Ciuman Pertama Aruna

II-116. Luruh



II-116. Luruh

0"Bisa saya lanjutkan?"      

"Baik, silakan," Ucap pimpinan Hakim sidang perkara.      

"Nyatanya kejadian yang menimpa istriku adalah awal kesembuhanku, kami melewati banyak kejadian yang menguras emosi ketika istriku di rawat di rumah sakit. Di tengah kondisi tubuhnya yang kian melemah. Istriku membuatku bisa menghadapi keadaan demi keadaan yang awalnya mustahil aku lalui." suara tangis putri Lesmana di sadari oleh penghuni ruang sidang.      

Dalam hati cucu Wiryo ada seberkas doa yang dia munajatkan agar istrinya mengurangi isakan. beberapa kali lelaki bermata biru mengambil jeda saat tangis gadis mungilnya mulai menyiksa.      

"Salah satunya aku berhasil menggendongnya saat dia terkulai lemah. Kejadian itu menggelisahkan, anehnya semua psikiaterku berbahagia, mengatakan bahwa kemungkinan aku sembuh tak lagi mustahil. Hari ini yang anda lihat adalah pria tanpa PTSD. Saya di nyatakan sembuh seratus persen." Entah siapa yang memandu tepukan. Ada yang bertepuk tangan, dan seorang hakim perempuan yang terlena turut berkaca-kaca.      

Pada sebuah sidang perceraian, baru kali ini dia melihat tergugat mengakui kesalahan demi kesalahan yang telah dilakukan. Uniknya sang penggugat malah ikut-ikutan terbawa suasana dan larut dalam emosi kesedihan atas pernyataan pembelaan yang dibaca tergugat.      

kondisi ini tampaknya memang cenderung menguntungkan pihak Mahendra, hal tersebut membuat kuasa hukum yang di siapkan Anantha gusar bukan main. Pengacara atas nama penggugat menyuarakan kalimat kalimat interupsi.      

Dan tentu saja protesnya konsisten ditolak oleh hakim ketua. Memang seharusnya pernyataan pembelaan dibaca sampai tuntas baru kuasa hukum melakukan penguatan dengan saling menunjukkan bukti-bukti konkret yang mendukung gugatan maupun pembelaan.      

"Entah, Apakah saya masih perlu membaca pembelaan dari dasar perceraian nomor 5?," tentang penyakit tertentu yang diderita pasangan sehingga mengganggu berlangsungnya hubungan rumah tangga karena Hendra sudah mengakuinya.      

"Saya tahu saya memang sakit. Walaupun awalnya, atas nama laki-laki yang ingin tampak sempurna, saya dengan sengaja menyembunyikan sindrom yang saya derita dari istri saya. Namun, di lain pihak. Jauh-jauh hari setelah saya tahu saya akan menikahi perempuan yang membuat hati saya terpikat." mata biru terhenti sejenak. Dia menghembuskan kekeh miris. Hendra sedang mencari fondasi untuk melanjutkan kalimatnya.      

"ada hal yang tak banyak orang tahu," lalu pria itu mengembara, membalik pandangannya mencari seseorang.      

"Saya rasa di ruang ini hanya ada seseorang yang tahu," Hendra memandang pria yang duduk kaku, "Ayah Lesmana.." ucapan Hendra membuat sebagian besar orang mengikuti arah pandangnya.      

"Selain kakekku dan para psikiaterku, Ayah mertuaku lah yang tahu mengapa aku harus menikahi Aruna.."     

"aku rasa ayah tahu, putrinya yang membangkitkan kembali traumatic syndrome yang aku derita. Suatu hari di sebuah kamar pada salah satu mansion pribadiku, aku pingsan untuk pertama kalinya. Setelah bertahun-tahun aku mencoba menghindari banyakan situasi tertentu dengan tujuan agar sindrom yang aku derita tidak kambuh."      

"Hari itu aku gagal, sekretarisku Surya bisa bersaksi untuk pernyataanku ini. Aku hampir gagal bernafas, karena melihat Aruna yang waktu itu masih calon istriku. Tertidur dalam kondisi menggigil disebabkan suhu tubuhnya meningkat. Dan sejak saat itu para psikiater pribadiku bilang: mereka akhirnya menemukan faktor pemicu yang bisa jadi berperan juga sebagai faktor penyembuh."      

"setiap saat, aku harus diikuti dan di pantau, mereka bekerja sambil berkejaran dengan waktu. Supaya aku sembuh sebelum pernikahan kami dilangsungkan, kenyataannya hal tersebut mustahil terjadi."      

Kini tangis Aruna bukan lagi isakan, dia merintih, lalu melontarkan ratapan "STOP!.. Berhentilah.. aku tak sanggup.. aku tak sanggup mendengarnya lagi.." tersengut-sengut gadis bermata bengkak ini menyiksa banyak pasang mata yang melihatnya.      

Aruna bangkit berniat untuk pergi, sesaat tampak biasa saja hingga sang pria membuang kertas di tangannya baru tiga langkah pemilik mata coklat berjalan. Pandangan mata dua orang yang erat dengan gadis mungil ini berlari tergopoh-gopoh.      

Hendra dan Ayah Lesmana menyadari sesuatu lebih dari orang lain. Benar saja kaki Aruna tidak bisa menahan keseimbangan dirinya. Gadis ini luruh tepat ketika mata biru berhasil menyentuh tubuhnya.      

Putri Lesmana runtuh terkulai di atas kedua tangan cucu Wiryo yang akhirnya ikut lingsir terduduk di lantai.      

Sekejap berikutnya sang ayah menggapai putrinya ikut serta menepuk-nepuk pipi si bungsu karena sang pria yang tertimpa tubuh putrinya membatu.      

"Anda tak apa-apa? Hendra?" Pupil mata mantan ajudan kakek membulat tajam ketika mendengar desahan "A..aaah" lirih rendah seperti bas. "Aaa..rh.. ha.. haaa.." mata semburat merah sang menantu dengan nafas tersengal, Lesmana menyadari gerak gerik tidak biasa.      

"Andos bawa pergi tuan muda!!" mantan Ajudan senior melayangkan permohonan pada juniornya. Andos dan orang-orang Djoyodiningrat segera menarik mundur lelaki bermata biru.      

Mereka berusaha keras merubah arah pandang sang pewaris tunggal yang terus menerus berupaya melihat istrinya. Hendra di bawa masuk ke dalam mobil. Bentley continental melesat cepat memastikan pemiliknya segera meredam gejolak hatinya.      

.     

Sang Ayah lekas-lekas mengangkat tubuh putrinya suasana ruang sidang riuh dengan ungkapan kekhawatiran. Hingga hakim yang memimpin tidak sempat menutup jalannya sidang perceraian yang pelik ini.      

"Sudah ayah bilang kan, Anantha! ini tidak akan berhasil, berhentilah menumpahkan kemarahanmu menggunakan keadaan adikmu!" ayah tidak mengizinkan putranya menyentuh si bungsu. Sang ayah sangat kecewa, anak sulungnya masih saja keras kepala. Walaupun sudah diperingatkan berkali-kali untuk menghentikan gugatan perceraian.      

Lesmana menyadari dirinya lah yang paling bersalah, dan tidak habis pikir putranya menggunakan keadaan Si bungsu untuk balas dendam. Balas dendam padanya dan kepada keluarga tuannya.      

Seorang anak yang kecewa pada ayahnya, memendam kekecewaan itu bertahun-tahun hingga tumbuh menjadi malapetaka besar.      

.     

"Dia pingsan.. Andos.. dia.. dia tersiksa.." pria ini kalut, menutup matanya dengan kedua belah telapak tangan. Beberapa kali zat cair lolos yang mengalir begitu saja.      

"Tak apa.. lanjutkan.. tidak ada yang salah.." sekretaris sang kakek menepuk nepuk bahu Hendra.      

"Buat dirimu lega.. kita manusia.. aku juga menangis berhari-hari karena kehilangan anak dan istriku.. lakukan saja.. kalau itu membuatmu merasa lebih baik" kembali Andos bertutur. pria yang dulu terlihat garang dan suka sekali memojokkan dengan dalih menyampaikan permintaan tetua. Saat ini malah mengajarinya cara untuk bertahan.      

"apa kita perlu menuju ke klinik dokter Diana?" Hery melempar pertanyaan kepada dua pria yang berada di belakang.      

Terlihat Hendra menerawang lama menangkap jalanan kota, sampai pada pemberhentian lampu merah, pria ini akhirnya bersuara. "Tidak! Aku masih bisa bertahan," dia mengamati pergelangan tangan yang menampakkan jam monolog, "bawa aku ke tempat kakekku,"      

"baik tuan.,"      

"Dan satu lagi., Beritahu.,     

.     

.     

__________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.