Ciuman Pertama Aruna

II-117. Para Perempuan



II-117. Para Perempuan

0"Bawa aku ke tempat kakekku,"      

"Baik tuan.,"      

"Dan satu lagi., beritahu salah satu tim Raka untuk mengikuti ayah Lesmana. Aku ingin tahu perkembangan istriku," kembali Mahendra memberikan perintah.      

.     

Untuk menghibur diri pria ini kembali membuka catatan kecil milik istrinya.      

Mengapa tempat ini semakin mengerikan?, begitu tulisan Aruna mulai menyentuh imajinasi mata biru.       

Aku tidak pernah diperkenalkan kepada siapa pun. Dan mereka yang tidak mengenalku hanya menatapku, mencuri curi membicarakanku diam-diam tatkala aku mendekati salah satu terpaksa aku menjauh lagi.      

Ternyata setelah ku pahami, mereka tak bisa mendekatiku karena mereka takut dibilang tebar pesona kepada istri tuan muda.      

Aku tidak sadar bahwa tempatku sespesial itu di mata para asisten rumah tangga keluarga ini.      

Bahkan, suatu ketika salah satu dari mereka yang dekat denganku, ikut dirundung yang lainnya.      

Aku putuskan aku akan mendekati semuanya, dan mereka sangat terkejut. Mereka menganggap perilaku terlalu aneh. Harusnya aku berdiam diri tinggal memerintah. Bukannya, ikut-ikutan membantu. Mereka tidak tahu aku di landa bosan luar biasa.     

Dalam upayaku memahami situasi di kastil megah ini. Kutanya pada mereka, bagaimana bisa mereka bertahan di ruang tahanan.      

Mereka bilang mereka masih bisa keluar, walaupun tak selalu dapat izin. Seminggu sekali mereka punya hari libur untuk menghirup udara kebebasan dan itu tidak berlaku untukku.     

Aku sedikit bingung ketika jawaban para asisten rumah tangga sangat bertolak belakang dengan sudut pandangku. Mereka terkesan beruntung mendapatkan kesempatan berada di dalam rumah induk.      

Lagi-lagi aku yang mulai lelah tertahan di tempat megah tapi sepi sendirian. Kembali memburu pertanyaan. Jawaban mereka ternyata beraneka ragam, ada yang sukarela sampai bahagia berada di rumah megah ini. Sebab harus menanggung beban ekonomi keluarga.      

Atau untuk menanggalkan rasa malu, tatkala seorang lulusan kampus ternama tapi tak kunjung mendapatkan kerja dan akhirnya memilih tempat ini sebagai langkah hilangkan stigma.      

Belum lagi yang ditinggal suaminya dan nyaman meneguhkan jalan hidupnya dengan mengabdi di keluarga kolong merat. Bermacam-macam alasan, intinya mereka menukar sesuatu di luar untuk mendapatkan sesuatu di dalam.      

Sedangkan aku, aku hanya lah gadis 20 tahun. Aku ingin merasakan nikmatnya melanjutkan kuliahku, atau membangun impian impianku.     

Minimal sekali saja dalam seminggu aku diizinkan melihat jalanan di luar. Hanya itu, supaya aku punya baterai pertahanan menghirup udara di kastil ini.     

Sayangnya Hendra tak pernah benar-benar mendengar kegelisahan hatiku, yang merasa tertekan, terkurung sesak dan mencekam.      

Atau minimal, memberi tahuku alasan mengapa aku harus diperlakukan seperti ini dan terbelenggu di tempat ini, mengapa aku tidak boleh melihat dunia di luar sana layaknya burung-burung yang aku amati dari balik jendela.      

Kalau aku berhenti bernafas mungkin kah diriku ini reinkarnasi? menjelma jadi burung-burung terbang bebas?     

Deg      

Deg      

_Maafkan aku, ternyata kamu sefrustrasi itu_      

Catatan di buku kecil milik Aruna mengingatkan lelaki bermata biru kepada Oma dan mommy-nya, perempuan-perempuan itu sudah bertahan cukup lama tanpa tahu apa-apa.  Hingga kalimat perintah berikutnya membingungkan para ajudan : "suruh orang menjemput Oma dan mommy!"      

"Untuk apa Tuan?" Andos langsung memandanginya begitu juga dengan ajudan yang duduk di depan. "mereka harus tahu apa yang terjadi pada kakek"     

"Tetua pasti tidak setuju, seandainya Oma anda dan mommy anda tahu, apa yang terjadi pada beliau," ajudan di depan mengingatkan kebiasaan yang mereka emban. Menyembunyikan dengan rapat hal-hal yang tidak perlu diketahui oleh para perempuan.      

"Karena saat ini aku yang menggantikannya, akulah yang berhak memutuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh," Hendra tidak peduli peringatan pengikut tetua.      

"para perempuan harus tahu apa yang terjadi pada suami dan ayahnya, sehingga mereka tidak tersiksa, dengan terus bertanya-tanya ke mana perginya suaminya? ayahnya? Kecelakaan Ini sudah lewat beberapa hari, aku yakin mereka membuat spekulasi sendiri di dalam otaknya. Sudah cukup membuat mereka tersiksa," ucapan pewaris tunggal ini mampu membungkam penghuni mobil yang lain, yang tadi sempat memprotes keputusannya.      

.     

.     

Tidak jauh-jauh dari dugaan Mahendra, Oma Sukma datang tergopoh-gopoh dengan derai air mata. Perempuan ini menjatuhkan butiran zat cair tiada henti. Dia menangis memegangi tangan suaminya yang tertidur. Tampak ringkih, lemah dan tak berdaya. Itulah kesan Mahendra pada satu jam pertama.      

Sampai-sampai tanpa sang cucu sadari, dua perempuan yang menjaga pria berbaring. Tak pernah istirahat setelah ribuan deting jam dinding terlewati. Mereka enggan makan dan enggan bersantai sejenak.     

Jauh berbeda dengan para lelaki yang ringan bergantian menjaga sang kakek. Padahal mereka juga sama-sama gelisah, akan tetapi kegelisahannya di wujudkan dalam bentuk berbeda. Para perempuan lebih menghayati perannya dan kemampuannya untuk menunjukkan kasih sayang.      

Ke mana si ringkih, si rapuh dan si tak berdaya tadi. Bagaimana bisa kini otaknya menangkap para perempuan itu lebih kuat dibanding dirinya sendiri. Mereka sungguh tak berniat makan atau meminta istirahat, padahal pria yang sedang mereka tunggui adalah tubuh yang sengaja disuntik obat tidur supaya lelap dalam rehat.      

Hendra masih sulit mempercayai konklusi di dalam otaknya.      

Lama dia mengamati para ajudan membujuk perempuan-perempuan itu untuk rehat sejenak.      

Belum juga berhasil hingga pewaris ini mengundurkan diri karena sebuah informasi berharga menyapanya, tentang perempuan yang tak mau diajak pulang ke rumah ayahnya. Malah memilih beristirahat sendiri di Rooftop tempatnya tinggal.      

Hendra sendirian memacu mobilnya menuju ke sana. Dia ingin melihat gadis yang tadi rasa-rasanya akan dia bopong dalam pelukan.      

Mobil itu melesat cepat dan segera terparkir di depan outlet surat ajaib. Menaiki tangga tergesa-gesa. Sempat sejenak ragu, lalu bersamaan dengan upayanya menghirup oksigen di udara dia dorong handle pintu.      

Faktanya hendle pintu Aruna tak di kunci, pria berpostur bule ini menyusuri rumah mungil yang tak layak di sebut rumah. Sebab tempat tinggal gadis sederhana ini hanya-lah sebuah kotak persisi yang di bagi menjadi dua sisi.      

Sisi depan yang kini di lewati mata biru ialah ruang berisikan sebuah sofa dilengkapi meja kaca sederhana termasuk televisi serta pada sisi sebelah kiri terdapat Pantry ala kadarnya dengan peralatan dapur unik khas Aruna. Rumah ini tiap sudutnya adalah Aruna, penuh pernak pernik hasil kerajinan tangan sang mahasiswi jurusan desain.      

Tepat ketika sang pria menuju sisi berikutnya, tempat di mana sang istri terbaring, mata biru Hendra menyala penuh kemarahan.      

Bagaimana tidak? Dia mendapati pria itu duduk di sana membantu istrinya minum lalu ketika si gadis lemah hilang dalam lelap lelahnya. Si sialan itu membelai rambut Aruna, dia membasuh peluh istrinya.     

Kenapa harus orang ini yang merawat? Hendra bertanya-tanya diiringi tekat mematikan.     

Si posesif bergegas meraih krah baju seseorang, tepat ketika si resek kembali menyentuh wajah istrinya.      

Dan "Bam!!" tarikan kasar pada krah baju berakhir dengan tonjok yang tak kalah keras menghantam, sampai-sampai si penerima hantaman tersungkur di lantai dengan bibir robek menyisakan noda merah pada punggung tangan cucu Wiryo.      

Hendra tak sampai di situ saja dia menarik lagi ... ...      

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.