Ciuman Pertama Aruna

II-125. Kenyat-kenyit



II-125. Kenyat-kenyit

0Aku bertanya pada psikiaterku, bagaimana cara agar aku bisa menyentuh istriku dan dia tidak menolakku?" ungkapan Hendra mampu membuat dua anak manusia tersekat pada kebekuan.      

"Pergilah ke dalam ambilkan selimut untukku," pinta Aruna dan gadis ini kembali duduk di tempat yang sama, matanya pun mengulangi perilaku yang tadi sempat dia tinggalkan.      

Tak lama seorang pria kembali mendekatinya, dari arah belakang lelaki bermata biru merapikan selimut pada punggung istrinya. Cukup mudah menebak perilaku Mahendra, dia terlampau teliti membungkus perempuannya tak bersisa sedikit pun kecuali kepalanya.      

"Terima kasih," kata mata coklat bersandar di bahu Mahendra, bersama gulungan hangat yang membuatnya nyaman.      

"Boleh aku tanya sesuatu?" ini suara Aruna, dia melempar pertanyaan. Namun, matanya masih tersita ke arah berbeda.      

"Tanyakan apa saja yang ingin kamu ketahu-i," Hendra meringkus bahu Aruna dengan tangan kanannya yang kelewat lebar untuk punggung kecil putri Lesmana.     

"Bagaimana kamu bisa jatuh cinta padaku?" tanya Aruna, melengkapi penjelasan di sidang perceraian yang begitu pahit di dengar, gadis ini ingin tahu hal manis yang membuat sang suami berusaha sekuat hati mempertahankan dirinya.      

"Andai aku  tahu., aku pun tidak akan segila dulu., sayangnya aku sama sekali tidak tahu kenapa aku begitu menginginkanmu," jawab mata biru apa adanya.      

"Kenapa kau terus menerus bertahan? Kamu tahukan, aku bukan gadis yang mudah untukmu?" gadis dalam pelukan kembali bertanya.      

"Karena aku egois," jawaban Mahendra kali ini mampu menggiring sang istri menoleh kepadanya, "Aku tidak akan bisa jadi Damar, yang akhirnya menyerah melepaskanmu. Bahkan, andai saja saat ini kamu belum jatuh cinta padaku, langkah yang aku ambil tetap sama. Terus bertahan dan mempertahankanmu sampai akhir," tegas pewaris Djoyodiningrat seiring gerakan jemarinya menyentuh pipi Aruna.      

"Hah!" Aruna membuang nafas, untuk ke sekian kali dirinya di buat terpana dengan isi kepala Mahendra.      

"lebih baik aku terlihat bodoh dari pada ditinggal sendirian. Aku takut tak memiliki tujuan hidup lagi. Hal itu lebih menakutkan dari pada di anggap aneh oleh siapa pun," pernyataan cinta macam apa? Demikian Aruna menangkap tiap kata yang meluncur dari bibir merah si bule.      

Sejalan kemudian sang pria mendapatkan pelukan dari gadis yang di raba pipinya, siapa sangka Hendra tampaknya mulai berhasil meluluhkannya. "Walau pun aku belum mau kamu sentuh, kau juga akan bertahan?"      

"Iya!" jawab mata biru membalas pelukan.      

"Lalu kenapa kamu mengusirku saat makan malam terakhir kita di Surabaya?" setiap tindakan Hendra selalu mengusik pikiran Aruna. Pria ini tak terprediksi, cara berpikirnya sulit dipahami, tidak bisa di raba oleh orang lain.      

"Sengaja," santai Hendra menjawabnya.     

"A-APA??" ungkapan terkejut menyeruak dari putri Lesmana.      

"Aku ingin tahu sesuatu?"     

"Ingin tahu apa??" lekas-lekas Aruna menyergapnya dengan kalimat tanya.      

_Apakah dia ingin mempermainkan perasaanku saja atau apa??_ Aruna berupaya menebaknya.      

"Aku ingin tahu, seperti apa keadaanmu. Ketika akhirnya kau raih impianmu di panggung T*Dx Talks. Akan tetapi aku tidak ada di sampingmu. Apakah kau tetap bahagia? Atau-kah kamu merasakan kesedihan mendalam saat aku tidak ada di sisimu?" CEO DM grup ternyata menjalankan misi uniknya.      

"Oh' kau benar-benar jahat!" Aruna melepaskan pelukannya, dia mengubah pelukan hangat menjadi pukulan di lengan lelaki bermata biru.      

"Aku menangis dari Surabaya hingga Jakarta karena kelakuanmu, ternyata sekedar untuk menjawab rasa ingin tahumu??" kembali gadis ini memukulinya.      

"Ais," Hendra menangkap tangan Aruna, "yang aku lakukan bukan sekedar menjawab rasa ingin tahu," Hendra berhenti sejenak kembali menata selimut yang hampir jatuh.      

"Lebih dari itu, aku sedang memberi tahumu.. supaya kamu sadar, sehebat apa pun impian yang kamu raih. Nyatanya kamu tetap merasakan ada sesuatu yang hilang dan menyakitkan ketika aku pergi," mata biru mendapat tatapan penuh makna.      

"Kau tidak akan menemukan ini kalau tidak mengalaminya sendiri, keputusanku waktu itu sejujurnya antara marah dan ingin menguatkan hatimu yang bimbang" Hendra mengelus rambut gadisnya, "Banyak hal yang setelah di lepaskan baru kehadirannya terasa. Waktu itu aku mau kamu tahu, seberapa kuatnya aku di dalam hatimu yang rapuh,"     

"Bawa aku ke dalam," permintaan tersebut mendapat balasan punggung sang pria. Untuk pertama kalinya dunia berjalan begitu nyaman dan lambat bagi mereka. Aruna melengkapi punggung kosong dengan dekapan hangatnya dan sebuah selimut ikut menjuntai membungkus keduanya.      

"Datanglah dan temui aku di sini kapan pun kamu ingin bersamaku,"      

"Kenapa tidak kamu yang hidup dan tinggal bersamaku?" sepertinya  permintaan Hendra di ruang mediasi belum terpenuhi.      

"Sejujurnya aku sangat ingin menerima penawaranmu. Tapi beginilah aku, aku masih merasa perlu menyelesaikan keteganganku dengan kakak. Apa kau keberatan?"      

"Entah-lah," Hendra meletakkan istrinya di ranjang sembari perlahan menata kembali selimut di atas tubuh mungil Aruna.      

"Aku tahu, banyak yang kesal karena aku gadis seperti ini," Aruna mengamati langkah Mahendra berjalan memutari ranjang dan berakhir menyusup di sampingnya.      

"seperti apa?"      

"Seperti anak sok baik yang tidak bisa mengabaikan keluarganya,"      

"Dulu, mungkin iya.. aku kesal padamu, karena hal-hal semacam itu,"      

"Sekarang?" Aruna mengangkat kepalanya, membuka lengan Hendra dan mencari-cari posisi nyaman merebahkan diri di lengan suaminya.      

Tampaknya Hendra begitu antusias mendapati gadis ini punya inisiatif mendekatinya.      

"Sekarang?" Aruna kembali bertanya saat mendapati wajah semringah Mahendra mengamati gerakannya memeluk dada. Aruna memiringkan tubuhnya memeluk lelaki bermata biru.      

"Em.. sekarang.." dia mengingat buku kecil yang terselip tiap saat di dalam saku Coat-nya. "aku seolah perlu mencari tahu, apakah yang mendasari tiap tindakanmu, termasuk.. kenapa kau bersih keras mengutamakan keluargamu?"     

Deg, ini detak jantung Aruna.      

"Asal kamu tahu, aku baru saja menemukan harta Karun kecil. Yang mengajariku bahwa.. tiap tindakan pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya, entah tindakan itu benar atau salah," Hendra merasakan pelukan Aruna kian erat sebab kalimatnya.      

"Suatu saat akan aku beritahu kenapa diriku seperti ini," Aruna mendapatkan anggukan ringan.      

CEO DM grup berubah terlampau banyak andai gadis yang memeluknya mau menjelajahi waktu. Pria tidak sabaran sudah terkikis menjadi pribadi baru. Sebab tiap sentuhan putri Lesmana agaknya menjelma sebagai ombak yang mampu memukul mundur karang-karang angkuh yang terkesan mewakili hati cucu Wiryo.      

"Tetap saja kau harus bersyukur, karena aku gadis seperti ini," dia yang bicara sedang meraba dada sang pria, "aku menyanggupi perjanjian pernikahan ayah dan kakekmu, aku mengangguk saat kau memilihku menjadi istrimu ketika ayah mengatakan iya,  aku bersabar menghadapimu karena ayah menguatkanku.."     

Kalimat Aruna terhenti, Hendra memotongnya : "dan kau meninggalkanku, karena mereka memintamu,"     

"Benar juga.," gadis ini membuka kancing bajunya yang melekat di tubuh Hendra. Kancing dari hem warna merah yang sempat jadi uring-uringan kini terlepas dua buah, "Aku berkali-kali mengabaikan keinginanmu menyentuhku karena permintaan..,"      

"Aruna.. Aruna.. huuh.. huuh.." bukan sekedar memotong kalimat, ternyata dari tadi cucu Wiryo terpelanting ke awan-awan, dia lebih fokus pada gerakan tangan menggetarkan dan bibir malu-malu menyusuri dada pria yang faktanya mampu menenun kenyat-kenyit gejolak hormon testosteron.      

"Tolong.. tolong hentikan.." dia menangkap tangan Aruna dan tatkala Aruna mendongak, gadis ini menemukan muka tomat dengan nafas naik turun.      

"Aku tidak bisa menyentuhmu malam ini."     

"Kenapa??" tampaknya kali ini bukan Hendra yang berharap. Kata 'kenapa' Aruna disertai alis menyatu dan mata membulat lebar mengusung tanda tanya.      

"Ma.. maaf.. Dokter Tio bilang, kemungkinan aku bisa mengalami gejala hyperarousal berikutnya, kecuali kau bisa menjamin dirimu tidak akan kesakitan ketika kita.." Hendra kesulitan menjelaskan maksudnya, terbata-bata merangkai kata, terlebih Aruna saat ini menatapnya penuh harap dengan rambut jatuh terurai menjuntai hingga menyentuh separuh rahangnya.     

Aruna bagai pendekar wanita yang akan memimpin pertempuran malam ini. Sayangnya kesatria yang jadi lawan duelnya sudah menyerah terlebih dahulu, sebab terperangkap kelemahannya sendiri.      

"Mana bisa aku menjamin rasa sakitku, ... ... ...      

"Kau Harum...      

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.