Ciuman Pertama Aruna

II-98. Menyisir



II-98. Menyisir

0"Saya kesini hanya ingin bertemu pak Amar, kalau dia tidak ada saya pulang,"       

"JANGAAAAAAN" pekik dua gadis aneh di depannya.        

"Mundur kalian! Mundur jangan mendekat" baru juga Damar bangun tidur dari tidur tidak sengajanya di teras rumah orang itu, dan tiba-tiba di serang fans girl aneh, _kutukan apa ini_ dia memegangi kepalanya mencari pemahaman.       

"Danu Umar.. Jangan takut," gadis SMA berkedip-kedip mata.       

"Boleh aku tahu kalian siapa?" Tanya pemuda Padang.       

"Aku Marisa," kata yang besar.       

"Dan aku Sabel," bocah kecil SD ikut-ikutan berkenalan sambil mengeluarkan handphone lengkap dengan tripod pendukung cara terang-terangannya mengambil gambar keberadaan Danu Umar.       

"Hai.. Hai tunggu, tunggu Sambel," geram Damar memperingatkan anak kecil unik ini, bagaimana dia tidak unik, dia jute tapi berani bertingkah lebih frontal dari kakaknya yang masih berdiri kedap-kedip seolah tumbuhan mekar di atas kepalanya "jangan sembarangan mengambil foto atau videoku"       

"Apa?? Kau panggil aku Sambel??" si gadis jute menginjakkan kakinya kasar ke lantai dan tangannya ikut lurus gambaran sentakan kejengkelan, "Dengar ya nama aku itu Salsabelia Luicyta Amar alias Sabel, S A B E L." centil sabel, jika di amati anak ini memang sangat ikonik dengan baju dan aksesoris warna warni pada rambut pergelangan tangan sampai-sampai kaos kaki kuning menyala turut serta menambah warna yang sulit di cerna.       

"Ya ya terserah kamu-lah siapa namamu, tolong jangan gunakan handphone-mu untuk merekam" Damar meminta gadis itu menurunkan caranya mengambil video.       

"Ada apa ini? Kenapa kalian bikin tamu papa ketakutan" perempuan seusia ibu Hrd datang menyapa, perempuan ini tidak secantik ibu Hrd sedikit kerempeng dengan dandanan ala perempuan rumahan. Bawahan memanjang menutupi lutut dan atasan berwarna salem dengan potongan krah berbentuk huruf V. Damar menduga dia mungkin ibu dari anak-anak aneh ini atau lebih tepatnya istri orang itu.       

"Ma.. Dia Artis yang wajahnya di pajang di tembok kamar kakak" pekik sabel. Dan perempuan ini menuruni tangga teras mendekati Danu Umar tangannya sempat tersangkut pada telinga putrinya yang belum juga menghentikan senyam-senyum berbunga.       

"Marisa sana masuk! Hentikan wajah anehmu itu" risi perempuan yang tadi di sebut 'Ma'. "Sabel juga masuk!"       

"Ma.. Entar Danu Umar pulang lagi, aku nggak mau," rengek Marisa manja dan bunga-bunga di kepalanya mungkin sedang berguguran karena senyum-senyum anehnya sedikit sirna.       

"Sudah mandi sana, Papa keburu datang. Entar aku bongkar kenakalan kalian pulang sekolah bukannya pulang malah melarikan diri ke bandara" kembali perempuan berkerah V mengusir anak-anaknya, ucapan itu akhirnya mampu menggiring anak-anaknya masuk ke rumah, tentu diiringi bibir menyun dua anak yang tadi terlihat bersemangat menangkap Damar.       

"Masuklah" pintanya sambil tersenyum ramah.       

"Saya hanya ingin bertemu pak Amar sebentar, tapi.. Sepertinya belum berjodoh jadi saya pamit pulang" balas Damar.       

"Ayahmu menunggumu bertahun-tahun bisakah kau menunggunya beberapa menit lagi," perempuan berkerah V tidak menoleh dia memantapkan langkahnya masuk ke dalam rumah.       

Sayangnya pemuda Padang masih membeku dalam keraguan.       

"Adik-adikmu akan sangat kecewa kalau kamu pulang secepat itu, beri kami kesempatan mengenalmu" perempuan itu berbalik sejenak menggoyahkan keinginan pemuda ragu untuk beranjak pergi.       

"Kau yakin dia akan senang aku datang"       

"lihatlah sendiri nanti" dan istri Amar membuka pintu lebar-lebar, perlahan pemuda ini melangkah menuju tempat asing yang dulu dia hindari mati-matian.       

***      

Aku sudah tidak tahu bagaimana menghentikan Hendra. Dia masih memelukku dan tidak mau melepas sedikit pun, aku bilang dadaku sesak karena dirinya terlalu kuat. Tapi, lelaki bermata biru ini tidak bergeming.       

Hampir tak terdengar suaranya ketika dia berucap: "sesak dadaku sudah tak terhitung waktu,"       

Dan ku hanya bisa terbungkam mendengar ucapannya, entah mengapa kadang aku menganggapnya pria malang. Apa salahnya? Harus terbelenggu dalam ikatan pelik bersamaku dan bersama rumitnya keluarga yang mengikat kami berdua. Dulu aku pikir akulah korban di antara kenyataan yang ada, sekarang bisa jadi kami sama saja, sama-sama tidak tahu harus bagaimana.       

"Apa kamu lapar?" anggukku menjawabnya. Dia merapikan baju dan rambutku bahkan helai-helai itu di tata dengan teliti versi Mahendra. Pria yang berlebih dalam segala hal. Itu yang aku tahu karena saat ini yang dilakukan juga berlebih. Hendra menyisir rambutku dengan jari-jarinya "Tidak ingin mengganti jadwal penerbanganmu?" tanyanya.       

"Belum bisa Hen,"      

"Aku ingin tidur denganmu malam ini. Aku tak minta lebih, aku hanya butuh rinduku di obati dengan memelukmu dalam tidur,"       

"Maaf hen, kak Anantha yang menjemputku. Kau tak mau dia curiga dan suasana makin keruh,"       

Dia, sungguh aku lihat sedu sedan dalam sorot matanya. Aku tidak tahu kenapa mataku kini bisa melihat hal-hal yang dulu bermakna kebalikan. Apa karena hatiku di isi hatinya sehingga aku kini bisa membaca setiap gerakan tubuhnya.         

.      

.      

Aku tidak tahu harus aku  gunakan cara apa lagi, sehebat ini kuatnya rasaku padamu hingga dadaku seolah remuk sebab mengharapkanmu terlalu akut. Kutanya berulah ulang pada diriku? Dengan cara apa aku harus meyakinkanmu agar aku berkenan kembali hidup bersamaku.       

Sudah cukup lama bukan? aku bersabar untukmu. Tapi kau tetap sama tak menyebutkan apa yang kau inginkan dan tak memberiku tanda bahwa kau boleh menerjang keadaan.      

Kini kita sudah berada di tengah krisis, sadarkah kau kita makin mendekati akhir, masihkah kau bertahan dalam senyum tanpa tanda-tanda khawatir. Apa aku yang lemah? Atau kau yang hebat? Hebat menutupi pelikmu dan tidak menginginkan pelukku.       

"Hen.. Kenapa kamu biarkan makananmu," dia masih bisa bertanya sambil tersenyum.       

"Apa kamu pernah andai-andai?" tanyaku.       

"Berandai seperti apa?"      

"Seperti pulang kembali kepadaku hari ini, aku tidak akan meminta lagi," ku tak tahu dari mana mulut beraniku mampu meluncurkan kata dengan percaya diri. Dan dia mulai menautkan jemarinya tanda resah.       

"Aku butuh waktu." masih saja dia begitu.       

"Sampai kapan?"       

"Aku belum tahu.. tapi aku harus meluluhkan hati kakak dulu"       

"Kau atau kakakmu yang perlu di luluhkan hatinya?!" Aku tak sanggup lagi menahan emosiku, mungkin suaraku sekarang sudah bergetar tajam dan menakutkan bagi Aruna. Kulihat dia menundukkan wajahnya lama tak bersuara.       

"Tidak selamanya pendendam harus di musuhi, kan? Aku yakin kalau kakakku masih bisa di obati, kadang mereka jahat sekarang karena lukanya yang dulu terlalu dalam. Aku percaya kakakku masih bisa aku taklukkan?" Aruna bicara panjang lebar, tapi "Aku tak mengerti kau bicara apa?"       

"Perceraikan kita bukan sekedar antara aku dan kamu, ini tentang kami. Tentang anak ajudan yang kehilangan banyak kenangan manis bersama ayahnya, kami memupuk luka karena ayah terlalu fokus kepada keluarga tuannya," semakin kesini semakin aku tidak mengerti apa maunya Aruna.       

"Sudah cukup!" kataku lelah menghadapinya.       

"Setelah ini ... ... ... "      

.       

      

.       

      

__________________________        

      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.