Ciuman Pertama Aruna

II-111. Memory



II-111. Memory

0Aruna tadi berpamitan turun ke lantai 1 karena dia bilang akan ada tamu yang datang, ternyata sudah hadir dengan dua orang tamu sekaligus.      

Yang satu adalah kakaknya sendiri Anantha, yang satu lagi teman-teman surat ajaib tahu pria itu dulunya pernah menggoyahkan keteguhan hati tim start up yang lagi seksi dan hari ini pria itu hadir lagi dengan senyum Pepsodent.      

Aruna melirik teman-temannya dia menunjukkan senyum kaku tanda maaf yang sering di hadirkan ketika gadis ini merasa tidak enak hati.      

"Kak Anantha dan kak Rey ingin berbicara dengan kalian semua., Boleh minta waktunya sebentar? Kita lanjutkan balas Chatting dengan customer atau yang lainnya," Aruna mengusung permintaan.      

"Rey??" kerutan di dahi membuat Rey serta merta mengambil alih keadaan.      

"Iya, panggil aku dengan sebutan Rey karena aku lebih suka dipanggil itu dari pada Gibran," dia tersenyum sekali lagi, seolah perubahan nama yang biasa saja.      

Kemudian 2 pria itu Anantha dan sahabatnya mulai mengemukakan keinginan mereka. Tidak ada yang berubah dari beri penawaran yang dulu pernah disodorkan kepada tim surat ajaib. Bedanya mereka bilang kali ini mereka bisa menanam modal lebih banyak. Termasuk fasilitas yang lebih menjanjikan.      

"dulu kalian kesulitan membuat keputusan karena Aruna tidak di sini dan tim surat Ajaib belum lengkap, sekarang aku berikan kesempatan untuk berpikir ulang," Rey menawarkan uang yang begitu banyak dengan cara sederhana.      

Dan ternyata yang lain terbungkam, tidak ada yang menjawab ungkapan Rey. Hampir sebagian besar condong melirik Aruna. Aruna sadar mereka berhati-hati takut melukai founder surat ajaib, mengingat tawaran ini berasal dari kak Anantha.      

Gadis ini diam-diam memungut handphone-nya lalu di balik kondisi Canggu, dia memainkan ibu jari-nya untuk mengetik sesuatu.      

[Aku tidak setuju dengan ini, walaupun kak Anantha kakakku. Aku sudah mendapatkan banyak masukan. Aku rasa ini tidak benar. Kalian jangan diam saja] Si Gadis bermata coklat mengirim pesan pada ada grup chatting surat ajaib.      

"He. Hehe.. supaya lebih mencair aku siapkan minuman dulu ya.," Dea menuruni tangga, antara kabur atau memang dia ingin mengusahakan agar teman-temannya bersuara. Karena dulu gadis ini yang banyak menentang permintaan dua orang tersebut.      

Ternyata Dea diam-diam menelepon om om yang dekat dengannya, "oppa.. bagaimana caranya menolak orang yang ingin menanam modal besar," tanpa salam tanpa permisi, gadis berhijab komat-kamit nyerocos begitu saja diiringi suara gemeletuk tang ting tang ting benturan gelas kaca dan sendok. Dea akan menyajikan teh, tapi tampaknya teh itu tidak layak minum.      

"Aku sedang meeting, boleh aku jawab nanti," surya di ujung sana terserang malu, mukanya merah padam. Karena handphone yang di angkat diam-diam menyuarakan kata 'Oppa..' di tambah gerakan sang pria menjauhkan handphone dari telinganya lataran ada suara gadis yang bicaranya cepat bahkan seolah tak bernafas.      

"Jangan ini sangat penting.. penting bangat BLA BLA BLA.." Surya sudah tidak mendengar lagi apa yang Dea ucapkan, pria ini lebih fokus memasang senyum garing lalu berpamitan keluar ruangan supaya rasa malunya sedikit terurai.      

"Dea manis.., ambil nafas dulu.. baru ngomong.," Surya memasang telinganya lebar-lebar ketika calon istrinya kembali nyerocos.      

"Jadi gini.. BLA BLA BLA (panjang sekali)," balasan pria dewasa yang sudah terbiasa bergelut dalam dunia bisnis hanya, "Oh, begitu."      

"Ha??" gadis berhijab terenyak, ketika narasi panjang lebarnya hanya menghasilkan 2 kata 'Oh, begitu'.      

"Bisa nggak? Ada jawaban lain?" Dea mulai gemas pada om om di ujung sana yang hobi berekspresi formal dan standar.      

"Sebentar.. tarik nafas.. hembuskan.. beri waktu Oppa ganteng mengoperasikan otaknya," demikian Dea mencari amunisi untuk mencekal niat si rambut halus belah tengah.      

.      

[Aruna masih ingat nggak?, surat ajaib sebagian besar kepemilikannya adalah kamu dan Damar, bukankah tiap bulan anak itu mendapat persenan dari kita karena Damar memberikan seluruh tabungannya ketika kita akan menutup tempat ini] Dea memberi petunjuk sesuai hasil diskusinya dengan pak Surya. (Vol. I)      

[Dia malah main game] Chatting Agus di grup.      

[Sialan anak itu! Pukul kepalanya, apa tidak sadar kita sedang terpojok] Dea tersulut emosi. Sambil ketak ketik di atas teh yang sudah mendingin. Dea menuliskan semua kemungkinan penolakan yang di ajarkan Oppa, penolakan rasional.      

[Sebentar, aku tendang pantatnya!!] Balas Agus.      

.      

"Sebenarnya kami sudah membicarakan ini sebelum Kakak datang," Aruna membuat pernyataan yang isinya kebohongan kecil, sebab tidak ada pembicaraan apa pun tadi.      

"Sejujurnya Surat Ajaib bukan hanya milikku malah sebagian besar di miliki Damar, aku berharap Damar bisa memberikan pendapatnya," Pelan dan menenangkan, begitulah Aruna menyuarakan kalimat demi kalimatnya. Rencananya, setelah Damar menunjukkan sikapnya, barulah gadis ini akan bersih keras menguatkan penolakan. Dia tidak bisa serta-merta menolak, Aruna tetap berupaya menjaga perasaan kakaknya.      

"Hah? Aku harus ngomong apa?" si pemuda sialan baru me-restart otaknya dari game.      

[Kalau sampai kamu salah ngomong, aku pastikan rambutmu aku gunting habis. INGAT GUNTING SAMPAI TAK BERSISA] Lily geram dan Agus memukul kepala Damar agar pemuda ini melirik handphone-nya yang kedap kedip dari tadi.      

***      

"Cekriek.."      

"Bamms.."      

Pintu ukir Jepara menjulang panjang di buka oleh pemiliknya. Dia berdiri lama sebelum langkah pertamanya dimulai. Menjelajah mata mengumpulkan keyakinan, tembusan nafasnya berat bersama langkah pertamanya menyulut kesesahan di hati.      

Suara, langkah kaki dan tawanya seperti film yang sedang diputar.      

"Pria mesum pergilah jauh-jauh.."      

"Kau memegangi ini (bulatan di dada) dan memasang tampang malaikat.. wao wao kau memang iblis terhebat,"      

"Hendra sumpah jangan memanggilku begitu.."      

"Mas Hendraku sayaaaa.. ah' Hen.." dan lumatan hangatnya masih menggetarkan dada pria yang kini merajut ingatan tentang di malam pertama kali gadis itu datang.      

Deg      

Huuh..      

Deg      

Jantungnya berdetak hebat bersama keinginannya memastikan baju-baju gadis itu masih di tempat. Dia larut, bergerak mengikuti bayangan maya dari kenangan masa lalunya. Hendra memasuki ruangan baju.      

"Hendra bagaimana dengan ini?".      

"Hehe.. sangat hancur". _Ah' tali penutup dua lingkaran itu terlihat_      

"Kalau ini?".      

"Kalau kau pakai ini dan tiba-tiba lupa memegangi celananya, Sepertinya aku akan menangkap segitiga yang tersembunyi di dalam.. hehe".      

"BRAK!"      

.      

."Hendra.. celananya kebesaran semua..!! carikan aku yang kecil!".      

"Ukuran ku kan sama.."      

"Gak peduli.. carikan!"      

"Bukan kah ini boxer mu??".      

"Ah' aku sudah capek mencari.. Cuma ada ini yang kecil.."      

"Ih' aku tidak mau pakai!"      

Lesung pipi mata biru hadir pada cermin membentang ruang huruf 'm'. Memory yang bangkit membuat matanya menyipit. Mahendra tersenyum getir tidak bisa menghentikan pusaran gelombang kenangan manis yang dia rindukan.      

Rindu.. sangat rindu., Rindu pada dirinya yang suka diam-diam menyembunyikan dalaman berbentuk segitiga termasuk dua buah lingkaran. Atau rindu berpura-pura sakit perut supaya bisa masuk kamar mandi sambil mengintip siluet blur Aruna yang bersembunyi di balik kaca salju ruang shower. Serta berjelajah mencuri-curi bau harum bibir dan leher istrinya kala petang menyapa.      

Mata biru terpaku memegangi dadanya, duduk lama., lama sekali di atas bad cover bunga lili. Hingga sang mommy datang menyapa turut duduk di sebelahnya: "Kau merindukannya?"      

Mata biru terdiam tanpa jawab, tapi ekspresinya jelas mengiyakan.      

"Mommy tidak tahu seberapa spesialnya dia di matamu. Kalau boleh memberi saran, membuka hati tidak ada salahnya. Cobalah.," perempuan berstatus ibu sekarang lebih berani menyuarakan isi hati setelah mereka sempat mencair di tengah dilema kepergian menantunya, kepergian itu mencairkan banyak hati yang beku.      

"Andai ada yang memiliki cara pandang seperti cara Aruna melihatku layaknya manusia biasa. Mungkin aku akan berpikir ulang untuk membuka diriku," Hendra berdiri mendekati nakas yang pernah di bicarakan Andos, catatan di buku kecil istrinya adalah misi utama.      

"Pasti ada setelah kau mencobanya?"      

Mata biru mengeluarkan kumpulan kertas hingga tumpah berserakan, mengais dan membolak-balik tiap buku dan lembaran yang dia temukan.      

_Apakah ini?_      

      

      

.      

.      

__________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.