Ciuman Pertama Aruna

Obat Penawar



Obat Penawar

0"Aruna bagaimana keadaan mu? sebentar lagi aku sampai".     

"Eem.. Hendra bukankah kamu ada dipesawat?".     

"Aku membatalkan penerbanganku".     

"Apa itu tak masalah?. Maaf sudah merepotkanmu".     

"Tak perlu khawatir.. bersiap-siaplah aku segera tiba".     

"Terimakasih". Bisik putri Lesmana.     

"Terimakasih banyak Hendra". Aruna mengucapkan lebih keras setelah suara diujung sana tidak terdengar (diam).     

Pria bermata biru menutup telpon dan bergumam : _bagaimana cara ku membencinya?!_     

.     

.     

Tepat setelah Hendra sampai para pengawal mulai membuka jalan agar tuan muda Djoyodiningrat bisa masuk ke lobby menuju lantai dua. Pengawalnya mendorong beberapa orang dan berusaha menghentikan wartawan termasuk kumpulan orang yang brutal mengambil foto.     

Hendra tidak berfikir mereka akan sebanyak ini. Dan ternyata tidak semua adalah wartawan, yang lainnya lebih mirip seperti fans.     

Pimpinan baru lantai D mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya dilakukan buzzer Pradita.     

Mengapa orang-orang ini begitu tertarik pada Aruna dan secara mengejutkan begitu berhasrat ingin mendapatkan foto dirinya. Ketegangan itu mulai memuncak ketika para satpam yang kelelahan menghentikan langkah Hendra bersama bodyguardnya meringsek masuk ke lobby terlebih berniat naik kelantai 2.     

"Mohon maaf anda-anda tidak boleh masuk". Tegas salah satu satpam.     

"Ini adalah kampus, wilayah akademis, tidak diperkenankan untuk bermain-main seperti ini". Tambah yang lain.     

Hendra hanya diam dibelakang, berusaha menyembunyikan dirinya dalam kaca mata hitam dan lebih sibuk melihat jam ditangannya. Dia membiarkan ajudannya melobi para keamanan kampus Tripusaka.     

"Jika anda tidak memberikan kesempatan tuan muda kami naik kelantai 2, kerumunan didepan tidak akan pergi". Jelas ajudan pewaris Djoyodiningrat.     

"Apa hubungannya kalian dengan lantai dua kami". Satpam itu minta penjelasan.     

"Ada salah satu mahasiswi yang terjebak diatas. Dan dia adalah calon istri tuan kami yang dicari-cari kerumunan orang didepan".     

"Apa namanya Aruna? Mereka mencari mahasiswi kami bernama Aruna". Balas Satpam.     

"Ya tepat sekali". Ajudan Hendra mengiyakan.     

"Tapi kami tidak diperkenankan membiarkan siapapun masuk kedalam kecuali para mahasiswa. Itu sebabnya kami berusaha keras menahan mereka, kami tidak tahu apa yang akan kalian lakukan didalam kawasan kampus kami. Jadi tolong kalian...". Belum selesai satpam kampus itu berbicara. Seorang gadis berhijab lari menuju mereka. Dia tampak ngos-ngosan dan kacau.     

"Pak.. pak.. aku.. aku yang akan jadi jaminan mereka. Bapak kenal aku kan? Aku mahasiswi disini". Dea berbicara dengan nada naik turun tidak jelas.     

"Bapak lelah.. aku juga sama, apalagi temenku yang diatas. Kasian sekali.. dia terjebak, belum makan, belum mandi. Bayangin ini udah mau magrib. Bapak enggak pingin ganti sift. Pulang ketemu anak istri". Gadis itu makin kacau, dia dan kakak Aruna sudah berusaha naik turun tangga mencari celah dan strategi agar Aruna bisa melewati kerumunan didepan. Nyatanya selalu gagal.     

"Dah gini aja. Tawan aku disini dan biarkan salah satu dari mereka naik supaya bisa bawa temen ku turun lalu kita semua bisa pulang".     

"Bagaimana?!". Dea memberi tawaran kepada kumpulan satpam kampus.     

"Biasakah kamu bicara lebih pelan?". Pertanyaan itu yang malah keluar dari mulut pak satpam. Dea terlalu bersemangat dia lupa cara bernafas dengan benar. Anak ini kecapekan.     

Secara spontan seseorang menyusup diantara yang lain menyerahkan air mineral kepadanya. Gadis itu meneguknya dengan semangat, masih sempat turun tertumpu pada kaki untuk melahap air minum (dia punya prinsip tidak boleh makan dan minum sambil berdiri).     

Kemudian bangkit dan mendapati oppa-oppa yang memberinya fasilitas pesawat terbang VIP gratis.     

"Gumawo oppa". Ungkapan Dea tentu saja khusus buat Surya.     

Sekertaris Hendra menyatukan alisnya. Tidak terima dengan panggilan aneh itu lagi. Tapi ekspresi Surya tidak mendapatkan respon berarti, gadis berhijab ini kembali fokus melobi satpam.     

"Biar aku yang bicara". Surya menyela. Tadinya sahabat sekaligus sekertaris Hendra, sama sekali tidak berkenan turun untuk membantu atasannya.     

"Kali ini aku tidak bisa membantumu, keputusanmu bertentangan dengan hatiku. Aku lebih khawatir dengan kondisi jiwa mu dibandingkan nona Aruna".     

"Aku masih berharap kau berkenan mengurungkan niat mu". Ucapan itu yang dia sampaikan pada Hendra beberapa saat sebelum CEO DM Grup turun dari Rolls Royce-nya.     

Ternyata sahabat satu-satunya Hendra juga turut goyah setelah melihat secara langsung keadaan didepan lobby jurusan desain tempat calon nonanya kuliah.     

Secara mudah sekertaris Hendra yang pandai menyusun kata mampu meloloskan Hendra naik keatas. Tentu saja Dea masih jadi bagian dari barter itu.     

"Oppa mulut mu hebat sekali". Bisikkan Dea membuatnya merinding sendiri. Surya memasang wajah yang dibuat sok galak sembari memberi peringatan : "Jangan panggil aku Oppa!!".     

.     

.     

Lelaki bermata biru menyusuri tangga dan mulai melakukan panggilan.     

"Aruna.. kamu dimana?". Dia melihat lorong-lorong didepannya kosong. Lantai 2 tempat Aruna bersembunyi benar-benar sepi dari aktivitas perkuliahan. Lelaki itu menelisik tiap jendela kaca yang terhampar disisi kanan dan kiri. Kelas-kelas perkuliahan yang ditinggalkan penghuninya.     

"Aku.. dikelas paling ujung sebelah kiri". Aruna memberi arahan.     

"Kau sendirian?".     

"Iya".     

"Baik.. aku sudah berada satu lantai dengan mu". Hendra menutup panggilannya.     

CEO itu terhenyak beberapa menit. Membiarkan dirinya menemukan keyakinan. Dia berdiri diluar kelas, menatap punggung gadis yang menancapkkan luka teramat dalam pada dadanya. Ungkapan gadis itu masih jelas terngiang-ngiang di telinga.     

"Harusnya aku sadar, diriku adalah gadis jaminan keluarga". Ungkapnya untuk menghina Aruna yang kemudian kembalikan pada dirinya sendiri.     

Membuat melangkah kaki Hendra lebih ragu. Kalau dia benar-benar menemui Aruna kali ini, dia yakin dirinya harus siap merasakan sakit teramat dalam suatu saat nanti, cepat atau lambat hal itu pasti akan terjadi. Karena Aruna jelas-jelas tidak menginginkannya. Ekspresi mati rasa itu benar-benar mengerikan. Mirip mommy-nya kala itu, kala ibu dan anak sama-sama depresi.     

Langkah perlahan Hendra membuat mata pria itu mampu menangkap gerakan ringan Aruna. Bahasa tubuh yang secara perlahan menunjukan perasaan pemiliknya. Dari punggung, samping hingga tanpa sadar berada didepan Aruna. Jelas terbaca dengan sempurna bahwa putri Lesmana sedang resah, kosong dan putus asa.     

Menggeser-geser layar handphone tanpa menyadari Hendra sudah berada didepannya.     

Hendra membiarkan gadis itu sibuk dengan dirinya. Sesaat kemudian Aruna lekas berdiri menyadari keberadaan Hendra.     

Tatapan lekat Aruna membuatnya goyah. CEO itu segera melepaskan jasnya dan membenamkan tubuh mungil putri Lesmana didalamnya. Hendra tiba-tiba teringat bagaimana gadis ini membantunya mengenakan Coat ketika berpamitan dari Sanggar belajar. Gerakan merapikan Coat Hendra waktu itu, kini mendorong Hendra merapikan rambut Aruna.     

"Kau baik-baik saja". Pertanyaan Hendra disambut anggukan.     

"Bagaimana dengan perjalanan bisnis mu? Pasti berantakan ya.. ??". Tanya Aruna     

"Entahlah dipikirkan nanti saja".     

"Maaf..".     

"Tak masalah, Toh aku bosnya". Hendra meraih tas Aruna, meletakkannya dibahu sisi kiri dan spontan meraih tubuh gadis itu. Mendekapnya erat dengan tangan kanan.     

Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong diantara kelas-kelas kosong.     

"Kau lapar?".     

"Lumayan". Jawab Aruna.     

"Sejak kapan?".     

"Mungkin dari siang. Sebenarnya tadi aku dibelikan makan oleh Dea. Tapi.. entahlah belum selera saja". Mereka berusaha menghilangkan rasa canggung.     

.     

.     

Secara mengejutkan Hendra berhenti. Mereka masih menuruni tiga anak tangga. Tapi Hendra tak bergerak dan tak membiarkan Aruna bergerak.     

Aruna menatap CEO itu dengan ekspresi bingung. Ketika Hendra meletakkan tangannya yang lain pinggul Aruna. Lalu menarik tubuh gadis itu mendekat. Dia mendekapnya erat-erat.     

Aruna tak bisa bergerak.     

Sejenak terdengar hembusan nafas layaknya seorang yang sedang membuang lelah.     

"Aku tidak suka ciuman mu yang kemarin". Kata yang sempat meluncur dari mulut lelaki bermata biru sebelum meraih dagu Aruna dan menyesap bibirnya secara paksa.     

Aruna mencoba mengelak mendorongnya namun sia-sia. Postur Hendra lebih besar dan terlalu kuat.     

CEO dingin itu sempat melepaskan lumatannya lalu berbisik: "Selain membenarkan kompensasi mu yang kemarin, kau juga harus membayar apa yang aku lakukan hari ini".     

Dan Pria ini kembali meraih bibir Aruna.     

_Kau bisa memberiku luka, tapi aku tahu obat penawarnya_     

Gerakan bibir laki-laki ini berikutnya makin mengejutkan.     

Aruna tak ingin menangis. Menatap kosong sisi lain, mencari-cari peredam dari rasa hancur pada dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.