Ciuman Pertama Aruna

Realistis



Realistis

0"Dulu hidupku sangat sederhana, aku mengejar impian bersama sahabat-sahabat ku melalui Surat Ajaib. Sesekali merasa bangga pada diri sendiri ketika diminta menjadi pemateri pada seminar teman-teman sesama startup. Masa-masa itu membuatku sangat bahagia. Aku merindukannya". Aruna menceritakan dirinya.     

"Entah mengapa setelah kau datang, aku seperti berjumpa seseorang dari planet lain. Kau sungguh berbeda dengan pola pikir dan kehidupan mu yang terlalu luar biasa, aku tidak lagi menemukan impian ku. Aku tidak tahu aku harus meraih apa? Berjalan kemana? dan sebaiknya seperti apa? Aku kehilangan semuanya. Kecuali keluarga ku. Mungkin inilah yang harus aku bayar untuk kebahagiaan keluarga ku. Hanya itu yang aku punya sekarang". Hendra mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir Aruna. Seiring gerakan gadis itu membersihkan darah ditangannya dan menempelkan plester luka.     

"Jadi ku harap kita bisa berkompromi dengan baik. Aku minta maaf menuntut lebih. Dengan meminta mu melepaskan ku".     

"Harusnya aku sadar, diriku adalah gadis jaminan keluarga". Ungkapan itu membuat Hendra bergetar.     

"Kau menginginkan ini bukan". Aruna berdiri mendekati Hendra yang duduk di ranjangnya. Secara mengejutkan gadis ini mengecup bibir CEO Djoyo Makmur Grup.     

"Anggap saja ciuman ini sebagai kompensasi karena aku sempat kurang ajar, meminta sesuatu yang berlebih". Perempuan pembawa pisau bermata dua telah mengangkat senjatanya dan menikam dada pria dihadapannya. Hendra menyadari Aruna telah mati rasa.     

"Mari kita ikuti kontrak pernikahan yang kita sepakati. Dan berakhir dengan baik-baik dua tahun nanti. Aku tidak akan menuntut apapun setelah ini". Ekspresi mati rasa dan ungkapan terakhir putri Lesmana sebelum meninggalkannya membuat hati dan isi kepala Hendra berkecamuk. Pria itu memegangi kepalanya seperti orang frustrasi.     

Sesaat berikutnya secara mengejutkan pewaris Djoyodiningrat melempar semua benda di dekatnya, dia memporak porandakan barang-barang yang tersusun di atas nakas. Benda-benda jatuh bergelimpangan pecah berantakan.     

"Aaargh. . . Not me.. I didn't make her despair . . . ". (Aaargh. . . Bukan aku.. bukan aku yang membuatnya putus asa . . . )     

"Aaargh. . . Not me". Hendra terlihat kacau memegangi kepalanya.     

Pengawalnya bergegas memencet tombol pertolongan. Hendra tampak mengerikan dan terus berteriak.     

"Not me . . . Aaargh". Hendra kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri.     

Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi. Kecuali wajah sang dokter yang demikian syok, berlari memeluk pasiennya di iringi derai air mata.     

.     

.     

Lelaki bermata biru ini akhirnya terlelap dalam tidur setelah obat penenang secara paksa disuntikkan pada tubuhnya.     

Benda-benda berserakan perlahan mulai dirapikan oleh para suster dan pengawalnya.     

Disisi lain tampak dokter Diana berjalan sempoyongan melihat kondisi Hendra. Dia kembali keruang kerja dibantu asistennya.     

"Sudah ada yang tahu siapa yang datang sebelumnya?".     

_Kenapa bocah kecil ku kembali ke titik nol seperti dulu_.     

"Oh ya Tuhan.. ". Diana tak bisa menutupi kesedihannya.     

"Dok!.". Tio berjalan tergesa-gesa menghadap Diana.     

"Calon istrinya datang sebelum tuan muda kehilangan kendali".     

"Perempuan itu meninggalkannya sesaat sebelum tuan Hendra membanting semua barang". Tio baru saja mengintrogasi para pengawal Hendra.     

"Bagaimana cara kita agar bisa bertemu gadis itu?". Diana mencari dokumen Aruna. Nyatanya tidak ada nomor telepon dan sejenisnya yang bisa dihubungi.     

"Sekertaris tuan muda tahu segalanya. Saya bisa memintanya datang". Firman segera menelepon Surya.     

***     

"Mohon maaf dok! Saya tidak setuju!". Surya berselisih dengan psikiater atasannya.     

"Saya akan menunggu Hendra bangun dan menanti keputusannya sebelum bertindak". Sekali lagi dia menegaskan.     

"Jika dia terbangun dalam keadaan berbeda apa yang akan kau lakukan?". Diana menguatkan argumentasinya.     

"Tidak! Walau aku dibayar untuk mendatangkan nona Aruna kemarin. Aku tidak akan melakukannya. Aku akan tetap setia menunggu perintah tuan muda". Surya tidak merubah pendiriannya.     

"Kau yakin dia akan membuat perintah yang tepat setelah kondisi terakhirnya?. Aku tahu kalian para asisten di tuntut untuk setia". Diana berusaha menggoyahkan komitmen sekertaris Hendra.     

"Aku percaya padanya.. dia akan kembali seperti semula ketika bangun. Hendra seseorang yang cukup kuat. Aku setia bukan karena aku bawahnya tapi karena aku sahabatnya!". Sang sekretaris menatap lekat Diana.     

"Aku takut dokternya lah yang tidak memiliki keyakinan terhadap Hendra. Masih menganggap pasiennya bocah kecil yang dia temui 22 tahun lalu". Ucapan sekertaris itu mengagetkan Diana.     

"Dua belas tahun aku mengikuti Hendra. Dengan hidupnya yang padat dan keras, tak pernah sekalipun aku mendengarnya mengeluh. Bahkan aku tidak tahu dia memiliki masa lalu yang begitu buruk".     

"Jadi silahkan gunakan sudut pandangmu, dan biarkan aku dengan pendirianku". Surya meninggalkan dokter Hendra yang terlihat semakin murung.     

.     

.     

Sekertaris itu mendatangi kamar Hendra. Terduduk disana menunggunya bangun.     

"Aku tidak tahu akan seperti apa dirimu setelah ini, tapi aku yakin kau bisa mengatasinya sobat".     

"Segera bangun! Jangan biarkan dirimu terlihat lemah di mataku".     

"Oh iya, aku sedikit kecewa dengan mu. Kau yang mengajariku bahwa jatuh cinta itu tidak penting yang terpenting adalah membuat diri kita beruntung. Aku menang dari mu satu tingkat kali ini, karena kau termakan omonganmu sendiri".     

"Satu kali lagi, jangan membaca novel romance. Kau terlihat tidak keren".     

Surya berbicara dengan tubuh Hendra yang masih belum sadar.     

***     

Sepasang mata biru mulai mengerjap, perlahan hilang dan hadir kembali. Sesaat kemudian terbuka, melihat sekeliling mencoba menemukan seseorang.     

"Hai Surya bangun". Lelaki bermata biru menggerakkan lututnya, membangunkan sekertarisnya yang tertidur didekat paha.     

"Hais' jangan ganggu tidur ku!". Surya mengigau.     

"Bangun!". Hendra berusaha duduk. Gerakannya membuat Surya terkejut. Secara spontan tuan muda diserang oleh pelukan sekertarisnya.     

"Cih' menyingkir!!". CEO itu mendorong Surya.     

"Jika kau seperti ini, kita terlihat mirip gay". Hendra memukul kasar sekertarisnya.     

"Ambilkan baju dan Coat ku. Kita pergi dari sini secepatnya". Pria itu mencabut infus dilengannya. Sesaat berikutnya mendapatkan plester kecil yang menempel. Ditarik dan dibuang sembarang setelah meremasnya.     

"Hendra apa kau sudah baikan?". Surya menelisik.     

"Aku tidak pernah sebaik ini". Hendra mulai bergerak meninggalkan ranjang pasien. Tampak memegangi kepalanya dan sedikit terhanyut lalu berusaha menggeleng. Dia sempat terhenti.     

"Apa aku perlu memanggil Diana untukmu". Surya meminta persetujuan.     

CEO itu segera meraih baju ditangan Surya lalu berkata : "Tidak.. tidak perlu. Aku punya cara sendiri untuk mengatasi diriku".     

"Sudah cukup bermain-main disini".     

"Oh' ya". Dia berhenti sejenak.     

"Buang semua novel kemarin, aku sudah tidak membutuhkannya". Mendengar perintah Hendra yang kemudian menghilang dibalik pintu kamar mandi. Surya masih berdiri disana menyusun neuron didalam otak.     

_Ah' dia kembali menjadi dirinya. Lebih buruk dari pada pribadinya saat ini, tapi tidak masalah begitulah seharusnya dia. Mungkin ini lebih baik baginya dari pada terus-terusan terluka_ Surya benar-benar meminta pengawal Hendra mengemas novel-novel itu.     

.     

.     

CEO yang kini kembali menemukan dirinya yang lama berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Diana dan timnya terlihat berusaha menghentikan Hendra.     

"Hendra apa kamu sudah menyerah?! Tolong berilah kesempatan pada dirimu sendiri". Dokter paruh baya itu terlihat kelelahan.     

"Kesempatan?".     

"Kesempatan untuk apa?". Pria itu berhenti sejenak menatap psikiaternya.     

"Masih ada harapan untuk mu sembuh. Walau penuh resiko, selalu ada jalan asal kau percaya pada kami". Diana menggunakan kesempatannya terakhirnya untuk menyakinkan.     

"He.. hehe". CEO Djoyo Makmur Grup menertawakan dirinya sendiri.     

"Semua dokter selalu mengatakan ada harapan walau penyakit pasiennya sudah kronis".     

"Aku tidak mau dibodohi oleh mu, kau dan tim mu sudah menyerah 17 tahun yang lalu setelah 5 tahun berusaha memulihkan ku".     

"Jadi setelah puluhan tahun tiba-tiba kau bilang aku bisa sembuh 100% hanya dengan percaya pada mu!".     

"Maaf aku lebih suka realistis dari pada mendengar omong kosong. Jika aku bisa sembuh harusnya sekarang aku tidak membenci mommy ku, nyatanya aku bahkan belum bisa berkomunikasi dengannya". Hendra tidak lagi menatap Diana, dia melangkah pergi tanpa ragu.     

Diana meminta ketiga anak asuhnya untuk bergantian mengikuti aktivitas Hendra. Dokter itu memutuskan memantau pasiennya dari jarak jauh.     

___________________________     

Jangan sedih readers, CEO Hendra akan tetap menawan dengan segala kondisinya.     

'seseorang yang sedang berusaha pasti mengalami pasang surut'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.