Ciuman Pertama Aruna

II-122. Itu?



II-122. Itu?

0"Haaah.," Hembusan nafas mengiringi gerakan seorang pemuda membuka laci nakas. Menatap lama botol kecil berwarna putih. Terlihat begitu putus asa, "Haah.," Ini ialah nafasnya ke sekian kali.      

"Apa kau., Masih terluka?" Dia berbicara dengan dirinya sendiri. Lalu akhirnya meraih botol dari dalam nakas, mengeluarkan sebutir  Triazolam (obat tidur).     

"kau jatuh cinta padanya? Atau kasihan padanya?" Pemuda ini bicara dengan dirinya sendiri lagi dan lagi, "ah, kamu selalu iba dengan seseorang. Mungkin kah kamu terlalu iba karena dia mengidap penyakit aneh itu?"     

"Oh iya.. aku lupa.. kau suka menolong," akhirnya pil itu masuk ke dalam mulutnya dan didorong dengan air putih.     

"Aargh! Kenapa aku masih saja memikirkan perempuan bersuami?" tampaknya peminum  Triazolam marah pada dirinya sendiri, ia melempar kembali obatnya ke dalam nakas, sama seperti caranya melempar kan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar, kemudian berusaha untuk memejamkan mata.      

"Apa kamu, sungguh menyukainya Aruna?" kalimat ini muncul dari memori yang tertanam di dalam kepala Damar.     

"dia punya penyakit aneh. aku tahu kau juga mengerti tentang ini., dan Kau pasti berpikir mungkin saja aku kasihan padanya." Damar masih ingat bagaimana Aruna menatapnya ketika dirinya mencari tahu isi hati rona kemerahan.      

"andai kamu tahu seberapa banyak aku bertanya pada diriku sendiri, pertanyaan yang sama seperti yang kamu ajukan padaku. bukan lagi satu atau dua kali. aku sudah tak ingat berapa banyak, aku yakin ratusan kali," Aruna bahkan menertawakan dirinya sendiri.     

"Nyatanya Aku selalu memikirkannya, saat ini pun aku memikirkannya. Apakah dia makan dengan benar? Bisa tidur dengan benar? Kalaupun bisa tidur, dia dapat mimpi buruk atau tidak? Ah' pria itu selalu ada di kepalaku. Dan aku tidak bisa mengusirnya. Apakah itu yang disebut jatuh cinta? Damar?" Damar menghela nafas, menelusuri memorinya tentang pernyataan Aruna yang berakhir pertanyaan.      

***     

"aku tahu kau tipe manusia berambisi," Gesang meletakkan kaleng soda. Pria ini sedang berbicara dengan penghuni rumah keluarganya, walaupun pria yang di ajaknya bicara bukan bagian dari keluarga Diningrat.      

"Mendapatkan 10% saham hanya dengan membawa perempuan ke pesta kakakku., Terkesan sangat mudah," kembali Gesang melempar ungkapan untuk pria yang masih fokus dengan buku bacaannya.      

"Aku tahu kamu ingin menasihatiku, Aku bahkan tahu kau mengenalnya dengan baik. Jangan pikir aku orang yang tidak paham apa-apa. Ajudan Juan," suara Rey menimbulkan gejolak di dada Gesang. Bagaimana bisa salah satu putra tarantula tahu identitasnya di tempat lain. Bukankah selama ini hanya kakaknya Geraldine dan Gibran yang mengetahui ke mana dia menghilang selama ini.      

"itu kan panggilanmu di sana?" Mata Gesang membuka lebar tak percaya.      

"Tenanglah., Selain kakak-kakakmu, sepertinya hanya aku yang tahu, aku pun tahu bukan karena Gibran memberitahuku. Tapi karena aku juga punya seseorang yang bekerja untukku sendiri," Gesang semakin awas dengan pria yang kini meletakkan buku bacaannya.      

"Bukankah, pemilik saham terendah, harus punya banyak kekuatan supaya bisa bertahan. Jadi, begitulah Aku bekerja. Dan aku tak akan melepaskan gadis polos itu untuk menebus 10% saham." Gesang mulai sadar Rey lebih mengerikan dibanding putra-putra tarantula yang lain.  Dia jarang sekali terlihat bersenang-senang, bekerja cukup serius. Dan selalu bisa diandalkan oleh kakaknya.      

"Kamu akan gunakan segala cara?" tanya Gesang pada pria yang kini menghembuskan asap tembakau dari dalam mulutnya.      

"Tentu," jawab singkat itu menyekat firasat kurang baik di benak Gesang.      

"Oh iya, satu lagi, adik Anantha tak akan ku sia-siakan. Aku memang menyukainya sejak awal," Rey mengurangi pernyataan tambahan.      

"semoga kamu beruntung.," ini balasan Gesang setelah mendengar pernyataan Rey.      

"menurutmu aku akan berhasil?" Rey menatap Gesang. Dia sadar pria di hadapannya cukup dekat dengan perempuan yang kini jadi ambisinya.     

"Entah lah., Bagiku Nona.. perempuan paling misterius yang pernah aku temui." Gesang memilih pergi. Membiarkan Rey diliputi tanda tanya     

***     

"Kalau wanita mencium pria dengan cara seperti ini, artinya wanita itu siap mendapatkan desakan di bawah perutnya,"     

"Em.. ?? Desakan di bawah perut?     

"Aha, kau tak paham ya?" Hendra menangkap ekspresi bingung Aruna, "Apa kamu masih penasaran dan ingin tahu maksudku?" tersaji senyum menyeringai khas Mahendra.      

"sejujurnya iya, tapi wajahmu membuatku ngeri," Aruna curiga dengan isi kepala Mahendra.      

"Ini perut," kata Mahendra mengarahkan jari telunjuk tangannya di atas perut Aruna, "Bawahnya tentu saja ini," tanpa basa-basi laki-laki itu menggeser arah telunjuknya ke bawah. Tentu saja Aruna ternganga.      

"Aaargh.." saking malunya Aruna memukul kepala pria itu dengan tangan kecil mengepal miliknya. "Apa kau tak sadar itu sangat vulgar?!!" teriak Aruna berikutnya.      

"kamu bilang kamu ingin tahu., Aku cuma menjawab pertanyaanmu,"      

"Huuh.. yang benar saja! Harusnya tak sefrontal itu kau tunjukan kemesuman mu! Apa kamu tidak malu??"      

"Enggak, kamu kan istriku,"      

"Argh! Terserah! Kau benar-benar gila dan membuatku malu," Aruna berbalik memunggungi suaminya sekaligus menyembunyikan kepalanya di balik bantal.      

"Aaa.. kenapa pula aku harus malu, aku pernah melihatnya. Warnanya kemerahan seperti pipimu, sungguh menggemaskan walaupun ada bercak luka di sisi kiri, tapi ku yak.." Pria ini belum usai bicara, si gadis yang di landa malu terduduk meraih bantalnya dan "Au.. hai.. hentikan.." pria dengan otak mesum mendapatkan hujan timpuk-kan bantal berulang.      

"Kita sudah menikah satu tahun.. dan kamu masih tega menyiksa suamimu??" kalimat Hendra di abaikan.     

"Hais' Aruna! Hentikan!" Hendra merebut dan membuang bantal dari tangan Aruna. Lalu mengunci tangan si perempuan dan tentu saja dia naik di atas tubuh istrinya, menindih putri Lesmana dengan kedua kakinya.      

"Asal kau tahu! Andai aku bisa melihatmu kesakitan malam ini, sudah kubuat milikku terbenam di sana. Sayang sekali aku sedang menunggu Tio datang (psikiater Hendra)," wajah Aruna bukan lagi merona, raut muka gadis ini sudah mirip pantat tungku yang terpanggang lama di atas kompor, telinganya pun seolah-olah mengeluarkan asap saking merahnya.      

Sekejap berikutnya mata biru melompat menuruni ranjang, tangannya membuat gerakan mengipasi wajah. "Oh.. gerah sekali di sini.," ungkap Hendra seiring menyembunyikan wajahnya dari Aruna.      

Aruna hanya bisa tersenyum memahami hal yang sama berlaku pula pada dirinya.      

"Aku cari angin dulu., Besok cari tukang service AC! Aku yakin AC mu bermasalah," sekejap berikutnya Hendra kabur.      

"Ah' ya tuhan, kenapa aku punya suami seperti dia?" Aruna menutup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangan, "pandai sekali dia membuatku malu,"     

.     

"Ah' Tio??" Hendra mengerjap-ngerjap tak percaya dokter yang di tunggu-tunggu sudah berdiri di balik pintu.     

"Kau sudah di sini?" Kata Hendra setelah merasa penglihatannya benar.      

"sejak 30 menit lalu, bisa jadi lebih dari 30 menit," tampaknya dokter bermuka kusut ini menyimpan emosi.      

"saya mengetuk pintu dan menelepon ponsel anda puluhan kali," katanya sambil melipat tangan.      

"oh handphone ku? Aah' aku baru ingat handphone-ku di keranjang baju kotor," jelas Hendra.      

"Baiklah.. apa yang bisa aku bantu.." tawar sang dokter.      

"Tadi aku mengalami gejala hyperarousal," jelas pengidap PTSD.     

"Maksud anda?? anda?? Sesak nafas?? Tercekik?? Pingsan??" sang dokter sangat khawatir.      

"Ah' itu tidak penting," Hendra mendorong tubuh dokter Tio menjauh dari pintu, "kita pergi dulu dari sini nanti istriku dengar."       

Akhirnya dua manusia ini menemukan tempat yang bisa di gunakan untuk sesi tanya jawab, "ada sesuatu yang lebih penting yang harus aku tanyakan padamu," Hendra menatap dokter pribadinya dengan serius.     

.     

Dua laki-laki kini berada di dalam mobil sang dokter.      

Malu-malu pria ini mengungkapkan pertanyaannya, sayang kalimatnya membingungkam. Dan hal tersebut membuat isi kepala sang dokter kacau, kesulitan melangsungkan analisis apalagi memberi solusi.      

"Stop! Beritahu saya secara gamblang atau Saya memilih untuk pulang!" dokter Tio menghembuskan nafas, lelah. "bagaimana bisa dokter Diana bertahan puluhan tahun menghadapi pasien seaneh ini?"     

"apa kau bilang??" Hendra mendengarkan suara keluhan dokter Tio.      

"Ah' tidak aku hanya bergumam,"     

"em.. itu.." Mata biru mengacak rambutnya sendiri kesulitan mengungkapkan isi hati. "Aku ingin melakukan itu pada istriku., Apakah kau pikir aku bisa melihat ekspresi kesakitan karena hal itu pertama kali untuknya.," suara bersemangat diakhiri dengan frekuensi rendah melemah.      

"Itu?! Itu!? Dari tadi Itu-itu mulu.. apa maksud anda?? Haaah kepalaku bisa pecah!      

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.