Ciuman Pertama Aruna

II-127. Eksponensial (Menikah+)



II-127. Eksponensial (Menikah+)

0Bagaimana dengan Aruna? Jangan berharap? Aku saja risi dengan pilihan pakaian yang dia pinjamkan untukku malam ini. Jadi bisa di bayangkan apa yang dia kenakan. Mengharapkan dia memakai dress tipis menggoda adalah khayalanku semata.      

"Hen.. Hendra Aa.. auu.." ini suara Aruna, kelabakan ketika salah satu lingkaran kenyal miliknya aku sentuh.      

"Hee.." tanganku saat ini terpancing hanya di sebabkan baju tidur berkerah rebah sederhana dengan gambar buah Cherry kemerahan berwarna dasar putih.      

Haha' inginku menertawakan diriku sendiri tatkala mencari-cari si kenyal dari balik kaos tidur yang menutup banyak daya tarik dari tubuh mungil.      

Ya' tubuh Aruna tenggelam dalam bungkusan celana panjang dan baju lengan panjang. Istriku tak menarik akan tetapi menggetarkan, mirip definisi cinta persamaan aljabar dari: (x pangkat 2+y pangkat 2-1) pangkat 3−x pangkat 2 kali y pangkat 3=0. Dan ketika persamaan itu di lukiskan pada diagram cartesius hasilnya ialah sebuah garis melengkung indah menggambarkan pernyataan cintaku alias gambar hati.      

Aku tersenyum senang. "Kau tahu sayang.. aku punya imajinasi liar, hanya saja kamu sangat polos. Maka dari itu aku kunci imajinasiku,"      

"Ah' masak," Dan dia menjelma menjadi gadis paling menggemaskan. Kalimatnya membuatku gemas sendiri, menyulutku untuk terbang terlalu tinggi. Tentu saja maksudnya ialah memainkan apa yang sudah aku genggam.      

Kudengar dia merintih menikmati kejutan yang aku berikan, mulutnya bilang jangan tetapi wajahnya yang merona dengan tatap sayu merupakan wujud dia sama denganku, sama-sama sedang turut serta melejitkan hormon kami masing-masing.      

Aku suka tawanya, tawa keberatan ketika aku bermain pada kuncup kecil di dalam sana. "Haha.. hen.. kalau kamu lakukan itu aku juga bisa nakal," dia menggigit, memberi bekas merah di dadaku dan jari kecilnya kadang menggelitik perutku kala kenakalanku menjadi-jadi.      

Gelak tawa genitnya memenuhi ruangan, riang beradu dengan tawaku. Aku tidak pernah sebahagia ini terlebih saat dia membantingku ringan. aku hanya pasrah, gadisku melengkapkan keberaniannya naik di atas tubuhku. Kedua kakinya mengapit perutku, dan mengusir mentah-mentah jariku yang main di dalam piamanya.      

Aku ingin berbisik agar tidak menyiksaku mengingat malam ini aku tak bisa berbuat lebih kepadanya. Sayang aku pun tak rela saat si sulit sudah berinisiatif mana mungkin aku hentikan.      

Ku hanya mampu bertahan seperti caraku sebelum-sebelumnya yakni menekan kuat-kuat kehendakku. Aruna seolah sedang mengobati rinduku, dia mempersembahkan ciuman pertama yang berbeda. Iya, ini pertama kalinya dia begitu leluasa tanpa canggung, tanpa ragu-ragu, menanggalkan semua hiruk-pikuk kerumitan rumah tangga kami.      

Lidahnya menyusup memberitahuku bahwa hadirnya terlalu memesona untuk pria kosong yang tak punya tujuan. Dia menenun lebaran baru di hatiku malam ini.      

Sebab caranya kali ini terbaca sebagai simbol implisit tentang kesadaran baruku. Aku sadari kini cintaku tidak lagi bertepuk sebelah tangan.      

Dia memilihku, akhirnya dia benar-benar memilihku. Ternyata bukan aku yang di tanggalkan, bukan aku pula penerima luka. Aku si egois perebut kemenangan.      

Kini aku tidak tahan untuk tak menguasainya, kujatuhkan tubuhnya dan kujelajahi setiap lapisan epidermis yang terasa manis.      

Kukukuhkan diriku, sebagai pemburu kemenangan yang berhasil menyingkirkan lawan.      

Gadis pembawa pisau bermata dua kini menanggalkan senjatanya, menyerah di hadapanku sukarela.      

Setelah tak terhitung banyaknya dia tancapkan luka berulang, sedangkan aku lelaki yang memilih terus-menerus bertahan.      

Teralis-teralis besiku yang berpondasikan keegoisan ternyata mampu meruntuhkan 'bentengterbaik', sang lawan pemilik 'strategi di luar ekspektasi' (vol. I). Inilah aku pemburu kemenangan yang akhirnya berhasil meraih kejayaan.      

Aruna memerah bersama rintihan, kala aku sudah tak punya daya menahan naluriku sebagai pria. Tutorial gila dokterku pun kujalankan beriringan dengan dendang surga yang dia suarakan.      

Ini sangat menggetarkan, membumbungkan jiwa pria yang tidak pernah menyentuh wanita. Agaknya tak kutemukan analogi untuk menggambarkan rasa memukau ini.      

.      

Analogi Cinta     

Cintaku pada dia belum ada analoginya.      

Kucari-cari pada tiap lembaran buku yang kubaca, tak kutemukan kesamaannya.      

Kugali-gali contoh serupa, bahkan Romeo Juliet bukan tandingannya.      

Kujelajahi tiap jengkal interaksi, tak kutemukan makna yang presisi.      

Analogi apa yang layak untuknya.      

Sentuhannya adalah lamunan lampauku yang terwujud     

Senyumannya adalah layar berkembang di samudra penjelajahan     

Riuh tawanya adalah sorak sorai gembiraku yang menyeruak     

Kususuri jurnal-jurnal teori agar tanda tanyaku terobati     

Pernyataanku masih sama dengan pertanyaanku.     

Analogi apa yang layak untuknya.      

Melejit, melenting, melontar, melambung, membumbung, mengangkasa, padan kata tak berdaya di padankan dengannya.     

Karena kehadirannya melebihi definisi kata     

Mungkinkah ini tentang eksponensial?     

Penjelajahanku kulengkapkan pada fungsi matematika     

Fungsi yang di tulis dengan notasi exp(x) di mana 'exp' adalah basis algoritme     

Tampaknya fungsi matematika yang mampu menyimbolkan dirinya.      

Gadis yang telah menyabdaku menjadi pengisi deretan variabel-variabel persamaan aljabarnya.     

Aku menjelma menjadi tiap angka yang siap luruh dan melebur ke dalam eksponensialnya.     

Hasil per-pangkat-an dengan nilai tak ter-bayangkan.     

Ilustrasi letupan-letupan hebat tiap jejak perjumpaan.      

Perjumpaan antara pria biasa yang tak punya harapan.     

Kini terlapisi mimpi melambung tinggi melebihi imajinasi .      

Terima kasih kekasih, hadirmu pada jalan hidupku adalah simbol eksponensialku.      

Pemberi daya pada jiwa pria yang baru saja  menemukan analogi cintanya.      

.      

.      

"Argh," Suara Aruna menahan dirinya. Pria di atasnya bergetar kalut berbalut rasa takut. "Tak.. Tak apa.. Tenanglah.." dia menenangkan pria yang bahkan belum membenamkan seperempat miliknya.      

      

Mata birunya menatap tajam mengamati setiap gerik lirih perempuan merintih, kalimat Aruna damai menenangkan akan tetapi kuku-kuku tajam mencengkeram kuat punggung cucu Wiryo.      

      

Dia kesakitan, tentu saja ini asing baginya dan belum tahu cara menyembunyikan kejutan pertama, walau telah sudah susah payah sekeras dia bisa berupaya menyembunyikan ekspresinya.       

      

Mahendra lekas-lekas melepaskan diri tanpa kata. Pemilik sindrom meringkus menjaga kemungkinan terburuk. Bukan karena dia takut mendapati dirinya kehilangan nafas lebih kepada tak bisa memberi rasa sakit berikutnya.      

      

"Tak apa-apa.. " tangan lembut mengelus lengan kokoh yang enggan menampakkan kekuatannya. Hendra diliputi kalut memunggungi perempuan yang mencoba menyajikan kehangatan.      

"aku baik-baik saja., ayolah lihat aku," dia yang di ajak bicara terdiam saja.      

Limbung oleh rasa kecewa pada diri sendiri, memegangi dada yang naik turun dengan rasa sesak mendesak.      

"jangan khawatir.. Lihat! aku jauh lebih baik dari kamu" Aruna meminta mata biru merebahkan punggungnya agar tak lagi melihat sungkuran yang jadi pikiran.      

"Maaf.." hanya kata itu yang terucap.      

"Aku pernah membaca panduan Psychosocial Therapist dari dokter Diana, semua hal harus di coba. Termasuk sesuatu yang membuatmu kesulitan. Aku percaya kamu bisa, kita bisa melewati ini,"      

Putri Lesmana terus berupaya membujuknya, sayang masih di diamkan. Hingga gadis ini tertidur dengan mendekap punggung pria yang tampaknya tak juga memejamkan mata.      

      

      

      

      

.      

.      

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.