Ciuman Pertama Aruna

II-112. Buku Kecil



II-112. Buku Kecil

0"Aku tidak setuju," kata Damar sekenanya.      

"Kenapa tidak setuju?" tanya Anantha penasaran.      

"Tidak ada alasan hanya tidak setuju saja!"        

"Bisa kamu jelaskan kenapa kamu nggak setuju?" Suara Rey terdengar tidak nyaman dengan penolakan.      

"Ya memang aku tidak setuju.. Em, satu lagi.. Uang yang kamu tawarkan, aku rasa dari pada pakai uang kamu, mending pakai uangku saja. Penulis lagu nggak miskin-miskin bangat sih.. Hehe dari pada pakai uang orang lain untuk modal Surat Ajaib mending pakai uang pemiliknya sendiri, ya nggak?" kesombongan Damar mencuat dari mana anak ini belajar congak, Ah terserahlah dari mana dia belajar yang pasti jawaban-jawaban resek khas Damar mampu mengusir Rey di ikuti ke pergian kakak Aruna.      

.     

"Damar.. emang kamu punya uang sebanyak itu.," tanya Agus penasaran.      

"Enggak,"      

"Laah??" kembali agus ternganga bodoh.      

"Yang penting dia pergi, kan? Kadang-kadang kita harus fokus pada hasil bukan melulu proses,"       

Bukankah ini kalimat sederhana? Batin Aruna yang baru naik ke lantai 2, lalu di sambut percakapan kurang penting dari dua orang sahabatnya. Namun, penggalan kalimat Damar di akhir ungkapan pemuda itu seolah menampar dirinya. Ya, menampar dengan pukulan telak, kayaknya ini bukan majas atau puisi cinta yang pandai dia ramu. Ini tentang memfokuskan tujuan sehingga menemukan hasil akhir yang memuaskan.      

Kadang tak perlu susah payah juga, sejenak terlintas kata-kata seseorang: "Jika kamu awalnya hanya ingin naik gunung, mengapa kamu tidak mencoba menemukan petualangan baru, lebih jauh lagi. Seperti berkeliling dunia dengan helikopter,  atau  menggapai puncak yang tak bisa lagi di jangkau helikopter."     

Suara lelaki bermata biru serasa benar-benar hadir di dekatnya.      

.     

.     

"Pasti ada setelah kau mencobanya?"      

Mata biru mengeluarkan kumpulan kertas hingga tumpah berserakan, mengais dan membolak-balik tiap buku dan lembaran yang dia temukan.      

_Apakah ini?_     

Dia yang awalnya berjongkok, perlahan mulai berdiri dan membuka lembaran buku mungil dengan pernak-pernik unik pada sampulnya. Lalu terduduk di kursi dekat jendela.      

Apa itu pernikahan?.     

Begitulah catatan pertama Aruna melarutkan sang pria.      

Tentu saja aku tidak tahu apa itu pernikahan, karena kami tidak benar-benar menikah. Aku pikir aku akan menangis seharian, membuat penghayatan tentang nasib buruk ter-rampasnya kehidupan masa mudaku karena terpaksa menerima perjanjian pernikahan yang dengan berat hati di gulirkan ayah kepadaku.      

Aku jalani saja. Toh aku sudah sangat bahagia selama ini, di pilih oleh ayah untuk jadi putri yang sangat dia sayangi. Apa aku layak protes ketika kakak-kakakku juga mencintaiku  seolah-olah aku berasal dari tempat yang sama. Apalagi bunda, jadi buat apa aku menangis kalau bunda saja sering membuatku lupa aku siapa.      

Untuk itu aku akan tetap memutuskan menjadi anak, putri dan adik yang baik untuk seluruh keluargaku sebagai rasa terima kasihku.      

_Apa maksud tulisan Aruna?_     

Itulah isi lebaran pertama. Hendra membalik ke halaman berikutnya.     

Sayangnya tidak semua hal berjalan dengan mudah, aku mulai menyadari keresahanku ketika pria itu merabaku dengan mata tertutup. Dia kenapa? Apa yang terjadi? Mengapa CEO gila bener-bener aneh?     

_Hah?! Dia memanggilku CEO gila_ Hendra menyuguhkan senyum miring, pria ini semakin tenggelam dengan catatan hingga tak menyadari mommy-nya pamit meninggalkan ruangan.      

Bagiku keadaan yang aneh bukan suatu yang besar, sebab tepat setelah aku membaca surat kontrak pernikahan kami. Aku sudah menduga dia pria yang aneh.      

Lama kelamaan aku menyadari bukan Hendra saja yang aneh. Tempat ini juga, aku tidak mengerti bagaimana bisa kakek menghajar cucunya sendiri atau nenek yang tersenyum sepanjang hari dan murung ketika tidak ada orang yang melihatnya. Termasuk ibu, perempuan yang tidak pernah menunjukkan bahwa dia manusia, manusia sewajarnya memiliki emosi, tetapi dia datar tanpa ekspresi.      

Aku tidak mengerti apa yang terjadi, perlukah aku mencari tahu tentang semua ini?.      

Hendra larut dalam tiap kata yang ditulis Aruna. Sampai-sampai terbawa kantuk dan tertidur di kamar yang tadi takut ia masuki, sambil memeluk buku kecil catatan istrinya.     

.     

.     

Ini adalah sidang pernikahanku yang kedua, aku bersih kukuh untuk hadir walau kak Anantha tidak setuju. Kami sempat berdebat sampai-sampai ayah melerai kami. Selama perjalananku dengan keluargaku, ayah belum sekalipun melerai pertengkaran anak-anaknya karena kami jarang bertengkar. Apalagi aku dengan kakak-kakakku.      

Sesampai di pengadilan, ku dapati kondisi riuh dan gerombolan orang mendatangiku, ayah bilang ini belum apa-apa di banding hari pertama sidang perceraian kami digelar. Karena saat ini sidang tertutup untuk umum.      

Aku Sempat berpikir mungkin para pencari berita sedang memburu Hendra, kenyataannya dugaan ku salah. Mereka menyodorkan perekam kepadaku. Pertanyaan mereka hampir mirip, seputar kedekatanku dengan Damar. Terkait, Apakah hal itu yang menyebabkan perceraian ini terjadi? Bagaimana pendapatmu tentang scandal CEO Mahendra dengan Tania?      

Masalah kami seolah tumpang tindih. Apakah ini yang mengakibatkan Hendra putus asa dan meninggalkanku? Aku terus bertanya-tanya? Sampai aku duduk di kursi itu. Tidak jauh dari Hendra yang juga duduk di sana dalam diamnya.      

Dia menatap ke depan, kadang merunduk, sesekali menjentikkan tangannya untuk bercakap-cakap dengan para ajudan mau pun kuasa hukumnya. Dan tidak melirikku sama sekali, padahal aku tanpa sadar selalu memperhatikan gerak-geriknya.      

.     

Apa yang terjadi padaku? Semenjak kutemukan buku kecil Aruna, sekalipun Aku tidak bisa terlepas darinya. aku membaca buku itu setiap saat setiap waktu bahkan di sela-sela kesibukanku.      

Ketika satu kalimat kulewati, aku selalu menyadari bahwa dulu aku melewatkan banyak hal. Aku tidak begitu peduli pada perasaan istriku. Aku terlalu sibuk dengan jadwalku, dan dia hidup dengan pikirannya sendiri. Sama seperti tulisannya pada lembar yang kini aku baca seiring laju mobil membawaku ke sidang perceraian kami.      

Apa itu istri?      

Apakah istri dan boneka itu sama?      

Sepertinya kondisiku saja yang berbeda, karena yang aku baca di artikel Para istri merupakan pendamping dan patner suami dalam kehidupan rumah tangga. Mereka memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami sebagaimana atas mereka ada kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan.     

Sedangkan aku? Aku tidak akan boleh mengharapkan hakku karena dia pun tidak akan mendapatkan hal-hal yang harusnya wajib aku berikan. kami akan berpisah dua tahun lagi. aku menyadari aku tidak boleh jatuh cinta apalagi sampai kesucianku jadi miliknya. Itu juga yang dikatakan Ayahku padaku. Dan aku mengamininya.      

Apakah ini masalah? Aku tidak tahu, aku terlalu bingung dengan semuanya.      

Andai Hendra sedikit saja mau berbagi keluh kesahnya padaku. Aku sudah mencoba mencari perhatiannya, selalu merapikan diriku dan mengenakan midi dress sebelum dia datang di kala petang. Sedihnya tidak aku dapati sedikit pun dia berbagi cerita tentang dirinya, pekerjaannya, dan aku seolah tidak boleh tahu apa-apa.      

Kami hanya bertemu kala petang menjelang, dia berangkat sebelum aku benar-benar bangun dan kembali ketika mata hari terbenam. Lalu aku di biarkan sendirian di tempat asing ini, tak satu pun kata-katanya memberitahuku aku harus bagaimana? Dan lama-kelamaan tempat ini makin menakutkan.      

.     

Kututup bukunya, tepat saat aku harus menuruni mobil. Ini sidang kedua perceraian kami. Oh: ya Tuhan.. dia yang aku cintai hadir dan duduk di sampingku. Aku tidak sanggup melihatnya. Aku takut aku tidak bisa mengontrol gejolak di hatiku. Aku selalu mengutuk diriku tiap kali usai membaca catatannya.      

Hingga lebaran terakhir yang aku baca aku baru sadar Aruna tidak minta banyak dariku, gadis ini hanya ingin aku lebih terbuka padanya.     

Pikiranku mungkin termasuk pikiran banyak pria di luar sana tentang menyembunyikan keluh kesah mereka hanya untuk dirinya saja, supaya sang istri dan anak hidup dalam lingkaran kebahagiaan dan rasa tenang. Semua itu salah besar, perempuan juga punya hak untuk tahu. Istri partner terdekat, harusnya Aruna tempatku berkeluh-kesah bukan para psychiater itu.      

.     

Tergugat dan penggugat apakah sudah ada kesepakatan terkait hakim mediator?      

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.