu terlalu menarik untuk di jahili".     

"Menarik di jahili". Aruna terlihat berpikir keras. Awalnya dia ingin menaruh simpati kepada Hendra, atas kisah masa kecilnya. Tapi sekarang wajahnya sudah berubah. Dengan senyum aneh itu, Aruna sadar Hendra akan berulah.     

"Karena kau terlalu naif".     

"Aku tidak naif".     

"Yang benar.. ". Mata biru mulai menggoda istrinya. Merapatkan tubuh mungil mendekat ke dirinya.     

"Benar aku tidak naif".     

"Usia mu 20 tahun, kalau kau tak naif. Bagaimana bisa kau bertahan ketika aku mendekatimu seperti ini".     

Hendra mulai mengangkat tubuhnya dan menatapnya lekat Aruna yang setengah berada di bawahnya. Pria itu bahkan masih memakai masker pink.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.