Ciuman Pertama Aruna

III-3. Panci..!!



III-3. Panci..!!

0Melihat istrinya tertidur pulas pria ini bangkit dan mulai merapikan beberapa barang tergeletak termasuk selimut tempat istrinya terlelap. Langkah perlahannya tidak jauh-jauh dari kebanyakan orang yang kesulitan mengabaikan Handphone, bedanya pewaris ini memang mempunyai banyak tanggungjawab yang perlu di selesaikan dengan bantuan telepon pintar pada genggaman.     

[Herry!]     

[Ya! Tuan]     

[Masih ingat mansionku di sky tower]     

[Tentu, tempat kita bersembunyi beberapa saat, ketika pelarian itu] maksud Herry saat dirinya mulai di percaya pewaris Djoyodiningrat untuk membantunya mencari istrinya yang di sembunyikan keluarga.     

[Bawakan satu setel pakaianku]     

[Baik tuan]     

[Ingat! Jangan sesuka hatimu!]     

[Warna senada dari atas sampai bawah] di ujung sana ada ajudan yang mangut-mangut meyakinkan dirinya tidak akan salah lagi menyiapkan baju tuannya, kenyataan dia belum pernah berhasil sama sekali. Selalu ada yang keliru di mata Hendra. Memadu padankan 7 benda sesuai selera tuan muda Djoyodiningrat lebih sulit dari pada yang di bayangkan orang.     

[Aku usahakan tuan] Herry merasa tidak yakin [Ada lagi yang bisa saya bantu?]     

[Bawakan berkas-berkas yang perlu aku periksa, khusus yang urgent saja. Aku belum bisa berangkat pagi, kemungkinan setelah makan siang baru bisa datang ke kantor]     

[Saya cukup menanyakannya kepada sekretaris Nana, Benar??]     

[Iya, jangan beritahu siapa pun aku berada di tempat ini, termasuk Nana]     

[Baik]     

[Tiga porsi sarapan; untukku, istriku termasuk kamu]     

[Baik]     

Sejalan berikutnya dia kembali mendekati tubuh terlelap, mengendus wajahnya. Kemudian membuat panggilan ke dua sambil berjalan ke luar kamar.     

Lamat-lamat perempuan yang tampaknya tidur ini ternyata sedang curi dengar. Panggilan Mahendra erat dengan seseorang bernama Thomas. Sebab nama Thomas dipanggil berulang kali oleh suami Aruna. Aruna menyimpulkan Hendra meminta pria bernama Thomas untuk memeriksa saham yang jadi targetnya. [Ambil semua sekarang!], [paksa dia mundur], [Ah' aku senang mereka lebih mudah di atur]     

Isi kepala Aruna tidak bisa memungkiri bahwa dia punya rasa penasaran terhadap kalimat-kalimat Mahendra. Apalagi percakapan suaminya mirip dengan isi amplop berwarna coklat alias amplop Rey.     

Perempuan yang kini tak layak di panggil gadis, sebab telah melewati malam pertama bersama suaminya. Bangkit dari tidurnya yang kedua. Rambut panjangnya di biarkan terurai jatuh di atas piama yang dia kenakan. Bangkit lebih berani sebab merasa bagian di bawah sana tak sengilu sebelumnya.     

Aruna duduk di hadapan cermin, menatap dirinya sendiri lebih lamat dari pada semalam ketika Hendra mengeringkan dan merapikan rambutnya. Dia tertegun oleh dirinya sendiri, bekas perbuatan Hendra terlalu kentara. Padahal ini bukan noda yang pertama kalinya. Dulu pernah lebih parah dan lebih kasar saat Hendra memaksakan semua gigitannya pada Honeymoon mereka.     

Entah bagaimana gadis ini tersenyum dan menunduk malu, lebih suka dengan merah yang sekarang dari pada dulu. Saat menatap cermin lagi dia mengerjapkan matanya menyadari ternyata dirinya bahagia.     

Dilematik untuk menyimpan rasa penasaran terhadap suaminya ataukah dirinya akan mengubur semuanya dan menikmati kebahagiaan saja.     

Ketika akhirnya memutuskan keluar dari kamar, Aruna mendapati Hendra yang buru-buru menanggalkan telepon pintarnya: "Sayang kau sudah bangun,"     

Tampaknya pria ini mematikan layar sentuh itu sepihak sebab nama Thomas kembali tertangkap membuat panggilan, akan tetapi di abaikan.     

"Iya," Hendra lekas berdiri mendekati Aruna yang terlihat bergerak lambat canggung menatapnya. Pria ini tidak tahu, perempuan di hadapannya bingung sendiri ketika menangkap langkah berdiri sang pria dia seolah bisa melihat bagian yang semalam dilihatnya.     

Aruna menghembuskan nafasnya berulang mengusir kenakalan otaknya yang tiba-tiba penuh imajinasi yang tak layak di hayati. Dia yang bergerak mendekat meraih dagunya dan mengecupnya tanpa aba-aba.     

_Huh!_ melempar nafas gelisah. Jantungnya bisa copot tiap saat kalau Hendra terus-terusan berperilaku semanis ini.     

"Ka.. Kau ada panggilan," Aruna mendorongnya agar tatap mata berwarna biru itu segera bergeser ke arah berbeda.     

"Abaikan!" cucu Wiryo tersenyum, mengunci istrinya tampak canggung memerah dan bingung, "Ah' melihatmu begini, bisa-bisa aku tak tahan. Ingin mengulangi yang semalam," dia yang bicara menegapkan tubuhnya setelah tadi mencoba merunduk. Sambil mengacak-ngacak rambut.     

Aruna tersenyum, ternyata bukan hanya dia yang terserang rasa kegelisahan.     

Hendra berjalan menjauh. "Pakai bajumu yang kemarin!" dia memerintah sambil gelisah, "jangan pakai piama terus-terusan!" memerintah lagi, "Herry lama sekali!!" marah tidak jelas.     

"Sa.. Sayang.. Kamu.." kalimat Aruna menghentikan gelagat marah tidak jelas sang pria.     

"Jangan! Jangan berjalan mendekat," bukan cuma memangkas momongan dia mengusir Aruna.     

"Kau kenapa?" Aruna bingung.     

"Aku bilang jangan mendekat!"     

"Aku cuma mau tanya, ke mana bajuku semalam? apa kamu rapikan?" tanya Aruna     

"Tunggu! Kamu akan mengenakan Bridesmaids kemarin?" pria ini memasang ekspresi tak jenak.     

"Iya, hanya baju itu yang aku bawa,"     

_tidak ada yang lain, bahkan alas kaki pun entah ke mana_ gumaman ini menambahi kalimat sebelumnya.     

"Aku rasa efeknya akan sama saja," pupil mata Hendra melebar dan beberapa kali mencuri pandang yang berakhir dengan menggigit jarinya sendiri.     

"Efek??" perempuan ini belum paham suaminya kini sedang menahan gejolak di dada, gejolak ingin menerjang gadis di hadapannya.     

"Intinya bersembunyilah di dalam kamar sampai Herry datang dan membawakan kita sarapan," dia memerintah seenaknya. Aruna mulai terbiasa dengan permintaan-permintaan aneh Hendra. Mereka pernah lama bersama dan Hendra ternyata belum banyak berubah tentang hobi memerintah. Walau kadang kala terkesan tidak masuk akal di dalam otak gadis yang kesulitan menerka gaya bahasa serta gerak-gerik implisit Mahendra, pria yang sedang mengharap sesuatu.     

"Apa Herry juga membawakan baju untukku? bolehkah aku minta di belikan alas kaki?" Aruna melihat Hendra sambil berharap.     

"Tidak," jawab singkat Hendra. Ada gerakan menyatukan kedua alis, tanda perempuan ini tak suka Hendra melupakan kebutuhannya.     

"Sengaja," dia tersenyum menyeringai, lalu terkekeh.     

"Apa maksudmu?"     

"Aku sengaja tidak akan menyiapkan baju untukmu,"     

"KAU?! Otakmu sedang mesum ya.??" pertanyaan ini menghasilkan tawa terkekeh. Membuat Aruna buru-buru berlari memasuki kamarnya hingga suara "BRAK" tertangkap telinga.     

"Tapi aku tidak melupakan asupan energi untuk uji coba kita berikutnya," dia berteriak nyaring diiringi gerakan tersenyum bahagia memukul sofa di dekatnya berulang. Merasa berhasil membuat gadisnya memerah dan berlari karena malu.     

Hendra suka Aruna perempuan yang begini yang malu-malu seperti jinak-jinak merpati.     

Anehnya senyuman pada wajah Jawa- England pudar tiba-tiba berganti dengan ekspresi datar. Pria ini berdiri dan kembali meraih telepon pintarnya. Membuka sebuah pesan yang berjejer di beranda.     

[Hendra, aku sudah memesan dekorasi pesta pertunangan kita]     

[Hehe, maaf, (Emoji berbunga-bunga) aku lebih suka menyebutnya pesta pertunangan dari pada pengangkatanmu sebagai presdir]     

[Bagaimana? Kau suka?] dia yang mengirim pesan turut serta mengirimkan beberapa foto konsep dekorasi auditorium Djoyo Rizt Hotel.     

Pria ini menggenggam Handphone-nya dan tertangkap sedang berpikir.     

Sejenak kemudian dia membalas pesan itu: [Casual style, aku mau konsep itu. Ganti semuanya] pesan ini terasa sebuah perintah dari pada permintaan.     

Tepat ketika dirinya usai membuat balasan pesan ada yang melintasi mata biru, perempuan bertelanjang kaki sudah berganti baju. Dia berani juga mengenakan gaun pengiring pengantin merah jambu kemarin. Tanpa menyapa, Aruna bergerak begitu saja menuju pantri mansion ini.     

Terlihat membuka kulkas dua pintu dan lekas-lekas berbalik. "Bahkan air minum tidak ada di tempat ini?" Aruna mengangkat tangan dan bahunya, dia sedang kecewa. Lucu sekali ekspresi pasrahnya.     

Hendra melempar Handphone ke sofa di dekatnya, pria ini berlari gesit mendekati putri Lesmana. Melihat langkah lari Hendra yang mendekat dengan cara cepat Aruna tidak sempat menangkap dugaan terkait 'Hendra mau apa?'.     

Sebab sesaat kemudian gadis ini sudah mendapatkan pelukan erat menyesakkan bersamaan dengan desakan lidah masuk ke dalam bibirnya. Ada yang melumat bibir merah perempuan yang berakhir dengan dorongan.     

"Air liurmu tidak bisa menghilangkan hausku!!" ini suara perempuan yang mengelap bibirnya.     

"Aku mencintaimu," ini cucu Wiryo yang menyuarakan kalimatnya dengan nada paruh.     

"Pernyataan cinta juga tak menghilangkan haus," perempuan ini melihat sekeliling.     

"Di mana panci?" pertanyaan berikut masih dari Aruna.     

"Panci!!.. Panci..." ada yang menyebut kata panci dengan kesal, sambil membuka pintu-pintu kecil di bawah pentry.     

.     

.     

.     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.